Warteg menjadi bagian tak terpisahkan dari orang Tegal. Namun sebenarnya selain membuka usaha warteg, banyak juga orang Tegal yang berjualan nasi goreng dan martabak di wilayah Jabodetabek. Bedanya, orang Tegal yang berjualan nasi goreng dan martabak di perantauan ini berasal dari wilayah kabupaten, bukan kota.
Umumnya, orang-orang yang berjualan warteg berasal dari Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal. Sementara mereka yang memilih berjualan nasi goreng kebanyakan dari daerah Tegal pegunungan seperti Kecamatan Bumijawa dan Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal. Kalau untuk pedagang martabak tentu saja mayoritas berasal dari Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal.
Sebenarnya ada beberapa alasan kenapa warga Kabupaten Tegal lebih memilih berjualan nasi goreng dan martabak alih-alih warteg. Saya mencoba mencari tahu dengan bertanya pada beberapa teman dan mendapatkan jawabannya.
Daftar Isi
#1 Jualan nasi goreng dan martabak merupakan usaha turun-temurun warga Kabupaten Tegal
Alasan pertama kenapa banyak orang Kabupaten Tegal berjualan nasi goreng dan martabak alih-alih warteg adalah karena ini merupakan usaha turun-temurun, baik dari kakek maupun ayah. Contohnya teman saya, Anam, yang berjualan nasi goreng. Dia menceritakan bahwa usaha ini awalnya milik sang ayah yang kemudian diteruskan olehnya. Anam juga menyebutkan bahwa paman-pamannya berjualan seperti dirinya.
Hal serupa juga terjadi pada teman saya, Fajri, yang berjualan martabak. Ia menceritakan bahwa usaha martabak yang dia jalani sekarang dulunya merupakan usaha sang ayah. Selain itu, menurut Fajri, banyak juga kerabatnya yang berjualan martabak.
Kalaupun ada warga Kabupaten Tegal yang berjualan nasi goreng dan martabak bukan karena usaha turun-temurun, biasanya sebelum buka usaha sendiri mereka pernah bekerja dengan orang lain dalam bidang kuliner tersebut. Dan orang yang mereka ikuti ini hampir dipastikan memiliki hubungan kekerabatan dengan mereka, atau bahkan berasal dari daerah yang sama.
#2 Modalnya nggak sebesar modal buka usaha warteg
Alasan berikutnya kenapa banyak warga Kabupaten Tegal yang memilih jualan nasi goreng dan martabak adalah modal. Dibandingkan warteg, modal untuk jualan nasi goreng dan martabak ini nggak terlalu besar. Kalau untuk buka warteg kan perlu sewa tempat yang biasanya dibayar tahunan, bukan bulanan. Tentu saja uang yang dibutuhkan untuk sewa tak sedikit. Belum lagi modal untuk peralatan lainnya.
Sementara untuk berjualan nasi goreng dan martabak tak perlu sewa tempat besar seperti warteg. Usaha ini bisa dilakukan di pinggir jalan, atau kalaupun memang harus membayar sewa tak terlalu menguras kantong.
Selain itu, berjualan kedua kuliner ini lebih fleksibel, dengan kata lain bisa berpindah-pindah. Warga Kabupaten Tegal yang berjualan nasi goreng bisa jualan keliling menggunakan gerobak, sementara yang berjualan martabak juga bisa keliling dengan mobil bak terbuka. Menurut teman saya, modal yang mereka butuhkan untuk membuat gerobak dan peralatan tak sampai Rp10 juta.
#3 Tak mau mengambil risiko
Alasan ketiga banyak warga Kabupaten Tegal yang berjualan nasi goreng dan martabak adalah enggan mengambil risiko. Sebenarnya ada banyak kuliner khas Tegal yang bisa dipasarkan lebih luas. Misalnya, sate Tegal, soto tauco, olos, tahu aci, dll. Sayangnya, kalau berjualan makanan-makanan tersebut di Jabodetabek menjadi pertaruhan besar karena makanan-makanan tersebut nggak begitu familier bagi warga sana. Dan nasi goreng dan martabak sudah tak asing lagi.
Denyut kehidupan di Jakarta itu kan dari pagi kembali pagi, sementara nasi goreng dan martabak biasanya dijual hingga dini hari. Sehingga ketika warga merasa lapar ketika beraktivitas di malam hari atau selesai beraktivitas di malam hari, mereka bisa menemukan kuliner ini.
#4 Jaringan komunitas warga Kabupaten Tegal yang kuat
Alasan terakhir kenapa banyak warga Kabupaten Tegal memilih berjualan nasi goreng dan martabak di Jabodetabek alih-alih warteg adalah karena jaringan komunitas yang kuat. Jadi, orang Tegal yang jualan nasi goreng punya komunitas mereka sendiri, begitu juga dengan orang-orang yang berjualan martabak.
Dalam komunitas tersebut ada yang namanya iuran, kumpulan, bahkan mengadakan arisan. Komunitas ini memberi banyak manfaat bagi warga Kabupaten Tegal di perantauan. Misal, jika ada yang sakit, maka yang lain akan menjenguk, atau ketika ada anggota yang meninggal maka akan diberi santunan. Komunitas ini juga membantu para calon pedagang untuk mencari lokasi jualan yang strategis hingga memasok bahan baku. Kuatnya komunitas ini karena merasa berasal dari daerah sama.
Begitulah alasan mengapa warga Kabupaten Tegal di Jabodetabek kebanyakan menjadi penjual nasi goreng dan martabak alih-alih buka warteg. Sekarang sudah nggak penasaran lagi, kan.
Penulis: Malik Ibnu Zaman
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Sejarah Martabak Telur, Berawal dari Lebaksiu Tegal hingga ke Penjuru Indonesia.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.