Jurusan Ilmu Politik berhasil mengambil hati saya ketika masih duduk di bangku SMA. Tidak lain karena masa pemilihan umum (pemilu) yang menghadirkan politisi dan calon pemimpin berdebat. Dalam bayangan saya dahulu yang masih naif, saya pikir mereka semua belajar ilmu politik sebelum terjun ke dunia politik.
Memori itu yang membuat saya akhirnya nyebur ke jurusan Ilmu Politik ketika kuliah. Jangan ditanya bagaimana rasanya. Pokoknya saya merasa orang paling keren saat diterima di jurusan ini. Bak masuk dunia baru dengan masa depan gemilang.
Akan tetapi, itu semua semu. Yang gemilang hanyalah sambutan dosen saat ospek dan pamflet pendaftaran kampus. Sisanya? Akan saya ceritakan di tulisan ini.
Setelah benar-benar nyebur, saya baru menyadari, lulusan jurusan Ilmu Politik justru lebih banyak yang “mlipir” dari panggung politik. Bukan karena kalah pintar, mereka minggir karena kalah modal dan ordal (orang dalam) alias koneksi. Mereka yang tidak punya dua hal itu bak jadi “gelandangan” di jurusannya sendiri.
Banyak yang jago menganalisa akhirnya memilih bekerja di balik layar, bukan di balik meja parlemen. Yang bertahan di tengah gelanggang politik biasanya mereka yang punya banyak “pintu belakang”. Sementara yang cemerlang, tapi nggak punya modal dan ordal berakhir jadi penonton saja, seperti banyak orang biasa lainnya.
Lulusan ilmu politik mau jadi apa?
Setelah mengerti seluk-beluk jurusan Ilmu Politik, saya jadi bertanya-tanya, lulusan ilmu politik mau jadi apa ya? Pertanyaan ini terus bergemuruh di kepala karena tahu diri ini kurang jaringan dan kurang modal.
Mereka yang duduk di jabatan strategis tidak berasal dari jurusan Ilmu Politik. Sementara yang benar-benar mengerti ilmu politik justru bekerja di balik layar. Malah ada yang banting stir jadi jualan kopi hingga kerja di bank. Kenyataan di lapangan memang pahit. Hanya segelintir lowongan pekerjaan yang benar-benar membutuhkan lulusan Ilmu Politik.
Kadang saya merasa, ilmu politik yang luas serasa tidak ada gunanya. Saya belajar teori kekuasaan hingga praktiknya di lapangan. Hanya saja, semua ilmu itu terasa sia-sia kalau tidak punya modal dan ordal. Saya hanya bisa jadi penonton.
Bayangkan saja, selain relasi, duit juga jadi kunci. Dunia politik bukan cuma soal wacana dan ide. Tapi juga soal logistik dan gengsi. Mau ikut pemilu, harus siap ongkosnya. Dari cetak baliho sampai traktir relawan.
Bahkan, buat jadi staf pun kadang perlu “uang jalan”. Kalau nggak ya harus siap kerja sukarela. Dan sayangnya, nggak semua lulusan punya kesempatan begitu. Banyak yang akhirnya mundur pelan-pelan. Bukan karena bodoh, tapi karena nggak mampu bersaing secara modal.
Saatnya bikin panggung sendiri
Dahulu, mungkin orang-orang memang masuk ilmu politik karena semangat perubahan. Mau jadi agen perubahan, katanya. Tapi,makin ke sini, idealisme makin tergerus. Yang dipilih bukan yang paling ngerti, tapi yang paling dikenal. Yang dikenal biasanya punya duit atau koneksi.
Akhirnya banyak yang apatis dan menyerah. Mereka merasa tak ada ruang buat berjuang. Ilmu yang dipelajari bertahun-tahun justru dianggurkan. Akhirnya ya jadi “gelandangan politik”. Dengan getir, mereka bilang, “Kami kuliah buat jadi penonton.”
Akan tetapi, menyerah bukan satu-satunya pilihan. Kalau panggungnya sempit, ya bikin sendiri. Bikin media, bikin komunitas, atau edukasi politik. Dunia digital bisa jadi arena baru. Tempat idealisme bisa tetap menyala, walau tanpa modal besar.
Banyak lulusan yang akhirnya bikin konten. Edukasi politik di TikTok dan Instagram. Gajinya mungkin nggak besar, tapi dampaknya nyata. Setidaknya nggak diam dan putus asa. Karena ilmu politik bukan sekadar gelar, tapi panduan menghadapi zaman.
Penulis: Ramanda Bima Prayuda
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 5 Tempat Nostalgia di UGM yang Bikin Alumni seperti Saya Pengin Balik Jadi Mahasiswa.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.


















