Saya mendapatkan satu cerita baru. Seketika saya ingin menceritakannya kepadamu. Ini tentang seorang kawan yang sedang dilanda kekecewaan. Jadi beginilah ceritanya.
Pada suatu hari, di sebuah tempat, tersebutlah seorang pria muda. Pria inilah kawan saya. Menurut desas-desus, pria ini sedang dekat dengan pria lain gadis pujaan hatinya.
Namanya juga sedang dekat-dekatnya, apa pun yang dikatakan si gadis menjadi sabda. Pria ini kemudian selalu berusaha melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya. Kalaupun boleh diistilahkan, pria ini sudah “beriman” kepada si pujaan.
Hari Jumat pria tersebut berencana mengajak main gadisnya. Ketika saya tanya kenapa milih hari Jumat, dia menjawab, “Ya pengen aja.” Dasar kawan saya ini tidak pernah punya alasan lain—selain ingin.
Saya sarankan Malam Minggu saja, biar banyak kawannya—makin rame kan makin asyik tuh. Bisa saling pamer kemesraan. Tunjukkan pada dunia, kalau kamu juga punya. Eh, dianya tidak mau.
Katanya, Malam Minggu pasti gadisnya yang tidak mau. Setiap ajakannya, selalu dipatahkan dengan alasan-alasan klasik yang sudah menjadi template. Kawan saya tahu itu, tapi dia tidak berbuat apa-apa. Namanya juga cinta, belum dicintai. Eh~
Setelah menganalisis alasan-alasan penolakan sang pujaan, akhirnya terputuskanlah hari Jumat itu. Sejak melek pukul sepuluh pagi, kawan saya langsung megang handphone. Kalau kata Mas Afrizal Malna, kawan saya sedang melakukan rutinitas pagi yang miring ke kanan.
Kawan saya langsung membuka WhatsApp—mencari nama pujaan hatinya. Tentu tidak sesulit mencari kawan yang sudah janjian, tapi bilang kelupaan. Sang pujaan, sudah pasti berada di urutan pertama. Paling atas dong, ya—kan disematkan.
Cukup lama kawan saya scroll atas-bawah baca chat yang jawabannya singkat-singkat. Tapi dia masih tersenyum juga. Paling tidak kan ada jawabannya, meskipun cuma “ya”, “oke”, “gpp”, dan jawaban serupa.
Setelah cukup nyali, kawan saya langsung melayangkan sebuah ajakan. Kawan saya mengerti, kemungkinan besar jawabannya adalah penolakan—tapi dia tetap menaruh harapan. Semoga tetap mau, meski hanya hari itu.
Sambil menunggu jawaban, kawan saya tidak beranjak sama sekali. Dia asyik membuka Instagram dan tenggelam dalam instastory. Di dalam dunia kecil itu, dia bertanya-tanya, kenapa orang-orang suka mengabadikan sesuatu dalam ruang yang fiksi? Ironis, bukan?
Tak dinyata, tiba-tiba ada notifikasi pesan masuk. Muncul nama sang pujaan. Dag-dig-dug dong ya—mau buka. Jadi kawan saya persiapan dulu, biar kuat kalau-kalau ada kiamat.
Kawan saya langsung beranjak dan membenahi pakaian. Merapikan tempat tidur. Pemanasan sebentar dan setelah siap, baru megang handphone lagi. Biar lebih afdol—katanya—kawan saya ini membaca basmallah.
Eng-ing-eng… Ini dia jawaban dari gadis pujaan kawan saya, “Ya, tapi kamu harus jumatan, biar tampan.”
Dia kaget. Apa maksudnya biar tampan? Apa ini sebuah ejekan atau sekadar candaan?
Tanpa menanyakan alasan lebih lanjut, kawan saya mengiyakan. Daripada nanti malah tidak jadi, kan sayang. Lagipula jumatan kan hanya seminggu sekali. Tidak jadi masalah juga. Palingan juga cuma satu jam saja.
Kawan saya lantas bersiap diri—langsung mandi dan dandan rapi. Dia berkaca depan cermin. Mengingat-ingat wajahnya, siapa tahu setelah Jumatan benar-benar bertambah tampan. Dia pun bergegas menuju masjid.
Selesai salat, kawan saya tidak lupa berdoa. Di dalam doanya yang pendek, ada banyak harapan yang dipanjang-panjangkan. Terutama harapan agar gadis pujaan hatinya selalu seperti hari ini. Membalas pesannya dengan sedikit basa-basi. Kan jadi enak dibacanya~
Dengan kemantapan yang sama dengan langkahnya ke masjid, kawan saya meninggalkan masjid. Dia mengingat pesan gadisnya—Jumatan biar tampan. Karena sudah menjalankan perintah, dia yakin kalau ketampanannya bertambah.
Kawan saya membayangkan, gadisnya sudah menunggu di depan. Kawan saya keluar dari gerbang. Mata gadisnya menatap dengan penuh kasih sayang. Betapa membahagiakan.
Tapi sayang, setelah lebih dari sepuluh meter dari masjid, gadisnya tak nampak juga. Bahkan jejak kaki dan bau tubuhnya pun tak ada. Kawan saya mulai sadar, bayangan memang suka membuat terlena.
Kawan saya bergegas ke kosnya. Siapa tahu, gadisnya memang sudah menunggu. Sesampainya di kos—tanpa melepas peci dan sarung terlebih dahulu—dia langsung nyungslep di kasur. Mengambil handphone dan membuka WhatsApp seperti yang sudah diatur.
Dia berkali-kali menghidup-matikan paketan. Gusar juga ketika ternyata memang tak ada pesan. Gadis yang menyuruhnya Jumatan, tidak memberi kabar. Sudah coba ditelpon kok ya, nggak diangkat juga. Semakin gelisahlah kawan saya.
Karena kesal, dihampirilah cermin di dinding. Kawan saya berkaca, mengingat kembali wajahnya yang semula. Tidak ada beda—tidak ada top up ketampanan seperti yang katakan gadis pujaan.
Kawan saya akhirnya menerima kenyataan. Gadisnya memang tak sebaik yang dia kira. Jawaban seperti tadi, hanya upaya untuk membuatnya tak sakit hati. Tapi nyatanya, sakitnya makin terasa.
Kawan saya merasa kena tipu. Malam harinya, dia bercerita kepada saya dengan menggebu-gebu. Saya sih cuma bisa ngguyu. Lalu dengan sedikit bijaksana, saya bilang kepadanya.
“Jumatan memang tidak membuatmu menjadi lebih tampan. Tapi setidaknya, hatimu akan terasa lebih nyaman.”
“Nyaman gundulmu! La wong saya kena tipu!” Hardiknya.