Beberapa hari yang lalu, sebuah media nasional mengabarkan bahwa saat ini Bandung sedang dalam bahaya. Hal yang menyebabkan adalah geng motor, yang semakin nekat, sampai berani membunuh. Ketika membaca berita tersebut, kata “Bandung” seakan-akan berubah menjadi Jogja.
Awalnya saya khawatir sama kesehatan mata saya. Jangan-jangan saya yang mulai rabun mengingat terlalu lama memegang sebuah jabatan. Namun, setelah saya periksa lagi, terutama ke bagian kewarasan di otak saya, Bandung memang mirip sama Jogja. Bukan soal narasi “diciptakan ketika Tuhan tersenyum”, tapi soal begal, klitih, gangster, atau terserah deh mau istilah apa.
Sia-sia mengubah istilah
Kata orang, sebuah “kata” atau “istilah” itu selalu punya muatan politis di dalamnya. Ya saya sih enggan untuk membantah hal itu karena di titik tertentu mengandung kebenaran. Namun, untuk masalah Jogja dan gangster, klitih, begal, pemilihan istilah hanya sebatas usaha untuk menghindari atau menggampangkan masalah seperti biasanya.
Tahun lalu misalnya, pemerintah Jogja dan kepolisian ingin masyarakat meninggalkan istilah “klitih”. Mereka mengubahnya menjadi “kejahatan jalanan”. Apakah lantas kekerasan di jalan menghilang? Ya bohong banget kalau ada yang menjawab “iya”. Mungkin dia “sobat nrimo ing pandum” atau illiterate saja. Iya, illiterate, nggak bisa membaca suatu teks atau hal-hal yang sifatnya interteks.
Contoh konkretnya seperti ini. Beberapa minggu yang lalu ramai sebuah berita bahwa Jogja itu menjadi provinsi termiskin kedua di Pulau Jawa. Respons pemangku jabatan itu bukan minta maaf lalu menjelaskan semacam roadmap konkret untuk mengatasi masalah ini. Mereka malah menegaskan bahwa miskin nggak papa asal bahagia. Nyatanya, sekarang ini, di 2023, separuh kebahagiaan ditentukan oleh status “tidak miskin”. Nggak usah repot membantah karena bantahanmu nggak pernah konkret.
Pembiaran masalah
Paragraf di atas menggambarkan sifat pembiaran akan sebuah masalah. Sama seperti mengubah istilah “klitih” menjadi “kejahatan jalanan”. Apakah hilang? Ya tentu saja tidak. Misalnya Rabu (8/02) dini hari, terjadi pembacokan di nol kilometer.
Iki Jogja, Kolombia po Guatemala?? 😤😤😤pic.twitter.com/hyoyaeT7Bf
— Mas Kikiz ☘️ (@RezkyRamadhanz) February 7, 2023
Buat pembaca yang belum pernah merasakan romantisnya Jogja, lokasi nol kilometer itu cuma beberapa langkah saja dari Istana Raja Jogja. Istana yang kini halaman depannya diisi pasir. Mungkin dalam waktu dekat mau ada lomba voli pantai kelas kapanewon di sana. Seru sekali. Makasih, Jogja.
Hal ini menjadi bukti sahih bahwa mengubah istilah itu bukan solusi. Kalau mereka yang mengubah istilah sadar, seharusnya sekarang sudah minta maaf secara publik. Namun, mereka kan sibuk membiarkan. Entah, mungkin lupa yang mana sangat manusiawi atau memang agak kesulitan berpikir. Iya, rebahan sambil check out toko online memang lebih menyenangkan.
Sifat memaklumi masalah di Jogja itu memang sudah menjadi hobi. Kamu butuh contoh konkret nggak? Kalau butuh, silakan klik tautan berikut untuk bersama-sama membedah kebiasaan pemerintah Jogja. Silakan:
“Catatan Pemakluman Masalah di Jogja oleh Sultan Jogja Selama 10 Tahun Terakhir”
Artikel di atas ditulis berdasarkan riset secara pustaka (online). Artinya, ringkasan tersebut sudah sah untuk disebut sebagai karya jurnalistik. Hayo, mau membantah seperti apa? Lha wong semua jejaknya tercatat dengan nyata. Saat ini, kita sedang berenang di lautan fakta, Lur.
Butuh contoh lain?
Jalan rusak
Beberapa hari yang lalu, di media sosial ramai sebuah relawan jalanan Jogja yang prihatin dengan jalan rusak. Relawan ini turun ke jalan membawa pilok berwarna putih. Mereka memberikan tanda lingkaran ke lubang-lubang yang menganga di jalan dan tidak kunjung diperbaiki.
Lubang yang ditandai membentang di Jalan Kaliurang dan Jalan Godean sampai daerah Sembuhan. Daerah Sembuhan itu cuma sepelemparan batu sebelum batas antara Sleman dan Kulon Progo. Ini adalah niat yang sangat luhur dari warga yang peduli kepada keselamatan sesama.
Jl Godean KM 7.5 (Gesikan) – 17.5 (Sembuhan)
Semoga diteruskan kepada pihak yg berwenang. |@sidikyuliantoo pic.twitter.com/D7QL0FNju6
— Merapi Uncover (@merapi_uncover) January 30, 2023
Namun, kamu tahu, apa komentar para pemangku jabatan? Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan kawasan Permukiman (DPUPKP) Sleman, Taupiq Wahyudi, menyebut bahwa saat ini belum ada jalan rusak yang ekstem dan membahayakan. Hmmm… gitu ya.
Tahukah kamu Taupiq, jalan rusak di Jalan Godean itu sudah sangat membahayakan. Istri saya hamil besar dan kadang harus lewat sana untuk keperluan di Kota Jogja. Ibu hamil dan lewat jalan rusak itu sudah sangat membahayakan. Lewat jalan lain? Matamu! Coba carikan alternatif jalan dari Minggir menuju Kota Jogja, yang tidak rusak, yang bisa saya lewati dan tidak memutar. Ingat, saya membonceng ibu hamil besar, lho. Nggak boleh saya khawatir?
Provinsi Swadaya
Kata Taupiq, yang berwenang untuk memperbaiki jalan adalah Pemprov Jogja. Lha, kenapa nggak dilaporkan ke sana supaya segera diperbaiki? Batasan nggak bahaya kan buat kamu yang nggak lewat sana setiap hari, apalagi sampai dua kali. Apakah Pemprov nggak punya duit? Oiya, maaf, masih menyandang status termiskin kedua ya?
Akhir kata, tinggal di Jogja saat ini itu sudah seperti tinggal di Provinsi Swadaya. Rakyat yang harus prihatin, bergerak sendiri, dan kalau celaka yang tanggung sendiri. Mau dibacok, geblak karena jalan rusak, atau nggak mampu beli tanah, ya silakan menderita sendiri. Yang penting bahagia, kan. Bahagia ndasmu!
Penulis: Yamadipati Seno
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jika Istilah Klitih Diganti, Apakah Jogja Akan Lebih Baik-baik Saja?