Jogja, saya bukan lagi ingin mencintaimu, tapi telah mencintaimu dengan sederhana. Sepuluh tahun lebih tinggal di dalamnya, menikmati segala keistimewaanmu, yang terus terluka dan makin hari kian menganga.
Ya, menganga. Tepat di malam saya tiba, sepulang tugas kerja di pulau seberang, sambil menatap langit-langit kamar, saya membatin, “Sudah jelas Jogja tidak sedang baik-baik saja.” Saya masih ingat masa awal saya tinggal di Bumi Mataram. Rasanya, dulu semuanya serba adem ayem.
Namun, hari-hari ini, kita harus mengakui secara jujur bahwa Jogja sedang terluka, membuat warganya sendiri menderita. Mulai dari lingkungan sosialnya, pariwisatanya, predikat kota pendidikan, hingga kesejahteraan rakyat. Mari kita memotret Jogja secara jujur.
Jogja kini seperti daerah terpinggirkan yang tidak memikirkan warganya sendiri
Jogja itu cuma daerah pinggiran. Ia menjadi daerah pinggiran Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Gunung Kidul. Ia hanya sebatas pusat keramaian.
Kemacetan, bising klakson, dan ribuan kendaraan menggeser suara-suara keramahan khas masyarakat Jawa. Selain itu, tembok-tembok tinggi perumahan, hotel mewah yang jelas bukan milik warga lokal dengan UMR minim, menutupi ladang-ladang milik warga. Orang Jogja mau membangun hotel? Bisa menyambung hidup saja sudah kewalahan.
Soal UMR, apakah benar kenaikan menjadi berkah? Nyatanya tidak, ketika para penentu kebijakan mau menengok mata lelah para buruh yang pusing menutup biaya sekolah anaknya. Maklum, biaya pendidikan semakin mahal dan seperti bukan milik orang miskin.
Sudah sulit sekolah sampai pucuk tertinggi, anak muda Jogja masih tenggelam dalam pengaruh kejahatan jalanan. Solusi? Saya belum merasakannya. Saat ini, yang saya rasakan adalah menghilangnya rasa “welas asih” yang ratusan tahun menyatu dengan jogja. Jogja kota pendidikan? Tidak, itu salah. Saat ini, Jogja adalah kota gangster. Apakah para penentu kebijakan tidak memikirkan masa depan para peserta “bonus demografi” ini?