Wisata, wisata, wisata!
Inilah masalah yang lahir akibat doktrin pembangunan di Jogja: doktrin pariwisata. Yang jadi fokus utama hanyalah sektor pariwisata. Entah untuk menarik pengunjung, ataupun mendapat status Kota Warisan Budaya UNESCO.
Ketika sebuah daerah berfokus pada pariwisata, pembangunan estetika jadi keharusan. Bahkan pembangunan RTLH ini juga mengikuti doktrin yang sama. Nilai fungsional serta efisiensi serapan anggaran kalah dengan mimpi “rumah berarsitektur Jawa.” Padahal yang dibutuhkan warga Jogja adalah hidup yang layak. Bukan melulu estetika.
Masih ada 30 ribu rumah tidak layak huni. Minimal, ada 30 ribu keluarga yang tinggal di rumah tidak layak. Tapi mereka harus antre demi mengedepankan estetika daerah tujuan pariwisata. Mengalah pada kenyamanan turis dan pelancong yang katanya penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbesar. Padahal tidak semua orang terdampak secara positif oleh pariwisata. Dan saya yakin, mayoritas 30 ribu rumah itu tidak mendapat keuntungan langsung dari pariwisata.
Saya melihat sebuah ironi. Proyek estetika ini dibangun dengan Danais yang bersumber dari APBN. Lalu apa dampak dari sumbangan PAD terbesar ini? Kenapa selalu saja Danais yang dihibahkan untuk pembangunan fasilitas pariwisata? Bukankah lebih elok jika urusan pariwisata dibangun dengan APBD yang disumbang sektor tersebut? Yah, namanya juga istimewa.
Saya pikir Jogja bukan satu-satunya daerah yang menganut azas ini. Banyak daerah yang kini memakai doktrin pariwisata sebagai asas pembangunan. Misal di Bandung yang terobsesi menjadikan masjid megah sebagai ikon wisata religi. Pada akhirnya, semua jadi serba estetika. Dan rakyat dipaksa menyingkir demi keindahan destinasi wisata.
Kalau mau mendang-mending sih, setidaknya Danais mulai membangun rakyat. Dari total 1,2 triliun Danais, ada 7 miliar dana pembangunan rumah tidak layak huni. Tapi 1,2 triliun itu berarti 1200 miliar. Mau membuat perbandingan lagi. Tidak perlu, karena Jogja ora iso dibanding-bandingke. Istimewa og! Ra terimo? Majuo, aku meh turu!
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kok Bisa Ada Orang Bahagia di Jogja, padahal Hidup Mereka Susah?