Kerja memang melelahkan, tapi menganggur jauh lebih melelahkan. Rasa bersalah yang menghantui, dan ilusi kenyamanan membuat hidup kita dalam posisi yang benar-benar tak mengenakkan. Maka dari itu, situs macam Jobstreet, LinkedIn, lowongan kerja di tiang lampu merah, serta job fair mewarnai hidup kita, bagian dari 99 persen warga Indonesia yang tak masuk keluarga orang kaya.
Lapangan kerja begitu banyak, harus diakui dulu perkara ini. Tapi mencarinya, itu urusan lain. Nggak usah ngomong lowongan kerja yang cocok dulu deh, yang nggak cocok aja susah dicari. Kadang, situs tak membantu atau tak jelas. Lowongan kerja di tiang lampu merah, terkenal dengan scam. Dan job fair, adalah cara lain—bahkan mungkin akhir—yang bisa ditempuh.
Daftar Isi
Mencari peluang dan harapan lewat job fair
Saya rasa tak perlu menjelaskan apa itu job fair. Yang jelas, acara ini memberikan wadah yang menjembatani antara pencari kerja dengan penyedia lowongan kerja. Job fair ini tidak hanya menyediakan berbagai variasi lowongan kerja, tapi juga seminar dan konsultasi karier.
Bisa dibilang bahwa Job Fair ini memberikan simbiosis mutualisme kepada pencari kerja dengan penyedia lowongan kerja. Keduanya saling membutuhkan dan mencari. Perusahaan mencari kandidat tepat dan terbaik yang sesuai dengan yang dicarinya, sedangkan pencari kerja membutuhkan lowongan yang sesuai dengan standar kualifikasi.
Dengan kata lain, acara demikian mampu menjadi peluang yang efektif untuk mengeksplorasi berbagai macam alternatif pilihan bidang dan profesi dalam dunia kerja. Keuntungan lain adalah pencari kerja dapat berinteraksi langsung dengan pihak-pihak perusahaan. Sehingga mampu lebih jelas dalam memberikan gambaran pekerjaan yang ditawarkan.
Selain itu, tidak jarang lulusan baru alias pencari kerja ini dapat secara langsung mendaftar dan melamar saat di lokasi. Kemudahan akses komunikasi dan kelengkapan informasi yang diberikan menjadi poin tambahan.
Saya memiliki beberapa pengalaman ketika menapaki job fair di beberapa kampus. Saya masuk ke ruangan dengan besar harapan dapat mendapatkan pekerjaan yang pas dan cocok. Rasanya menyenangkan ketika datang dan disambut dengan ramah dan kemudian disodori dengan brosur bertuliskan “Hiring” dan sejenisnya. Penuh kesabaran dan keramahan, dijelaskan satu per satu secara rinci apa yang sedang ditampilkan pada brosur tersebut.
Sisi enaknya yang lain adalah beberapa bahkan dapat langsung wawancara di tempat dan atau ngisi formulir pendaftaran di lokasi. Hal ini tentu mempermudah kedua belah pihak sehingga dapat menghemat waktu dan anti-ribet. Secara garis besar sih memang banyak keuntungan dan cukup efektif, ruginya paling cuma capek ngerapihin koleksi brosur karena banyak dan bertumpuk-tumpuk wkwkwk.
Sisi yang masih menjadi kekurangan
Meskipun demikian, hal sebaliknya bisa juga terjadi saat menapaki ruang-ruang di job fair. Tidak adil rasanya jika hanya memberikan gambaran sisi positifnya saja. Terdapat sisi lain yang masih perlu diperluas. Acara job fair seperti ini masih jarang sekali alias masih kurang dalam memberikan ruang konsultasi dan penyedia loker dalam ranah kerja-kerja kemanusiaan. Mayoritas masih didominasi dengan peluang kerja-kerja di korporat.
Tentu ini sedikit (atau bahkan banyak) mengecilkan semangat bagi para job seeker yang ingin melebarkan sayap kerja di ranah kemanusiaan. Adapun biasanya kerja-kerja di ranah kemanusiaan dinaungi oleh Non Government Organization (NGO). Ke depannya, bisa jadi tambahan di job fair untuk memperluas tawaran jenjang karier dunia kerja di ranah NGO. Sejauh ini karena dilihat-lihat masih kurang, hehehe.
Selama menapaki pekerjaan di job fair, saya masih belum mendapatkan lowongan pekerjaan yang di dalamnya terdapat fasilitas konseling kesehatan mental. Menurut saya ini juga tidak kalah krusial mengingat pekerja rentan secara psikologisnya karena efek bekerja. Apalagi berbagai pekerjaan membubuhkan kualifikasi “mampu bekerja di bawah tekanan” dan atau “orientasi pada target”. Kalimat-kalimat tersebut merupakan contoh kualifikasi yang sangat mungkin menempatkan para pekerja pada posisi rentan secara psikologis. Jadi, menurut saya hal ini pun penting dari hanya sekadar menampilkan rentang gaji.
Belum ramah difabel
Selain itu, perhatian lain muncul di mana lowongan kerja kebanyakan masih belum menampilkan sisi inklusivitas. Masih sulit menemui lowongan kerja yang memberikan kesempatan dan memfasilitasi para pencari kerja dengan disabilitas. Poin ini menjadi krusial karena nyatanya kesetaraan masih belum mampu ditegakkan oleh perusahaan-perusahaan.
Kualifikasi yang ditawarkan masih jarang atau bahkan belum memberikan kesempatan bagi kawan-kawan disabilitas. Diharapkan ini juga menjadi perhatian ke depannya. Mengingat kawan-kawan disabilitas juga memiliki hak yang sama untuk memperoleh akses pekerjaan. Perlu kedepannya ada upaya peningkatan penggalakan di job fair agar kesempatan dan peluang bekerja juga dapat dengan mudah diakses oleh semua orang.
Penulis: Nourma Dewi Fatmawati
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Ikut Job Fair Beneran Bisa Dapat Kerja Nggak, sih? Bisa dong!