Denny Siregar memang selalu memberikan pikiran-pikiran yang segar. Sudah nggak bisa diganggu-gugat dan sudah pasti malang melintang dalam dunia media sosial. Kalau suatu isu nggak ia tanggapi, berarti isu tersebut nggak akan besar. Sama seperti api, biarlah kita melihat buzzer bekerja. Serial Nussa dan Rara juga demikian.
Entah itu Islam spaneng atau terlalu kikuk, Nussa dan Rara mungkin memang lahir dalam keluarga yang kebetulan Islam-nya baku dan menggunakan atribut layaknya “gurun pasir” seperti apa yang dikatakan buzzer kawakan yang licin itu. Mulai dari peci sampai gamis, lengkap menempel di tubuh Nussa dan ini yang jadi permasalahan.
Jelas hal ini membuat Denny Siregar sang manusia unggul pemegang teguh multikulturalisme, muntab. “Lha wong Islam Indonesia itu nggak gitu-gitu amat, coba sarungan, pakai peci Sukarno, dan baju koko biasa,” mungkin itu yang berkecamuk di kepala Denny.
Melihat sebuah film, tentu kita bisa meneropong latar belakang apa yang hendak diangkat oleh pembuatnya. Entah itu dalam lingkungan religius, begajulan, ateis, sampai pemuja dinamo pun bisa. Dan ndilalah Nussa dan Rara ini memang diangkat dari latar belakang Islam yang “spaneng”, Mas Denny.
Kalau nggak puas, saya bisa membantu imajinasi Mas Denny. Andai kata Nussa lahir dalam keluarga Muhammadiyah atau NU, bagaimana ya kira-kira atribut dan pemikiran yang melekat pada diri Nussa? Pasti bakalan gayeng, ya? Begini hasil yang saya diskusikan dengan Mohammad Ibnu Haq di suatu malam yang penuh tawa.
Perbedaan mendasar NU dan Muhammadiyah itu aslinya banyak, namun lebih banyak lagi persamaannya. Perbedaan NU dan Muhammadiyah paling jelas itu dalam peletakan redaksional dan kitab-kitab mereka dalam ber-fiqih. Itu sebabnya bisa tercipta nuansa gayeng tersendiri misal Nussa lahir dari latar belakang NU atau Muhammadiyah.
Awas saja nanti kalau Mas Denny protes lagi, kenapa mesti Muhammadiyah dan NU? Kenapa nggak yang lain? Lha pripun nggih, sejatinya saya mau kasih banyak contoh. Salah duanya Nussa dan Rara lahir dari keluarga penyintas tabir PKI 65′ atau lahir dari keluarga agnostik. Tapi, nggak jadi, nanti malah makin diamuk Mas Denny kan repot.
Hesss ribet! Keburu diprotes lagi, kita mulai yok.
Pertama, ketika Nussadan Rara lahir di keluarga NU, jelas di teras rumahnya akan ada lemari buku berjejeran dengan rapi dan mbois. Foto-foto Kyai kawakan akan terpampang di sana-sini. Tajuk utama adalah buku milik Gus Dur, Tuhan Tidak Perlu Dibela. Hal ini menjaga Keluarga Nussa dan Rara dari tawassuth. Nggak melulu takut terjebak dalam Islam yang ekstrimis, melainkan berguna menjaga pikiran Nussa sekeluarga atas sudut pandang yang beragam.
Ketika Nussa tetak atau sunat, sudah pasti akan digelar acara kenduren yang mengundang seluruh warga desa. Keluarga Nussa nggak menganggap kegiatan ini sebagai bid’ah karena banyak aspek baik seperti silaturahmi, sedekah, dan bertukar kebahagiaan.
Bayangin aja suasana keluarga yang penuh tawa dan syukur. Nussa di tengah-tengah rumah, makan nasi tumpeng yang diberi wadah daun pisang dijejer-jejer. Nussa senyam-senyum, pakai sarung Wadimor meling-meling, terus menyapa kerabatnya, “Monggo, Lik!” sambil menundukkan kepala.
Hidup keluarga Nussa bahagia, yang barangkali nggak pernah dirasakan oleh buzzer-buzzer politik di media sosial. Melihat segala hal secara plural dan membahas dengan menyenangkan. Begitu, Mas Denny Siregar. Oh iya, Mas Denny tahu kan definisi dari “bahagia” itu apa? Wah repot iki ncenan.
Ketika Nussa menginjak usia belasan, terpaksa series kartun ini akan tamat. Bukan karena ceritanya selesai, melainkan Nussa akan mengenyam pendidikan pesantren. Kartun Nussa dan Rara akan diganti dengan judul film The Santri. Sutradaranya bukan lagi Angga Dwimas Sasongko, tetapi Livi Zheng. Siap-siap dapat nominasi Oscar!
Kedua, ketika Nussa dan Rara lahir dalam keluarga Muhammadiyah. Sudah pasti di ruang tamu Nussa berjejeran buku-buku Buya Hamka. Nggak ada pajangan foto dan kesan desain rumah minimalis nan manis terlihat jelas digambarkan oleh ilustrator.
Nek nggak ya bisa juga lho animasi ini bersetting di bilangan Kotagede, Yogyakarta. Nussa sekolah di sana, pulangnya sore terus karena ikut kegiatan Hizbul Wathan atau HW yang merupakan kegiatan kepanduan Muhammadiyah. Nek nggak ya pulang sore karena ikut ekstrakurikuler tapak suci.
Waktu berangkat sekolah, bisa digambarkan betapa syahdunya Kotagede kala Nussa naik sepeda dan kejebak di Pasar Kotagede waktu pasaran Legi. Nggak lupa pula Nussa beli ayam warna-warni di pasaran tersebut untuk adiknya, Rara, yang sedang sekolah di SD Muhammadiyah Kleco.
Waktu di Masjid setelah salat Tarawih pun Nussa bakalan sering main slepet sarung. Hal ini dikarenakan sunnah dan dalil Muhammadiyah menggunakan 8 rakaat plus 3 witir. Pun nggak menunaikan manakib, tahlil, barzanji, hanya berzikir. Ada waktu untuk bermain dengan kawan-kawannya. Ada petasan yang harus disumet dengan khidmat.
Tapi, dari dua versi yang saya parodikan di atas, semisal mereka duduk bersama, pasti bakalan menyapa Nussa yang ada di televisi. Nussa yang pakai gamis dan peci. Nussa yang diejek Denny Siregar. Toh di alam selanjutnya nanti nggak bakal ditanya, “Kamu NU apa Muhammadiyah?” apalagi pertanyaan, “Kamu follow Denny Siregar, nggak?” Duh, nggatheli.
Coba tanya Nussa versi NU dengan pertanyaan, “Apakah boleh Islam merusak Pancasila?” sudah pasti Nussa bakalan menjawab, “Yo sing bener, tho. Jelas nggak boleh. Lha wong Pancasila itu bagian dari kesepakatan, perjanjian. Islam mengecam keras perusak janji (dikutip dari NU Online)”
Terus kalau selo seperti Denny Siregar, coba tanya kepada Nussa versi Muhammadiyah, jawabannya sudah tentu seperti ini, “Aku minjem dulu pendapatnya Nussa versi NU, lha di kepalaku saja sama persis seperti itu.”
Bagaimana, Mas Denny Siregar, lebih sreg sama versi yang mana? Asal jangan versi Anda ya, Mas. Kasihan ah, Nussa masih kecil. Mosok disuruh jadi buzzer.
Sumber gambar: YouTube Aldifer
BACA JUGA Alasan Serial Animasi Nussa Nggak Cocok untuk Tayangan Anak-anak di Televisi dan tulisan Gusti Aditya lainnya.