Momon, bukan nama sebenarnya. Cowok berusia 27 tahun ini lulusan Teknik Informatika dari salah satu kampus swasta favorit di Jawa Tengah.
Ada sebuah lelucon lama yang masih terus beredar sekitar di tongkrongan mahasiswa. “Kalau kamu pintar, IPK tinggi, punya pengalaman organisasi dan magang, kamu pasti tetap nganggur setelah lulus.”
Tawa pahit biasanya muncul setelah kalimat itu keluar. Bukan karena lucu, tapi karena dekat dengan kenyataan. Terlalu dekat, sampai rasanya kayak ditonjok pakai slip gaji kosong.
Daftar Isi
- Bukan sembarang alumni S1 Informatika
- Pencari kerja sejati, dari amplop coklat sampai google form
- Menjadi BuzzeRp, jalan ninja yang tak direncanakan S1 Informatika
- Kerjaannya gimana?
- Gaji, tunjangan, dan janji surga
- Dari media sosial ke jalanan: Perjuangan S1 Informatika yang lulus cumlaude
- Menggadaikan idealisme, proses yang sunyi
- S1 Informatika ini tidak sendiri
- Kapan lagi rebahan bibayar?
Bukan sembarang alumni S1 Informatika
Waktu kuliah, dia dikenal sebagai “jagonya ngoding” yang bisa bikin chatbot lebih cepat dari dosen saat mengoreksi nilai. Momon lulus dengan IPK 3,85 memiliki pengalaman magang di perusahaan multinasional dan presentasi skripsi yang katanya bikin dosen sampai berdiri tepuk tangan. Klise? Mungkin. Tapi sebuah kenyataan.
Sayangnya, secerah apapun CV yang dimiliki, kalau lowongan kerjanya gelap gulita, ya percuma saja.
Pencari kerja sejati, dari amplop coklat sampai google form
Setelah lulus di tahun 2021, Momon langsung tancap gas cari kerja. Mulai dari mengirim lamaran via email, ikut job fair sampai luar kota, sampai balik ke zaman batu ngirim amplop coklat ke kantor-kantor.
Alumni S1 Informatika ini sudah mengirim ratusan lamaran. Beberapa sempat dibalas HRD dengan template klasik “Terima kasih atas partisipasinya”. Sisanya? Tenggelam dalam keabadian kotak masuk perusahaan.
Frustrasi? Sudah pasti. Apalagi tiap pagi bangun tidur, yang dilihat bukan notifikasi panggilan kerja, tapi tagihan Shopee PayLater.
Di masa-masa itu, satu-satunya yang bikin Momon tetap hidup adalah tekad untuk tidak merepotkan orang tua. Maka, S1 Informatika ini banting setir jadi pekerja serabutan. Dari ojol, sopir pocokan, calo tiket konser dan bola, hingga jadi admin jualan online. Semua dilakoni.
Dan 2024 adalah tahun yang tak bersahabat. Inflasi, kenaikan BBM, dan tren anak-anak nongkrong di rumah bikin ojek online sepi. Pendapatan yang dulu bisa sampai Rp2 jutaan per bulan, kini susah tembus sejuta. Keuangan makin kritis. Masa depan apalagi.
Sampai akhirnya, di Agustus 2024, satu tawaran datang yang aneh, absurd, tapi terlalu menggoda buat ditolak. Lulusan S1 Informatika ini tertarik.
Menjadi BuzzeRp, jalan ninja yang tak direncanakan S1 Informatika
Seorang teman lama, yang kakak sepupunya maju menjadi kepala daerah, menawari pekerjaan jadi buzzer politik. Tapi bukan sembarang buzzer.
Ini buzzeRp, pakai “p” di belakang, biar lebih berkelas. Istilah anak-anak sekarang untuk menyebut buzzer profesional, yang dibayar dan punya struktur organisasi rapi seperti startup, tapi kerjaannya ya memoles nama baik calon kepala daerah yang memberikan pekerjaan.
Awalnya, lulusan S1 Informatika ini menolak. Jiwa mudanya yang tumbuh sebagai anak hardcore punk masih kuat. Dia masih percaya politik itu penuh tipu-tipu. Tapi, idealisme memang punya masa kedaluwarsa. Dan dompet tipis bisa mempercepat kedaluarwasanya.
Setelah menimbang tawaran kawan lamanya tersebut, Momon menerimanya. Meski memang dengan berat hati.
Kerjaannya gimana?
Kalau kamu bayangin kerjaan buzzeRp itu duduk di ruangan remang dengan layar penuh akun fake dan postingan provokatif, kamu keliru. Kerjaan lulusan S1 Informatika ini ternyata sederhana. Cuma modal hape, kuota internet, dan jempol yang sehat.
Tugas hariannya hanya berkomentar di akun media sosial sang calon kepala daerah: Instagram, TikTok, Facebook. Tugasnya bukan menebar hoaks atau menghina lawan politik.
Cukup komen positif, mengeluarkan sederet kata kata pujian-pujian manis seperti, “Pak calon makin ganteng, makin cocok memimpin kota,” atau, “Visinya menyentuh hati rakyat.” Yah, sejenis itu.
“Kalau disuruh jelek-jelekin calon lain, terus terang saya ogah. Walaupun ini kerjaan bertentangan dengan nurani saya, tapi gimana lagi, Mas, saya butuh makan,” ujar Momon, sembari memoles komentar berisi emoji api dan bendera.
Gaji, tunjangan, dan janji surga
Sebulan, Momon mendapatkan gaji pokok sebesar Rp1.500.000. Tidak besar, tapi cukup untuk bayar kos dan makan mie instan.
Selain itu, ada uang kuota Rp300.000 dan honor tambahan kalau ikut rapat tim. Rapatnya, biasanya ngumpul di sebuah warung kopi, bahas strategi komen, dan update algoritma TikTok.
Yang menarik, bukan gaji yang bikin orang betah jadi buzzeRp. Tapi janji-janji manis dari tim sukses.
Kata Momon, “Saya dijanjikan kerja di instansi pemerintahan kalau bapak itu jadi. Bahkan ada yang dijanjikan kerja di perusahaan milik anaknya. Pokoknya kalau dia menang, masa depan kita aman.”
Janji itu jadi semacam umpan pancing buat buzzeRp kayak Momon. Bukan sekadar kerja temporer, tapi potensi loncatan karier. Yah, meskipun belum tentu juga ditepati. Tapi dalam kondisi pengangguran akut S1 Informatika, harapan semu tetaplah harapan.
Dari media sosial ke jalanan: Perjuangan S1 Informatika yang lulus cumlaude
Selain berselancar di media sosial, lulusan S1 Informatika ini juga dapat tugas tambahan untuk memasang MMT (spanduk kampanye), mencari data pemilih potensial, bahkan antar-jemput logistik kampanye.
“Pokoknya serabutan juga. Tapi beda, ini serabutan politik,” katanya, sembari tertawa pahit.
Kadang dia diminta mendata teman-teman lama yang sekiranya bisa diajak mendukung si calon. Tugasnya seperti juru kampanye, tapi tanpa blazer biru dan senyum palsu.
“Kadang saya jadi kayak sales MLM, Mas. Bedanya, yang dijual bukan sabun, tapi harapan.”
Menggadaikan idealisme, proses yang sunyi
Ada pertanyaan besar yang muncul bagaimana seorang S1 Informatika yang semasa kuliah terkenal idealis, bisa berakhir jadi buzzer politik?
Jawabannya sederhana: kehidupan.
Lulusan S1 Informatika ini bukan tipe yang haus kekuasaan atau gila amplop. Dia hanya anak muda yang lelah melamar kerja, capek hidup dalam ketidakpastian, dan bosan dikasih template penolakan.
Maka, ketika pekerjaan datang meski aneh, meski bertentangan dengan prinsip dia terima.
“Ini bukan saya menyerah, Mas. Tapi saya realistis. Saya juga pengin makan, pengin hidup. Masa iya harus terus-terusan ngandelin orang tua?”
S1 Informatika ini tidak sendiri
Cerita Momon bukan cerita langka. Di luar sana, banyak lulusan yang bernasib sama. Lulusan S1 Informatika, teknik, hukum, ekonomi, bahkan kedokteran, yang akhirnya banting setir jadi konten kreator dadakan, driver ojol, penjaga kafe, atau ya menjadi buzzeRp.
Kondisi ekonomi yang timpang, sistem rekrutmen yang absurd, dan industri yang makin kejam membuat para pencari kerja harus cari jalan pintas. Dan sayangnya, politik jadi jalan pintas yang makin ramai diminati.
BuzzRp bukan cuma tren. Ia sudah jadi industri. Ada manajer tim, target mingguan, bahkan pelatihan. Dan ini tidak hanya terjadi di kota besar, tapi juga merembet sampai ke level kabupaten.
Kapan lagi rebahan bibayar?
Meski awalnya berat hati, kini Momon mengaku menikmati pekerjaannya. Ada rasa bersalah, tentu. Tapi rasa kenyang setiap akhir bulan cukup ampuh meredamnya kekecewaan lulusan S1 Informatika ini.
“Kapan lagi, Mas, rebahan sambil nonton streaming pertandingan sepak bola bisa mendapatkan gaji berjuta juta Asal rajin komen, ya aman.”
Dia tahu ini bukan pekerjaan ideal. Tapi juga sadar bahwa “pekerjaan ideal” adalah kemewahan yang tidak semua orang bisa miliki. Apalagi untuk lulusan S1 Informatika yang mentok ini.
Penulis: Andre Rizal Hanafi
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.