Hampir semua mahasiswa mengenal dengan istilah “Proposal PKM”. Ya, program kreativitas mahasiswa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia lewat Dana Pendidikan Tinggi (Dikti) yang bertujuan untuk mengasah seberapa jauh kontribusi mahasiswa melalui hasil kreativitasnya masing-masing untuk keberlangsungan hajat masyarakat Indonesia.
Namanya juga PKM, program kreativitas mahasiswa, jelas harus murni dari buah pikiran setiap mahasiswa. Dikerjakan dengan kelompok beranggotakan 3-6 mahasiswa, dengan bimbingan seorang dosen yang dimintai pertolongan. Jika beruntung, setiap kelompok akan mendapatkan Dana Hibah Dikti maksimal Rp. 12.500.00,-. Bahkan, jika dianggap layak sesuai standar yang ditentukan oleh Dikti, maka bisa diikutsertakan dalam kejuaraan PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) yang dilaksanakan di universitas yang berbeda-beda tiap tahunnya.
Cuma masalahnya, banyak sekali kicauan dari beberapa mahasiswa tentang program kreativitas mahasiswa ini yang sering kali dipelesetkan dengan istilah “Program Korupsi Mahasiswa”. Bukan rahasia umum sebenarnya untuk istilah pelesetan ini. Bener kok ada praktik koruptif di dalamnya.
Misalnya saja pada saat pembuatan proposal. Semua harga bahan yang tercantum akan digelembungkan. Entah cuma ratusan ribu atau berkali-kali lipat. Belum lagi bahan-bahan yang sebenarnya tidak diperlukan dalam kriteria penelitian atau lainnya, dimasukan ke dalam unit barang dan jasa. Jadi, istilah bekennya adalah terjadi penggelembungan dana.
“Semua itu dilakukan agar dana yang cair bisa menyentuh angka maksimal (Rp. 12.500.000,-).” Sebuah alasan sangat klasik bagi para mahasiswa yang punya pengalaman menyusun Proposal PKM tersebut. Saya sendiri pernah mendapat saran dari kakak tingkat untuk digelembungkan dananya. Sebagai junior yang tidak tahu apa-apa tentu saja tidak bisa menolak sarannya. Hehe.
Dari penyusunan proposal saja sudah “dilatih” untuk membuat proyek yang cukup koruptif. Bagaimana dengan yang lainnya?
Penunjukkan dosen yang tidak sesuai dengan bidangnya bisa dikatakan sebagai cikal-bakal PKM yang koruptif. Misalnya jenis Program kreativitas mahasiswa yang dipilih adalah Penelitian Eksakta, alias masih berbau-bau MIPA. Tapi, yang dipilih menjadi dosen pembimbing justru dosen hukum. Coba hubungkan keterkaitan ilmu hukum dengan penelitian MIPA? Nggak ada nyambung-nyambungnya.
Alasan pemilihan dosen pembimbing PKM yang paling banyak, “Dosennya enak ditemui sama enak diajak bimbingan.” Kesalahan penunjukkan dosen pembimbing yang tidak masuk sesuai bidangnya tentu akan menimbulkan beberapa hal. Seperti tidak tahu bagaimana cara membimbing mahasiswanya, sampai cara mengawasi mahasiswa di tingkat awal yang sangat kurang. Semua cukup dengan kalimat, “Ya, bagus bagus. Lanjutkan saja.”, tanpa melihat eksistensi program yang akan dijalankan.
Tentu saja ini menjadi angin segar bagi mahasiswa yang cukup mata duitan. Lah aman kok. Dosen sudah setuju. Tinggal dinilai layak didanai atau tidak. Syukur kalau tidak didanai. Nah kalau diterima oleh Dikti? Berapa juta uang negara yang mungkin tidak terserap 100% untuk biaya menjalankan program? Itu baru satu kelompok.
Jika dinilai layak untuk didanai, langkah selanjutnya adalah melanjutkan program untuk dijalankan. Kalau penelitian eksakta MIPA, bisa lanjut ranah laboratorium. Kewirausahaan bisa lanjut mencicil barang-barang untuk dagangannya. Nah disinilah praktik korupsinya mulai berjalan.
Ada yang melaksanakan penelitian hanya sekedar formalitas belaka. Ada juga hanya untuk patut-patut saja dengan adanya dokumentasi. Untuk pembelian bahan jelas ada, tapi tidak digunakan sebagaimana mestinya. Atau tidak dibelikan sebanyak apa yang ada di rancangan penelitian.
Hal ini bermuara pada jumlah dana yang tidak didanai sepenuhnya. Mungkin 70%, 80%, atau 90%. Bagi yang mendapat “jackpot” tentu bisa didanai 100%. Tapi hal ini bukanlah suatu alasan untuk mengerjakan proyek sendiri secara asal-asalan. Proyek yang didanai oleh pemerintah secara “penuh” itu sudah cukup membuat kita harus lebih-lebih bersyukur.
Setelah berjalan proyek, tentu ada semacam “Monitoring dan Evaluasi (Monev)” dari pihak internal (Universitas) maupun eksternal (dikti). Keduanya berperan penting dalam keberlanjutan proyek yang sudah disetujui. Sudah sejauh mana proyek yang dijalankan. Kendala apa saja yang ditemui saat berjalannya proyek. Semua dibahas di sana.
Yang menjadi persoalan, dosen yang mengevaluasi bukanlah dosen yang memiliki basic keilmuan seperti yang dimonevkan. Saya pernah mengalami hal tersebut ketika monev eksternal, yang jika ini lolos bisa lanjut PIMNAS. Saya dan teman-teman mengajukan proyek penelitian eksakta bidang kimia fisika. Akan tetapi, yang menjadi penguji adalah seorang dosen yang memiliki gelar S.Sn. Ada yang tahu gelar apakah itu? Iya benar, Sarjana Kesenian. Coba, apa nyambung? Jelas sama sekali tidak sinkron dengan penelitian kami. Apakah mungkin beliau juga memiliki peminatan terhadap ilmu IPA, khususnya Kimia Fisika? Saya pun tidak mengerti.
Hasilnya? Tentu saja kami mendapat apresiasi tinggi sekali dengan hasil penelitian yang bisa kami bilang “biasa aja”. “Bagus-bagus penelitiannya. Alur sampai hasilnya sudah jelas.” Sepatah kata dosen eksternal tersebut yang saya ingat saat monev eksternal saat itu. Beberapa minggu setelahnya, kami mendapat pengumuman bahwa kami terpilih menjadi salah satu kelompok yang lolos PIMNAS dan berhak mewakili Universitas kami di ajang perhelatan mahasiswa tertinggi di negeri tersebut. Ketua kelompok kami sampai heran, “Kok kaya gini bisa lolos PIMNAS ya hep?”. “Ah rejeki kita ini mah. Udah Disyukuri saja.” Jawabku yang cukup heran dan diselingi rasa syukur.
Privilege yang diterima banyak. Mulai dari insentif dari Dikti sampai ada uang saku dan bimbingan dari pihak universitas. Jumlahnya lupa, intinya banyak. Maklum, bagi mahasiswa yang memegang uang 200 ribu saja sudah dianggap “wah” kala itu. Tentu saja, keuntungan lain yang diperoleh adalah banyak kawan dari universitas lain yang bisa kita ajak kenalan.
Jumlah kelompok yang korup di program kreativitas mahasiswa ini tentu tidak semuanya. Tapi jumlahnya bisa saja lebih banyak dari yang dibayangkan. Apalagi praktik-praktik di atas sudah menjadi hal umum yang dilakukan. Jangan sampai perhelatan program kreativitas mahasiswa ini menjadi ajang melatih mahasiswa untuk menjadi orang-orang yang koruptif di zamannya. Penggelembungan dana sampai pemilihan pihak-pihak yang kurang kompeten di bidangnya.
Alangkah baiknya pengawasan sedari awal dari pemilihan dosen pembimbing dan penyusunan proposal harus dilakukan secara ketat. Minimal dari pihak universitas. Repot sedikit nggak masalah, yang penting ini menjadi tahap awal negeri yang bebas korupsi. Sehingga nanti terpilih kelompok-kelompok mahasiswa yang betul-betul berinovasi dan berkreasi demi pembangunan negeri ini. Syukur bisa menyejahterakan masyarakat Indonesia.
BACA JUGA Hal-hal yang Jangan Dilakukan Saat Mengambil Makanan Prasmanan.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.