Akhir-akhir ini, saya membaca persoalan sekaligus gejolak tentang bantuan langsung tunai (BLT) dengan dana desa yang berakhir dengan kerusuhan. Persoalan ini terjadi dipicu oleh banyak hal yang tidak sederhana, namun sayangnya masalah ini dilimpahkan ke aparat desa.
Masa pandemi ini, semua aturan kebijakan BLT dibuat oleh pemerintah pusat, mulai dari penganggaran hingga mekanisme pencairan. Bahkan, pada tanggal 19 Mei diberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Pengelolaan Dana Desa melalui PMK Nomor 50/PMK.07/2020. Sehingga dalam waktu sangat singkat, kepala desa didesak memperbarui data warga yang terdampak COVID-19 non penerima Program Keluarga Harapan (PKH), sebagai penerima bansos dari dana desa.
Saking mendesaknya kebijakan ini, membuat kepala desa semakin tersudut. Informasi pencairan BLT-Dana Desa sudah diketahui masyarakat, namun aturannya belum tersampaikan ke kepala desa. Dampaknya, di kanal media sosial tersaji keluhan kepala desa terkait tugas yang dibebankan pemerintah pusat. Amarah mereka sangat wajar, karena mereka yang akan menjadi bemper kebijakan. Terlebih pertanyaan warga tentang BLT, lambatnya pencairan, ketidakpuasan kebijakan ditimpakan ke aparat desa.
Persoalan ini muncul dari rentetan-rentetan kebijakan sebelumnya, tentang penanggulangan pandemi Covid-19. Pandemi ini memaksa pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan bersifat mendesak, tujuannya memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Namun ternyata, skema pembatasan sosial berskala besar yang diambil, berdampak pada penambahan angka pengangguran. Mereka yang dirumahkan terpaksa pulang ke desa karena tidak punya cukup uang untuk bertahan di kota, jutaan orang ramai-ramai jatuh menjadi miskin. Buruh dan pengusaha kecil tiba-tiba kehilangan pekerjaan. Pedagang otomatis kehilangan pembeli, jatuh miskin pula dia. Semua berusaha kembali ke desa. Efeknya menyumbang peningkatan kemiskinan dan pengangguran di desa.
Okelah, pandemi telah terjadi, kebijakan telah digulirkan, dan dampak kebijakan telah kita rasakan. Sekarang, mari persoalannya kita kerucutkan.
Masyarakat yang terdampak Covid-19 dan memerlukan bantuan bisa lapor ke RT/RW atau Kepala Desa untuk didaftarkan sebagai penerima BLT-Dana Desa. Pertanyaannya apakah proses ini berjalan sesuai rencana kebijakan? Di sebagian wilayah mungkin iya, tapi di sebagian wilayah lain? Tidak berjalan.
Buktinya? mari kita berkaca pada kasus protes warga desa di beberapa daerah, dan yang paling parah di Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Masalah BLT di daerah tersebut begitu parah dan menurut informasi yang beredar, mobil Wakapolres urun menjadi korban. Sayangnya, bukan hanya satu wilayah yang mengalami protes berbuntut kericuhan.
Kejadian yang sudah terjadi ini seharusnya bisa dimitigasi. Sumber persoalannya hanya satu, data penerima bantuan sosial (bansos) yang tidak termutakhirkan secara berkala. Bahkan di sejumlah kabupaten/kota masih menggunakan basis data terpadu (BDT) yang lama, tahun 2015. Kesinambungan data inilah yang menjadi persoalan. Karena, kesinambungan data penerima bansos ini sangat tergantung pengelolanya. Pertanyaannya apakah pengelola data di pemerintah daerah tidak melek data atau kebijakan terkait pemutakhiran data ini?
Kebijakan BLT-Dana desa tak akan berbuah amarah, apabila kesinambungan datanya sudah dilakukan dengan tepat dan benar. Jika pemutakhiran data tidak terlaksana, tentu saja kepala desa dan aparatnya yang akan dikorbankan, untuk merespons gejolak sosial yang muncul dari kebijakan penanganan Covid-19.
Supaya tidak terjadi masalah yang sama, mari sejenak memahami aturan data Bansos.
Data penerima bansos merupakan data berbasis individu yang bersumber dari data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). Wali data bansos adalah Kementerian Sosial, pemutakhirannya telah disiapkan melalui Peraturan Menteri Sosial No. 5/2019 yang dapat diusulkan dari desa melalui musyawarah. Artinya, pemerintah desa dapat mengusulkan penambahan jumlah warga miskin di desanya sebagai penerima bantuan sosial.
Data DTKS ini berisi daftar warga penerima kebijakan yang bersifat langsung seperti program sembako, program Keluarga Harapan, program Indonesia Pintar, termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) penerima bantuan iuran. Permasalahannya adalah seberapa rutin data ini dimutakhirkan. Jika ada desa yang sama sekali tidak mengajukan perubahan, bahkan tidak ada imbauan atau pendampingan dari kabupaten/kota, dampaknya satu kabupaten/kota sama sekali tidak memutakhirkan datanya. Ujungnya bisa kita dibayangkan, daftar penduduk penerima bansos tahun 2015 yang digunakan.
Data 2015 ini sudah sangat afkir, menyumbang persoalan yang besar sekali dampaknya pada pengambilan kebijakan. Sementara keadaan kahar ini (kejadian yang terjadi di luar kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan), memperparah kecepatan perubahan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Jika pemerintah daerah tidak cepat merespon dengan perubahan data DTKS, walhasil yang terjadi maka terjadilah. Segudang keluhan dan protes warga yang tidak puas dengan kebijakan telah dilimpahkan kepada ketua RT/RW dan Kepala Desa sebagai ujung tombak pemerintahan.
Jangan membayangkan bahwa kepala desa memiliki kemampuan yang sama dan mudah menyerap pengetahuan tentang kebijakan.
Banyak sekali kepala desa yang memiliki kemampuan terbatas. Coba kita kupas melalui data yang tersedia di Badan Pusat Statistik (BPS), publikasi Statistik Potensi Desa (Podes) 2018 memberi gambaran ada 11,096 kepala desa memiliki pendidikan di bawah SMA, ada yang bahkan tidak bersekolah, dan 45,440 kepala desa memiliki pendidikan SMA. Variasi pendidikan ini bisa kita jadikan cermin, bagaimana tingkat kesulitan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya BLT-Dana desa harus segera dicairkan.
Jadi, jangan sampai kita masalahkan saat kepala desa mengambil keputusan yang berbeda di luar aturan yang ada, untuk meredam gejolak sosial.
Respon kepala desa meredam gejolak sosial diantaranya dengan mengalihkan bantuan jika ada keluarga yang mendapat lebih dari satu jenis bantuan, tentu saja atas kesepakatan penerima. Selain itu ada juga keluarga yang telah mampu namun masih tercatat sebagai penerima bantuan dihimbau untuk dialihkan ke keluarga miskin lain yang belum tersentuh bantuan. Namun demikian, ada yang mau mengalihkan ada yang tetap kekeh berhak menerima. Dan terakhir BLT-Dana Desa dibagi rata dalam satu RT atau RW untuk meredam gejolak antar warga desa, namun cara ini bukan tanpa persoalan. Karena bantuan yang diterima pasti tidak sesuai jumlahnya.
Keadaan kahar, perubahan kebijakan yang sangat cepat memang diperlukan, namun perlu mengedepankan kemudahan. Jangan lempar tanggung jawab dan memperkeruh keadaan. Siapapun kita yang duduk di singgasana pencipta kebijakan, bisa saja dengan mudah mengatakan semua aturan sudah disediakan. Namun, bagaimana membuat kepala desa mudah paham, merupakan persoalan yang tidak sebentar untuk diselesaikan. Karena, kelancaran pelaksanaan kebijakan tergantung dari kebiasaan aparat desa dalam merespon sebuah kebijakan.
Ditengah dampak kebijakan penanggulangan Covid-19 yang telah merubah sosial ekonomi secara mendadak, jangan mendadak juga melempar tanggung jawab ke kepala desa dong! Kalau memang mendesak, kuatkan pendampingan. Jangan melempar kebijakan yang berpotensi menambah persoalan.
Tak mampu bijak? lambaikan tangan saja boss…
BACA JUGA Alasan Mengapa Politik Dinasti Banten Begitu Digemari Warganya atau tulisan lainnya di Terminal Mojok.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.