Di zaman modern seperti itu tentu bukan hal yang aneh jika seorang anak memiliki pemikiran yang berbeda dengan orang tuanya. Hal ini sangat lumrah, karena keduanya tidak hidup dan dibesarkan di zaman yang sama. Jadi bagi seorang anak ada banyak nasihat orangtua yang dianggap kurang relevan jika diterapkan untuk saat ini. Perbedaan ini tentu, tak menutup kemungkinan menyebabkan sebuah perselihihan yang berujung dengan sebuah perdebatan yang sengit.
Orangtua kebanyakan melakukan hal-hal yang sudah diwarisi dari orang-orang yang terdahulu. Mereka begitu gigih memegang petuah para leluhur. Selain itu pun, mereka berbicara sesuai pengalaman pribadi ataupun pengalaman orang lain yang pernah ia saksikan. Jadi segala yang dibicarakannya itu sudah terbukti dan sudah ia buktikan sendiri.
Anak zaman sekarang tentu tak sama dengan para orangtua yang dulunya hanya mengenyam pendidikan secara terbatas. Anak-anak ini dibesarkan dengan pendidikan yang tinggi. Segala ilmu teknologi paling mutakhir pun dengan mudah ia kuasai dan ilmu-ilmu medis, meski mereka tidak sekolah di dunia kedokteran namun sangat mudah untuk diakses di zaman ini.
Anak zaman sekarang tentu tidak sejalan dengan pola pikir orangtua yang masih berpikiran kuno. Mereka selalu beranggapan bahwa orangtuanya masih sangat primitif dalam menyikapi hidup ini. Jadi, tak jarang dengan segala teori dan dalil-dalil yang ia pelajari di bangku sekolah ia mulai mengutarakan pendapatnya yang tidak sejalan dengan pendapat orangtuanya itu.
Salah satu yang kerap kali membuat perselisihan antara anak dan orangtua adalah ketika cara mendidik anak kita tidak sepaham dengan cara mendidik orangtua kita. Banyaknya info kesehatan yang bisa diakses kapan saja, membuat kita merasa takut bahwa sesuatu yang dilakukan oleh orangtua kita itu seolah-olah bisa membahayakan nyawa anak kita. Kalau sudah begini, kebanyakan orang akan menyalahkan orangtuanya dan menyuruh mereka untuk tidak ikut campur dalam urusan mendidik anak mereka.
Bisa dibayangkan, betapa terlukanya hati orangtua jika mendengar hal itu. Padahal mereka bisa sebesar itu pun karena didikan orangtuanya. Dan saya pikir, tak ada orangtua yang ingin menciderai cucunya. Walau cara mereka mungkin masih kuno, tapi tentunya mereka selalu ingin yang terbaik untuk kita dan anak kita.
Pernah suatu hari saya membaca sebuah postingan seorang teman di media sosial. Dia mengeluh dan mengata-ngatai ibunya yang bertindak sembrono. Kurang lebih isi postingan itu bercerita tentang ibunya yang sudah memberi makan nasi tim anaknya yang baru berusia empat bulan. Padahal menurut ilmu kedokteran, bayi baru bisa makan setelah umur enam bulan.
Dalam postingan itu dia mencaci ibunya dan mengatakan bahwa tindakan tersebut bisa membunuh anak kesayangannya. Padahal si anak ya nggak kenapa-napa dan tidak sampai masuk rumah sakit setelah makan bubur tersebut. Dia seolah ingin menunjukan pada dunia bahwa dia itu ibu paling baik di dunia, karena sudah melindungi anaknya dari marabahaya. Meski ia tanpa sadar, bahwa orang yang ia maki itu juga seorang ibu. Bahkan seorang ibu yang sudah melahirkan dan merawatnya hingga ia bisa menjadi seorang ibu.
Saya tak habis pikir kalau saja teman saya ini mengenal sosok Simbah Putri saya. Setelah membaca postingan teman saya ini, saya iseng-iseng bertanya oada ibu, kapan pertama kali saya makan. Betapa kagetnya saya mendengar jawaban ibu. Ibu bilang, hari kedua saya dilahirkan di muka Bumi ini, simbah sudah menyuapi saya dengan nasi yang diulek dan diberi gula jawa. Karena waktu itu katanya saya terus-terusan menangis dan nggak mau diam. Air susu ibu kala itu masih belum banyak keluarnya. Jangan tanya perihal susu formula, karena pada saat itu saja saya cuma bisa dilahirkan di dukun beranak bukan di bidan ya.
Ibu juga sempat takut saat itu, karena ibu sendiri lahir dan besar di kota metropolitan. Ketiga kakak saya bahkan lahir di rumah sakit. Tentu ibu juga tahu bahwa bayi yang baru lahir tidak seharusnya diberi makan, langsung nasi lagi. Duh, Mbah, mungkin gara-gara ini aku jadi mudah lapar kali ya. Soalnya ususnya melar. ehehe
Tapi ibu memilih untuk diam saat itu karena tidak mau melukai hati simbah saya yang sangat percaya bahwa setiap bayi yang lahir di dunia itu, datang untuk minta makan. Dan benar saja, setelah diberi makan simbah, saya langsung diam dan tidur dengan sangat pulas. Namun setelah hari itu, ibu mencoba mengusulkan untuk memberi makan saya biskuit bayi. Dan simbah pun tak keberatan.
Meski saya dilahirkan dan dibesarkan dengan cara-cara tradisional, nyatanya saya masih bisa hidup sampai hari ini. Coba kalau itu sampai diketahui oleh dokter muda, wussss, simbah saya pasti sudah diberi ceramah tujuh hari tujuh malam. Belum lagi kalau membedong saya dengan jarik supaya kakinya lurus dan nggak bengkok, kata dokter kan itu nggak boleh. Maklum yah, simbah saya nggak sekolah dan dia nggak bisa baca buku-buku parenting atau menonton Youtube perihal ilmu kesehatan.
Dari cerita ibu dan simbah saya itu, saya menangkap sebuah pembelajaran. Meski kita dalam posisi benar, tapi tidak dibenarkan juga untuk menyakiti hati orangtua. Jika memang tidak sepaham, maka bicarakan dengan baik. Bagaimana pun juga, mereka sudah hidup lebih lama dari kita, jadi jangan pernah sok-sokan paling tahu isi dunia ini di hadapan orangtua kita.
Pernah juga dulu ada seorang teman yang pergi merantau. Setelah pulang dari merantau ada begitu banyak perubahan dalam dirinya. Terlebih cara berpakaiannya yang begitu mencolok. Yang dulunya biasa-biasa saja, kini tampil begitu tertutup sesuai ajaran agama yang benar katanya. Setelah ia pulang, ia merasa bahwa keluarganya ini tidak sesuai dengan apa yang diajarkan agama.
Oleh karena itu, dia mulai berceramah siang dan malam. Ia berharap agar keluarganya itu lekas bertaubat. Segala hal yang dilakukan orangtuanya selalu dianggap melenceng dan dapat menimbulkan dosa. Tentu saja, orangtuanya yang merupakan orang zaman dulu yang sangat berpegang pada kearifan lokal merasa terhina akan hal itu.
Si orangtua merasa bahwa ada banyak filosofi kehidupan dalam setiap budaya yang ia percaya. Tapi si anak yang baru belajar sedikit ilmu agama itu dengan serta merta mengkafir-kafirkan orangtuanya sendiri. Hal ini tentu tidak etis dipandang dari segi mana pun. Baik itu agama ataupun sosial, tidak membenarkan untuk menyakiti hati orangtua dengan tutur kata yang menyakitkan.
Mau bagaimana pun juga, ia bisa mempelajari ilmu agama tersebut hingga fasih pun itu semua tak lain dan tak bukan juga karena berkat kerja keras orangtuanya. Tanpa bantuan orangtuanya, tak ada anak yang bisa menjadi seorang ulama, guru, dokter, dan lainnya. Jadi tetao ingat, akan jasa orangtua kita. Bahkan sejelek-jeleknya prilaku orangtua kita, kita tetap harus menghormati dan menghargai mereka.
Berbeda itu hal yang wajar, namun sampaikan dengan cara yang bijak. Jangan sampai kita kesannya menggurui atau mendikte mereka. Terlebih sampai terang-terangan berdebat dengan mereka. Hal itu tentu saja melukai hati orangtua kita. Coba tempatkan sejenak diri kita pada posisi mereka. Bagaimana perasaan kita kalau anak yang kita besarkan dengan susah payah, justru tumbuh untuk melawan orangtuanya.
Jika hal itu baik tentu orangtua akan paham kok. Beri mereka pemahaman sedikit demi sedikit. Jangan pernah, sampai kita menyakiti hati orangtua kita dengan kata-kata. Karena rida orangtua itu juga merupakan rida Tuhan. Terlebih tak ada orangtua yang ingin anaknya hidup menderita. Mereka selalu menginginkan yang terbaik untuk kehidupan anak-anaknya.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib pun juga pernah berkata, “Jangan gunakan kefasihan bicaramu (mendebat) di hadapan ibumu yang dahulu mengajarimu berbicara.”