Bagaimanapun kita mesti sepakat kalau memiliki gelar sarjana nyatanya nggak serta-merta bisa menjamin pekerjaan yang layak, kehidupan yang mudah, atau masa depan yang ideal. Dan kita mesti mengamini apa kata Iwan Fals dalam lagu “Sarjana Muda”-nya. Ya ternyata benar. Empat tahun lamanya bergelut dengan buku, sia-sia semuanya. Nyatanya nggak sedikit kok sarjana-sarjana muda (yang tua pun sama sih sebenarnya), yang pulang-pulang malah jadi pengangguran. Ijazahnya nggak laku di mana-mana.
Kalau sudah begitu, ceritanya amat sangat klise. Apalagi kalau bukan jadi bahan omongan tetangga. Lebih-lebih kalau si sarjana nggak punya keterampilan apa pun selain perkara teoretik. Haduhh, auto jadi sasaran olok-olok, deh. Ditambah lagi hidup di lingkungan masyarakat yang memandang pendidikan sebagai sesuatu yang nggak terlalu penting. Wah, sudah pasti dikatain jadi anak yang cuma bisa menghabiskan duit orang tua, tapi nggak berguna sama sekali.
Eits, tapi nggak usah risau. Yang saya omongin di atas itu adalah gambaran sarjana yang berasal dari keluarga biasa saja. Yang sama-sama dari kalangan wong cilik. Tentu beda kasus dong dengan sarjana-sarjana yang sedari zigot sudah punya privilese.
Karena se-pengangguran apa pun, atau se-nggak berguna apa pun, asalkan dia berasal dari keluarga terpandang, besar kemungkinan nggak bakal jadi bahan olokan, kok. Kesimpulan ini saya ambil dari pengalaman yang baru-baru ini saya alami sendiri.
Begini, di desa saya ada dua sarjana baru. Masih hangat lah. Satu adalah tetangga saya yang merupakan anak seorang Kadus sekaligus cucu kiai. Satunya lagi adalah saya sendiri yang hanya seorang anak tukang kayu. Nah, hanya gara-gara latar belakang kami yang berbeda itu, perlakuan masyarakat kok ya ikut-ikutan berbeda.
Saya sering banget dapat sindiran. Mulai dari sarjana pengangguran lah, sarjana luntang-lantung lah, sarjana ngowah-ngowoh lah, dan mbuh apa lagi. Itu baru yang dilontarkan di depan saya, Belum lagi yang jadi bahan rasan-rasan di belakang.
Jujur, awalnya saya sih nggak masalah, ya. Toh sebenarnya saya bukan pengangguran juga. Sudah sejak akhir semester 6 saya bekerja di salah satu portal berita lokal di Rembang. Nggak bisa disebut gede, baik portalnya maupun gajinya, tapi paling nggak saya punya pemasukan bulanan.
Hanya saja, karena bulan-bulan ini kantor masih dalam proses renovasi, alhasil untuk sementara kami kerja dari jalan dan rumah masing-masing. Ketemu satu bulan dua kali di kafe untuk rapat dan evaluasi. Nah, karena saya kelihatan di rumah terus, nggak kelihatan ngapa-ngapain, akhirnya saya distempel jadi sarjana pengangguran.
Tapi sekali lagi, awalnya saya nggak ada masalah dengan itu. Bodo amat mereka mau nyinyir, yang penting kan duit bulanan saya terus ngalir~
Asunya adalah kenapa hal serupa nggak terjadi sama tetangga saya tadi? Sarjana teknik mesin yang sama sekali nggak ngapa-ngapain. Benar-benar pengangguran. Blas nggak kerja. Alih-alih mendapat nyinyiran seperti saya, tetangga saya ini justru mendapat respek dari banyak orang.
Pernah suatu kali waktu saya dan tetangga saya itu ngopi bareng, saya nguping percakapannya dengan salah seorang warga desa. Percakapan yang bikin saya gondok nggak ketulungan.
Lah piye, waktu ditanya, “Kok belum cari kerja?” Tetangga saya tadi sambil cengar-cengir bilang jujur kalau dia masih sulit buat cari kerjaan. Di luar dugaan, warga desa saya tadi justru menepuk-nepuk bahu tetangga saya sambil membesar-besarkan, “Sudah, sabar, nanti pasti ada jalannya, kok. Optimis!”
Wooo, coba saja saya yang ada di posisi tetangga saya itu, sudah pasti habis kena omongan-omongan nyelekit.
Pernah juga di lain hari, ada yang menanyakan hal serupa. Tetangga saya ini bilang kalau dia berencana buka usaha. Konter kecil-kecilan gitu lah di depan rumah. Seperti yang sudah saya tebak, respons si penanya tadi kok ya benar-benar antusias banget gitu loh.
Dengan berapi-api dia bilang, “Wah, bagus itu, Mas. Mantap. Cah enom itu memang harus kreatif dan mandiri!”
Lagi-lagi saya nggak bisa nggak membayangkan. Seandainya saya yang ada di posisi itu, wah sudah pasti dikomentari rak uwis-uwis. Kata-kata yang keluar kemungkinan begini, “Hla wong sarjana kok cuma bakulan pulsa!” Sudah mesti itu.
Puncak kemangkelan saya pun terjadi baru-baru ini. Jadi, tetangga saya itu baru saja menggelar lamaran. Rencananya pertengahan bulan Februari nanti blio bakal menikah. Iya, menikah tapi belum punya pekerjaan tetap. Dan nggak ada satu warga pun yang mempermasalahkan hal itu. Malah ada yang bilang, “Nggak apa-apa nikah dulu. Nanti rezekinya pasti datang sendiri, kok. Wong rezeki sudah diatur sama Gusti Allah!”
Oke, saya setuju. Setuju banget malah. Atas rencana pernikahannya pun saya turut senang dan mendoakan yang terbaik. Cuma satu yang bikin saya darah tinggi. Waktu saya nyeletuk sebentar lagi mau menyusul blio nikah, eh hla kok langsung disambar gini, “Nyusal, nyusul. Kerja dulu sana. Mapan dulu. Memangnya anak orang mau dikasih makan apa?”
Makan ati, Pak, makan atiii. Hemmm, bisa-bisanya di saat bersamaan bikin statement yang berbeda. Masak mentang-mentang tetangga saya anak Kadus, cucu kiai yang dihormati, jadi selalu dapat pembelaan atas kepayahan-kepayahan yang ada dalam dirinya.
Dan oleh karena itu saya berani bilang, jadi sarjana pengangguran itu nggak masalah, kok. Asal sejak zigot situ punya privilese sajaaa. Puas?
BACA JUGA Beban Berat Menjadi Sarjana di Kampung dan tulisan Aly Reza lainnya.