Cerita ini bermula jauh sebelum saya lahir di tahun 1996. Ayah dan ibu diangkat jadi PNS kira-kira satu atau dua tahun sebelumnya. Saya ingat betul waktu itu masih menyusui, tetapi sudah ditinggal ibu prajabatan.
Waktu itu, katanya saya rewel terus sampai harus ditenangkan nenek dari pihak Ibu. Meski waktu itu saya masih kecil banget, tapi sudah punya rasa kehilangan meski nggak tahu itu apa.
Karena ayah dan ibu sama-sama jadi PNS, saya merasa banyak kebutuhan yang tercukupi. Kalau telat terwujud pun nggak sampai lewat dua bulan. Ketika di luar sana susah payah mencari seusap nasi, kami sekeluarga dijamin oleh negara untuk berkecukupan.
Hidup nyaman berkat orang tua berstatus PNS
Kemapanan itu sudah terlihat sejak nenek dari pihak ayah pensiun. Meski hanya pensiunan guru, tiap Lebaran selalu ada uang THR. Minimal ada dua lembar uang berwarna merah untuk setiap cucu (saya dan tiga sepupu lainnya). Ketika saya besar sedikit, bertambah jadi tiga kali lipatnya. Jujur, ini alasan kenapa saya waktu kecil senang Lebaran di rumah nenek dari pihak ayah.
Begitu SMP sampai kuliah, uang saku saya nggak pernah telat. Kalau habis, tinggal bilang, terus dikasih, nggak pernah telat. Mau beli apa saja, ayah dan ibu lebih sering menyanggupi. Berkat kemapanan inilah, saya jadi merasa apa-apa tercukupi.
Tuntutan orang tua
Begitu menjelang lulus kuliah, saya diminta untuk memprioritaskan PNS sebagai pekerjaan utama. Terserah bidangnya, asal saya menjadi PNS. Alasannya? Jelas, biar nggak perlu memikirkan pendapatan. Setiap bulan terjamin. Masa tua saya bakal terjamin, kata mereka.
Belum lagi mereka bawa-bawa soal gender. Kata mereka, laki-laki harus punya penghasilan tetap. Alasannya ya biar keluarga nanti tercukupi. Terdengar kayak toxic masculinity, tapi saya nggak bisa mengubah pola pikir ini. Bagaimana mau mengubah kalau pemikiran itu sudah mengakar.
Pemikiran semua orang harus menikah dan lelaki harus memikul beban berat sudah jadi top of mind, lah. Ini yang membuat mereka memaksa saya mempunyai penghasilan tetap. Jalan paling mudah ya menjadi PNS.
Pergolakan batin saya
Seketika itu, api pemberontakan saya terpantik. Saya ingin bebas. Saya ingin fight. Tapi, ayah dan ibu kurang berkenan. Kata mereka, saya bukan tipe orang yang harus benar-benar bekerja biar penghasilannya banyak. Juga, saya dikatakan bertipe orang yang harus teratur, diikat aturan, bahkan saya dianggap nggak punya daya juang.
Kalau benar saya nggak punya daya juang, sebenarnya ada alasannya. Ini semua karena kesalahan saya yang terlalu mengandalkan mereka. Juga, ini juga karena mereka telat banget bilang kalau menjadi PNS pun nggak tentu menjamin begitu saya beranjak bangku kuliah. Saya nggak dilatih atau diizinkan cari uang sendiri. Kata mereka biar saya fokus kuliah saja.
Penyesalan
Seketika saya menyesal sejadi-jadinya. Ini semua sebenarnya karena saya terlalu dibuai oleh kemapanan. Karena ayah dan ibu menyandang status PNS, sejak kecil semua kebutuhan saya selalu dipenuhi. Saya dimanja oleh kemapanan. Secara nggak langsung, saya dimanja oleh negara.
Apakah ada yang masih ingat artikel saya yang membahas perkataan Akbar Faizal? Begitu lulus kuliah, pikirannya jangan langsung menjadi PNS. Itu dikatakan di depan wisudawan dan orang tua yang mendampingi. Secara nggak langsung, beliau mengatakannya pada orang tua wisudawan kan?
Orang tua dan negara punya benang merah. Mereka sama-sama menjamin keuangan anaknya. Tapi, suatu saat nanti, orang tua bakal minta anaknya mandiri secara finansial karena nggak selamanya sanggup mencukupi. Begitu juga dengan negara, lama-lama APBN enggak sanggup buat menanggung semua ASN-nya.
Kemapanan bisa bikin lupa daratan
Memang, kemapanan bisa membuat kita lupa daratan. Kemapanan membuat orang-orang terjebak dalam zona nyaman. Saya ditendang dari zona itu begitu orang tua sudah menilai saya sekarang harus mempunyai penghasilan tetap. Intinya, kemapanan membunuh saya.
Semua sudah terjadi. Saya sudah muak. Mungkin, kalau terlahir dari keluarga bukan PNS, saya bakal bisa menghargai mahalnya hidup. Saya sadar, jadi hebat bukan karena apa-apa terjamin, melainkan mereka yang survive setelah open fight dengan kerasnya hidup.
Ayah, ibu, maafkan saya yang terlalu mengandalkan kalian. Sekarang, izinkan saya untuk mulai bergelut tanpa kemapanan yang kalian rasakan. Biar apa? Biar keluargaku paham kalau mencari uang itu nggak gampang.
Eh, itu kalau saya berminat menikah, loh ya.
Penulis: Mohammad Faiz Attoriq
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Pernyataan Akbar Faizal Super Relate bagi Pemuda yang Terus-terusan Dipaksa Jadi PNS