Penikmat drama Korea sepertinya nggak akan pernah kehabisan bahan tontonan menarik. Akhir pekan lalu, Twenty Five Twenty One yang merupakan drama comeback Kim Tae Ri dan Nam Joo Hyuk menayangkan episode perdananya. Drama Korea ini mengisahkan pertemuan atlet anggar berusia 18 tahun bernama Na Hee Do dengan seorang pekerja paruh waktu berusia 22 tahun bernama Back Yi Jin. Keduanya pertama kali bertemu kala Back Yi Jin yang sedang mengantar koran salah lempar dan mengenai patung di halaman rumah Na Hee Do. Tingkah laku kedua tokoh yang seperti kucing dan anjing tersebut menjadi pemancing tawa penonton.
Mengambil latar tahun 1998, Twenty Five Twenty One menampilkan latar Korea Selatan yang tengah terpuruk pascakrisis moneter yang kemudian dikenal sebagai IMF Crisis 1997. Beberapa adegan dalam drama ini menunjukkan apa yang terjadi di Korea Selatan ketika krisis ekonomi menerpa, dan tentunya memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangan karakter dan cerita. Lantas, seperti apa Korea Selatan di masa IMF Crisis 1997?
#1 Banyak perusahaan yang mengalami kebangkrutan
Hal ini ditampilkan melalui karakter Back Yi Jin. Sebelum menjadi pekerja paruh waktu yang bekerja di rental komik dan pengantar koran, Yi Jin adalah putra konglomerat kaya raya yang sedang kuliah jurusan Teknik di Universitas Yonsei. Kehidupan mewahnya berubah drastis ketika perusahaan sang ayah mengalami kebangkrutan.
Pada masa ini, sektor perbankan dibebani oleh kredit-kredit bermasalah lantaran perusahaan-perusahaan besar tengah mengekspansi usaha mereka. Jumlah utang yang terus membesar seiring nilai mata uang won terjun bebas dan kegagalan untuk membayar utang tersebut membuat banyak perusahaan akhirnya mengalami kebangkrutan.
Dalam drama, ditampilkan adegan Yi Jin memasuki rumah yang telah disita untuk melunasi utang ayahnya. Keluarganya pun tercerai-berai dan Yi Jin masih dikejar-kejar oleh mantan rekan bisnis ayahnya yang juga mengalami krisis finansial.
Kebangkrutan perusahaan ayah Yi Jin juga berdampak kepada atlet anggar Ko Yu Rim karena ia jadi kehilangan sponsor utamanya. Selain mengalami kebangkrutan, beberapa perusahaan mengalami pengambilalihan dalam menjaga kelangsungan usaha mereka. Hal ini ditampilkan dalam adegan ketika Hee Do sedang berlari melewati kota dan ada pengumuman pengambilalihan bank.
#2 Banyak pegawai dipecat dan kesulitan mendapatkan pekerjaan
Sebagai dampak bangkrutnya perusahaan, banyak pegawai yang kehilangan pekerjaan mereka. Istilah IMF yang diplesetkan menjadi “I’M Fired” menunjukkan betapa besar dampak IMF Crisis ini terhadap jumlah orang yang dipecat. Lapangan pekerjaan yang semakin sedikit dan berbanding terbalik dengan jumlah pengangguran yang meningkat membuat orang-orang kala itu sulit mendapatkan pekerjaan. Belum lagi para pelajar dan mahasiswa yang terpaksa membantu perekonomian keluarga juga ikut dalam golongan mereka yang mencari pekerjaan.
Hal ini ditampilkan ketika Yi Jin melamar pekerjaan untuk menjadi cleaning service di sebuah penginapan. Ketika pemilik penginapan berkata bahwa penampilannya terlalu bagus hanya untuk menjadi cleaning service, Yi Jin mengatakan bahwa yang penting ia memiliki pekerjaan dan bisa mendapatkan penghasilan. Sebuah ironi juga ditampilkan bahwa orang-orang dengan riwayat cemerlang justru ditolak ketika melamar kerja dengan alasan overqualified.
#3 Rakyat Korea mengumpulkan emas untuk mendukung perekonomian negara
Pada akhir 1997, Korea Selatan menandatangani perjanjian dengan IMF untuk mengatasi krisis. Dalam rangka membayar utang kepada IMF, muncul sebuah kampanye oleh KBS1 pada awal tahun 1998 yang mengimbau warga Korea Selatan untuk mengumpulkan emas. Terdapat enam bank yang turut serta dalam kampanye ini untuk memfasilitasi warga yang ingin mengumpulkan emas mereka, yakni Housing Bank, Nonghyup Bank, Kookmin Bank, Korea Exchange Bank, Saemaeul Bank, dan Industrial Bank.
Dalam kurun waktu empat bulan sejak awal Januari hingga akhir April 1998, tercatat 3,5 juta orang berpartisipasi dalam kampanye ini. Jumlah yang nyaris menyamai seperempat populasi Korea Selatan itu berhasil mengumpulkan 225 ton emas senilai 2 miliar USD, melipatgandakan cadangan emas Bank Korea hingga lebih dari 10 kali lipat.
Dalam drama, kita bisa melihat ibu Na Hee Do yang merupakan pembawa berita menyiarkan hal ini dalam acaranya. Hal ini pula yang memicu konflik kecil antara Hee Do dengan sang ibu karena Hee Do mengira ibunya telah menjual cincin kawin untuk berpartisipasi dalam kampanye ini.
Ketiga hal di atas adalah sedikit dari latar krisis ekonomi 1997 yang ditampilkan dalam drama Twenty Five Twenty One. Kisah Hee Do dan Yi Jin yang baru berjalan tiga episode tentunya masih membuka ruang untuk menampilkan Korea Selatan di akhir 1990-an secara lebih mendalam. Terlebih lagi genre utama romance dan coming of age yang dibawa drama ini tentunya akan lebih memfokuskan pada kisah Hee Do, Yi Jin, dan tokoh-tokoh lainnya dalam mewujudkan impian mereka. Tertarik untuk nonton Twenty Five Twenty One?
Penulis: Febri Indriani
Editor: Intan Ekapratiwi