Bertepatan dengan penerimaan mahasiswa baru dan masa orientasi yang sedang berjalan, saya mau memberikan catatan tentang ISI Jogja. Semakin tahun bertambah, semakin banyak pula kuota mahasiswa yang diperbolehkan kuliah di kampus seni ini.
Ketika saya masuk di tahun 2020, satu angkatan di prodi saya jumlahnya sekitar 45 orang. Itu pun masih ada yang cabut berkas. Sekarang tiba-tiba ada 100 orang lebih dalam satu angkatan yang diterima di prodi saya. Kurang gila apa?
Paradigma pendidikan berubah dan memaksa kampus seni tidak lagi eksklusif
Dulu kampus ISI Jogja membatasi jumlah mahasiswa yang bisa masuk. Seorang alumnus yang masuk tahun 2014 pernah bercerita sama saya kalau ada temannya yang gagal 3 tahun berturut-turut masuk program studi DKV di Fakultas Seni Rupa karena seleksinya sangat ketat. Lulus pun mahasiswa harus berjuang hingga 6 sampai 7 tahun supaya karyanya matang dan diluluskan dosen penguji.
Selain itu, di masa tersebut, ISI Jogja hanya menerima peserta didik lewat seleksi masuk mandiri. Artinya, semua mahasiswa diwajibkan mendaftar dan mengikuti tes di kampus. Terutama diuji keterampilannya di ranah praktik seni.
Mereka yang mendaftar seni rupa akan diuji menggambar. Yang mendaftar teater diuji skill keaktorannya. Begitu juga yang mendaftar jurusan musik diuji membaca not balok dan memainkan instrumen musik. Kira-kira seperti itu gambarannya.
Kini zaman berubah, mereka yang masih awam soal dunia seni tidak perlu se-struggle dahulu. Kebijakan sudah dirumuskan oleh Yang Mulia Kementerian Pendidikan. Selain kuota penerimaan yang meningkat besar-besaran, pilihan tes juga semakin banyak.
Mau daftar lewat jalur nilai rapor? Bisa, tinggal bikin portofolio. Mau daftar lewat UTBK? Bisa, tinggal tes aja seperti mendaftar ke kampus pada umumnya.
Mahasiswa lulus seleksi ISI Jogja tapi nggak bisa ngapa-ngapain
Keluhan paling nyata di ISI Jogja adalah mendapati maba-maba yang—mohon maaf—buta nada dan estetika. Di prodi musik tempat saya berkuliah, sering saya menerima curhatan tentang teman-teman maba yang belum bisa baca not balok. Alhasil kuliah jadi terhambat. Selain itu, masih ada yang belum bisa memainkan instrumen apa pun dan harus belajar dari nol.
Saran saya sih, ada baiknya kalau daftar ke ISI sudah ada bekal kemampuan dulu. Paling tidak di tingkat dasar. Kalau masih belum bisa menggambar, belum bisa main musik di level dasar, setidaknya kursus dulu dan tahan sebentar. Bukan bermaksud apa-apa, tapi ini demi keselamatan dan kenyamanan studi kalian.
Baca halaman selanjutnya: Dosen tidak adaptif…
Dosen tidak adaptif
Kebanyakan anak ISI Jogja lebih sering dilepas untuk eksplorasi mandiri. Dosen seperti lepas tangan dan bebas dari tugas transfer ilmu. Saya mengamati betul kalau teman-teman yang memang jenius dalam berkarya itu sudah bawaan, nggak ada peran dosen. Kalaupun ada ya kecil lah saya yakin.
Nah, gimana kalau mahasiswanya nggak punya skill set yang memadai? Masalahnya, dosen pun kadangkala tidak punya skill set yang memadai juga. Keduanya sama-sama bermasalah. Mereka sudah biasa mendapat mahasiswa yang kreatif pol-polan, tiba-tiba harus mengajar maba planga-plongo yang nggak ngerti siapa itu Basuki Abdullah, tidak tahu siapa itu Wolfgang Amadeus Mozart. Kacau, sih.
Lucunya, para dosen juga kadang nggak adaptif dan tetap mempertahankan cara lama. Masuk kelas cuma cerita kejayaan masa lalu. Selain itu, ada juga yang malah buka kursus musik tambahan karena melihat peluang cuan. Dunia akademik jadi ladang kotor untuk meraih pundi-pundi uang, memanfaatkan kepolosan mahasiswa seni yang sudah berekspektasi jadi seniman berkompetensi tinggi. Mau nilai bagus? Ikut dulu les di dosen A, dijamin nilai juga tidak jauh dari A.
ISI Jogja sudah tidak sesakral dulu
Saya berani bilang kampus ini sudah tidak sesakral dulu. Memang sih, kampus seni itu bukan padepokan, jadi cara lama harus didekonstruksi. Tapi kalau cara lama justru malah melahirkan kualitas, buat apa pakai cara baru kalau cuma jadi terseok-seok?
Mahasiswa cuma menerima harapan palsu. Sistem lama sudah telanjur membiarkan dosen yang tidak punya pedagogic skill set untuk mengajar. Di saat yang sama, mentang-mentang seniman, menulis jurnal saja mereka bisa joki ke dosen muda. Kalau ada proyek numpang nama di penelitian dosen muda. Lha, terus dosen dosen senior ini bisanya apa? Menggoda maba?
Lama-lama—atau mungkin sudah terjadi—ISI Jogja cuma akan jadi kampus medioker, dengan mahasiswa dan dosen yang juga medioker. Berkesenian seadanya, punya kemampuan menulis dan meneliti? Wallahualam. Merugilah kalian yang masuk ke perangkap romantisasi kampus seni.
Penulis: Lintang Pramudia Swara
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
