Ironi Perpustakaan Sekolah, (Katanya) Gudang Ilmu tapi Nyaris Tak Tersentuh

Ironi Perpustakaan Sekolah, (Katanya) Gudang Ilmu tapi Nyaris Tak Tersentuh Terminal Mojok

Ironi Perpustakaan Sekolah, (Katanya) Gudang Ilmu tapi Nyaris Tak Tersentuh (Unsplash.com)

Selama ini perpustakaan dianggap sebagai gudang ilmu pengetahuan, dan buku adalah jendela dunia. Di masa lalu kita bisa menilai kemajuan suatu peradaban berdasarkan tingkat literasi dan seberapa banyak koleksi manuskrip di perpustakaannya. Perpustakaan memegang peranan penting untuk menjadi media penutur ilmu pengetahuan dari generasi ke generasi.

Islam bahkan pernah meraih masa kejayaan pada abad ke-8 berkat tingginya tingkat literasi dan kemajuan ilmu pengetahuannya. Hingga abad ke-13 bangsa Mongol menyerang Baghdad dan melakukan pembantaian besar-besaran serta membumihanguskan perpustakaan, semenjak itu peradaban Islam mulai meredup. Dari kasus tersebut kita bisa memahami betapa pentingnya peran literasi dan perpustakaan dalam memastikan kemajuan suatu peradaban.

Oleh karena itulah perpustakaan menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap institusi pendidikan, termasuk sekolah-sekolah di Indonesia. Sayangnya, saya masih menjumpai perpustakaan sekolah sebagai sarana pelengkap yang asal ada. Setidaknya hal ini terjadi di sekolah negeri, entah di sekolah swasta. Atau kalaupun dikunjungi, biasanya perpustakaan sekolah hanya jadi tempat membolos siswa.

Saya tahu ada siswa yang benar-benar ke perpustakaan untuk membaca dan meminjam buku, tapi jumlahnya tetap minoritas, kan? Apalagi di era internet yang apa-apa bisa ditanyain ke Mbah Google, urgensi baca buku tentu semakin turun. Saya sepakat kalau browsing lebih cepat memberikan jawaban daripada buku, tapi tetap ada hal-hal yang nggak bisa digantikan dari membaca buku.

Biasanya ruang perpustakaan sekolah ada di pojok atau area belakang yang jarang dilewati siswa. Bisa dibilang perpustakaan menjadi tempat yang paling jarang tersentuh di seantero sekolah. Bahkan kamar mandi masih lebih sering dikunjungi siswa daripada perpustakaan. Saking sepinya, perpustakaan sekolah hampir nggak pernah absen dari daftar tempat angker dalam kisah-kisah horor.

Rendahnya minat baca siswa nggak bisa sepenuhnya menjadi kambing hitam dalam masalah ini. Sebab, nggak semua anak tumbuh dalam keluarga yang menanamkan budaya literasi sejak dini. Bisa saja kedua orang tuanya sibuk bekerja sehingga nggak ada yang mengenalkan budaya membaca ini ke anak-anaknya. Dalam hal ini, saya rasa sekolah punya tugas untuk mengenalkan budaya literasi pada siswanya di samping kewajiban mengajar di dalam kelas.

Masalahnya, nggak semua sekolah mau serius mengurus perpustakaan sekolah, apalagi merasa perlu mengevaluasi jumlah kunjungan siswa ke perpustakaan. Karena sebagian besar sekolah masih menganggap perpustakaan sebagai prasyarat saja. Malah terkadang perpustakaan baru diurus dan dibenahi tata letak maupun administrasinya menjelang penilaian akreditasi saja. Mendadak para siswa digiring ke perpustakaan biar suasananya kelihatan semarak di mata tim penilai. Duh, mirip setting-an reality show aja.

Parahnya lagi, di daerah pelosok dan pulau-pulau terluar negeri ini, masalah perpustakaan sekolah nggak cuma kurangnya kunjungan siswa. Ruangan untuk perpustakaan saja seringnya nggak tersedia, mengingat bangunan sekolah di daerah pelosok dan pulau terluar negeri ini masih sekadarnya. Bahkan pemakaian kelas saja masih sering bergantian. Koleksi buku untuk disusun di rak pun nggak ada. Padahal anak-anak di sana punya minat baca yang cukup tinggi, setidaknya lebih tinggi dari anak-anak sebayanya yang saya temui di Pulau Jawa. Sayangnya, anak-anak di pelosok masih kekurangan bahan bacaan dan media untuk belajar, jadi minat baca itu nggak bisa tersalurkan.

Kembali ke pusat keramaian, nggak jarang perpustakaan sekolah hanya berakhir sebagai gudang penyimpanan buku-buku paket dari pemerintah. Kalaupun ada buku jenis lain, jumlahnya sedikit. Nggak heran kalau siswa malas datang ke perpustakaan. Yang lebih parah lagi kalau perpustakaannya lebih sering dikunci—biasanya di SD—dan cuma dibuka pas mau dibersihin. Alasannya karena takut anak-anak yang masih kecil merusak koleksi buku, entah diberantakin, kena kotor, atau sobek. Alasan macam apa ini? Kalau sudah begini, bukankah sekolah yang menjauhkan anak-anak sejak kecil dari buku-buku sehingga mereka tumbuh sebagai anak yang dicap tingkat literasinya rendah?

Padahal membaca buku untuk anak-anak usia TK dan SD terbukti bisa merangsang imajinasi dan rasa ingin tahu mereka. Sekalipun yang mereka baca cuma cerita bergambar bukan ensiklopedia, setidaknya masih ada hikmah yang bisa dipetik dari suatu cerita untuk diaplikasikan ke kehidupan sehari-hari mereka.

Saya yakin kalau ada petugas yang mengarahkan baik-baik cara membaca buku perpustakaan yang benar, anak-anak akan patuh, mengingat bocil paling gampang didikte. Penting juga untuk membuat dekorasi perpustakaan sekolah yang ceria dan menarik sesuai umur anak-anak. Kalau bisa jangan monoton diisi rak buku yang kesannya seram dan kuno.

Sementara itu di sekolah menengah, biasanya perpustakaan sudah terurus dengan lebih baik. Ruangannya nyaman, ber-AC, dan jarang dikunci ketimbang perpustakaan anak-anak. Koleksi bukunya juga lebih beragam. Biasanya ada satu orang petugas yang dipekerjakan khusus di perpustakaan, atau mungkin guru-guru piket secara bergantian.

Saya punya cerita membekas soal penjaga perpustakaan di sekolah saya dulu. Saat itu, penjaga perpustakaan di sekolah saya terkenal judes meskipun masih muda. Para siswa jadi malas buat berkunjung ke sana. Nah, soal keramahan petugas perpustakaan ini mungkin bisa diperhatikan oleh kepala sekolah biar nggak nakut-nakutin siswa yang mau belajar terliterasi. Lebih baik lagi kalau pustakawannya enak diajak ngobrol dan bisa ngasih rekomendasi buku yang bagus buat dibaca kalau ada siswa yang bertanya. Atau bisa juga bikin daftar book of the month yang dipajang biar para siswa bisa update buku bacaan yang sedang populer.

Lebih menarik lagi kalau perpustakaan nggak sekadar jadi tempat baca dan pinjam buku. Mungkin di luar jam belajar, sekolah bisa mengadakan forum diskusi bedah buku atau bedah film yang sedang populer dan sekiranya memuat pesan moral yang positif untuk siswa. Saya rasa kegiatan seperti ini cukup baik untuk mengasah mental kritis pada siswa biar nggak jadi mahasiswa pemalu pas kuliah.

Kalau sekolah mau serius memberikan fasilitas dan membangun iklim literasi yang nyaman bagi siswanya, saya sangat yakin perlahan tapi pasti para siswa mau menyemarakkan perpustakaan tanpa disuruh. Bukan nggak mungkin jika tingkat literasi siswa akan meningkat dan ke depannya stigma anak muda malas membaca akan musnah seiring berjalannya waktu.

Penulis: Erma Kumala Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Begini Rasanya Menjaga Perpustakaan Sekolah sampai Tengah Malam.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version