Sudah barang lumrah kalo satu orang memiliki lebih dari satu akun media sosial. Biasanya ada akun pribadi, akun bisnis atau brand miliknya, dan ada juga akun palsu. Masing-masing akun memiliki fungsinya tersendiri. Khusus untuk akun palsu, biasanya digunakan untuk menjadi dirinya sendiri. Lah, maksudnya gimana?
Percaya atau enggak, akun palsu itu justru menunjukkan siapa diri pemilik akun itu ketimbang akun pribadinya. Kalo di akun pribadi, semuanya kudu tampak indah dan estetik. Maka di akun palsu, dia bisa bebas melakukan apa saja.
Salah satu fungsi akun palsu itu buat stalking orang. Fungsi lainnya lebih jahat lagi, yaitu buat mbacot seenak jidat di media sosial. Akun palsu yang buat mbacot sana mbacot sini itu punya ciri khas tertentu. Biasanya jumlah followingnya banyak banget bisa sampe ribuan, tapi followersnya cuma ratusan. Ciri berikutnya akunnya digembok. Ciri berikutnya lagi nggak ada postingan di akunnya. Udah digembok, eh nggak ada postingan. Maksudnya apa coba?
Nah, karena merasa identitas aslinya terlindungi, maka dengan bebas si pemilik akun bisa mbacot ke mana aja. Biasanya saat ada isu sosial yang lagi hits bakal nimbrung di kolom komen. Kayak yang kemarin panas itu, terkait ada tanda salib di corak logo ulang tahun negara ini. Banyak banget akun palsu yang mbacot sana mbacot sini seenak jidat. Mereka merasa terlindungi keberadaannya dari siapa saja yang dibacotin.
Saya pernah menulis opini di sebuah media tentang kasus Jouska kemarin. Inti opini saya adalah pihak Jouska emang salah karena serampangan nggunain dana nasabahnya, tapi nasabah yang nitipin uang ke Jouska juga salah. Nah, tulisan saya dihighlight sama media yang menayangkan dan dijadikan postingan Instagram. Ada dong netijen budiman yang langsung mbacot kalo saya nggak riset dulu pas nulis itu, bahkan bilang kalo permasalahannya nggak sesimpel itu.
Saya malas berdebat karena sudah tentu netijen budiman tersebut nggak baca opini yang saya tulis, semata membaca judul postingan IG dan captionnya yang emang rada ‘mancing emosi’. Saya coba buka akun netijen tersebut, dan benar saja kalo itu akun palsu. Nggak ada postingan di IG-nya dan followingnya juga banyak banget. Yaudah, saya diemin aja daripada ribut. Lagian ngapain ribut sama bedebah yang nggak mau nunjukin dirinya sendiri pas mbacot.
Pertanyaannya, kenapa mereka nggak komen aja pake akun pribadi yang asli? Jawabannya ya karena khawatir citra diri bakal tercoreng karena memamerkan aksi bacot. Makanya, benar bahwa akun asli media sosial justru adalah kepalsuan si pemilik akun, sementara akun palsunya adalah keaslian dari si pemilik. Bedebahnya, mereka nggak berani nunjukin diri mereka secara terang-terangan. Khawatir followers akun asli yang udah banyak tau sifat asli mereka. Nanti kalo udah tau sifat aslinya malah pada unfollow. Kan sungguh berbahaya.
Dalam kasus ini, kok saya jadi lumayan respek sama publik figur yang berani mbacot pake akun aslinya deh. Jerinx katakanlah. Iya, bacotnya emang bikin kontroversi, tapi setidaknya dia jadi dirinya sendiri dan nggak berlindung di balik kepalsuan. Keberanian dan keontetikan itulah yang patut diapresiasi, mengingat biasanya orang yang mbacotin bacotannya Jerinx biasanya pake akun palsu.
Terus lagi masalah Anji kemarin deh. Banyak orang yang geleng-geleng dengan kelakuan Anji terkait komentarnya tentang foto mayat korban Covid19. Iya, mungkin emang harusnya dia nggak kayak gitu, tapi percaya aja deh, pasti banyak akun palsu di luar sana yang ngomentarin hal itu. Hanya saja karena mereka pake akun palsu dan nggak ketauan siapa di balik akun tersebut, ditambah mereka nggak seterkenal Anji, ya bacotan mereka nggak terlalu didengar.
Makanya, saya sungguh menyayangkan penggunaan akun fake untuk melempar opini liar itu. Mending tampakkan diri secara langsung, beropini dengan tegas dan lantang, biar semua orang tau siapa orang yang beropini itu. Kalo mau mbacot, ya sekalian yang lantang dong. Kalo mau adu argumen, ya yang jantan dan tunjukin muka dong.
Risikonya ya bakal dihujat netijen dan bahkan diunfollow, barangkali. Tapi ya itu konsekuensi kalo mau bersuara. Kalo nggak mau ambil risiko, yaudah diem aja dan unggah foto-foto hits biar dapat ratusan like. Plaster aja mulut kalo emang nggak siap dengan risikonya, jangan bersembunyi di balik kepalsuan.
Kalo mau lebih budiman lagi, tulis opini bangsat itu dan coba kirimin ke media. Biar semakin banyak yang liat dan siap-siap aja dibacotin sama netijen. Nanti, dari sekian banyak netijen yang mbacot itu pasti bakal ada yang balas opini lewat opini lain dan ditayangin ke media juga. Menjadi sebuah antitesis. Terus dari tesis dan antitesis itu bakal ada yang ngebuat sintesisnya. Asli, rata-rata manusia di negara ini demen beropini, hanya saja nggak semuanya berani beropini dengan jantan.
Alasannya kenapa? Ya itu tadi, takut kena citra negatif. Alasan lain, biar akun asli nggak diserbu netijen dengan komentar jahat. Atau biar kalo opininya terlalu bangsat, nggak didatangi pihak tertentu dan dihajar. Makanya, akun palsu menjadi pelindung dari semua itu.
Sayangnya, kalo emang tujuannya mau cari aman dari pihak yang nggak terima sama bacotan, akun palsu itu nggak bisa sekuat tameng Kapten Amerika. Akun palsu itu gampang banget kalo mau dilacak siapa pemilik aslinya. Perlu diketahui, setiap akun palsu pasti memiliki jejak digital ke akun aslinya. IP yang digunakan pasti sama dengan akun aslinya. Makanya, kalo mau berlindung pake akun palsu buat mbacot, nggak bakal bisa bertahan lama. Gampang banget dilacak, Mas Bro.
Ironinya, ada indikasi bagus bahwa masyarakat negara ini mau beropini dan menulis opininya. Bukankah itu sangat bagus untuk literasi di negara yang konon minat bacanya rendah ini? Sayangnya, gelora beropini yang panas membara itu tidak disertai dengan kemampuan menulis memadai. Dan tentunya tidak disertai dengan keberanian menunjukkan identitas mereka. Jatuhnya ya perang bacot antar sesama akun palsu.
Makanya, seandainya suatu saat nanti gelora beropini masyarakat bisa selaras dengan kemampuan menulis dan kejantanan menunjukkan jati diri, betapa indah dunia kepenulisan di negara ini. Ah, sebuah utopia bangsat yang rasanya mustahil.
BACA JUGA Mengapresiasi Kopi Sachet dalam Perjalanan Ngopimu dan tulisan Riyanto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.