Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Kampus

Kuliah di Kampus Favorit, Belajar Setengah Mati demi IPK Tinggi tapi Mental Remuk karena Kampus Cuma Peduli Angka, Bukan Manusia

Reza Oktavia Rachman oleh Reza Oktavia Rachman
25 Maret 2025
A A
IPK Tinggi di Kampus Favorit, Tapi Mental Hancur Tertekan (Pexels)

IPK Tinggi di Kampus Favorit, Tapi Mental Hancur Tertekan (Pexels)

Share on FacebookShare on Twitter

Selamat datang di dunia perkuliahan, di mana angka-angka di transkrip menjadi mata uang utama. Sementara itu, kesehatan mental hanyalah catatan kaki yang sering diabaikan. Keberhasilan mahasiswa dinilai dari seberapa tinggi IPK mereka, bukan dari seberapa sehat dan stabil kondisi mentalnya. 

Kampus menuntut mahasiswa untuk selalu berprestasi, mengerahkan seluruh tenaga demi nilai sempurna. Namun, banyak kampus tidak memberi ruang bagi mahasiswa untuk bernapas. 

Tidur cukup? Sebatas mimpi. Hidup seimbang? Hanya dongeng yang terdengar indah. Kampus dengan bangga mencetak lulusan-lulusan cumlaude dengan IPK tinggi. Sayangnya, mereka lupa bertanya. Apakah mahasiswa benar-benar siap menghadapi dunia atau hanya menjadi korban dari sistem akademik yang kejam?

Ada kampus yang hanya menjadi “pabrik”

Bayangkan sebuah pabrik yang berjalan tanpa henti. Mahasiswa adalah produk yang harus selalu berfungsi, sementara IPK adalah label kualitas yang menentukan nilai mereka di mata dunia. 

Tidak ada ruang untuk lelah, tidak ada waktu untuk istirahat. Tidur hanya 3 jam? Normal. Menghabiskan malam dengan mata sembab karena menangis sambil mengerjakan tugas? Itu bukan tanda kelelahan, melainkan “bagian dari proses belajar.” 

Tidak ada yang peduli apakah mahasiswa masih menikmati hidup, masih punya semangat, atau bahkan masih waras. Yang penting, mereka bisa menyerahkan tugas tepat waktu, hadir di kelas tanpa absen, menyetor skripsi sesuai deadline, dan mencetak IPK tinggi.

IPK tinggi, semua dianggap baik-baik saja

Sistem ini terus berjalan, menganggap mahasiswa sebagai mesin tanpa perasaan. Kampus dengan bangga memamerkan lulusan unggulan, tetapi tidak melihat banyak di antara mereka telah kehilangan jati diri, semangat, dan kesehatan mentalnya. 

Selama IPK masih tinggi, semua baik-baik saja. Tapi pertanyaannya, apa gunanya gelar cumlaude jika yang tersisa hanyalah tubuh lelah dan mental yang terkuras?

Baca Juga:

IPK Realistis atau Bare Minimum bagi Kalian Mahasiswa Baru di Semester Pertama, Biar Bisa Jadi Pondasi untuk Semester Selanjutnya

Dulu Bilangnya Kuliah Cuma Formalitas, Sekarang Nangis Karena Gaji Masih di Bawah UMR Meski Sudah 5 Tahun Kerja

Kampus sering berkoar soal kesehatan mental. Namun, solusi mereka tidak lebih dari seminar “Manajemen Stres”. Ironisnya, seminar itu ada saat mahasiswa sudah di ambang kehancuran. Mahasiswa mendengarkan materi tentang menjaga keseimbangan hidup, sementara tugas dan deadline terus mencekik. Hasilnya? Formalitas tanpa dampak nyata.

Butuh konseling? Silakan daftar dan bersabar menunggu antrean hingga 3 bulan ke depan dengan catatan. Itu kalau mentalmu belum keburu ambruk hanya demi IPK tinggi. 

Curhat ke dosen? Harapan tinggal harapan. Ada saja dosen yang merespons, “Coba lebih disiplin. Jangan manja.” Alih-alih mendapatkan empati, mahasiswa justru dianggap terlalu banyak mengeluh.

Pada akhirnya, solusi sesungguhnya tidak datang dari kampus, melainkan dari mahasiswa itu sendiri. Caranya? Kopi sebagai bahan bakar utama, overthinking sebagai strategi bertahan hidup, dan bercanda soal kelelahan mental di media sosial sebagai mekanisme bertahan hidup. 

Sekadar reality show, IPK tertinggi pasti menang

Menjadi mahasiswa di era ini terasa seperti mengikuti reality show bertahan hidup. Asal IPK tinggi, pasti menang.

Bedanya, di acara survival, ada hadiah untuk pemenang. Sementara itu, di kampus, hadiahnya adalah burnout, overthinking, dan kebingungan eksistensial.

Setiap semester, mahasiswa menghadapi ujian mendadak, revisi skripsi tanpa henti, serta tekanan sosial untuk tetap terlihat “baik-baik saja” meskipun sudah di ambang kehancuran. Ada yang menyerah dan drop out, ada yang lulus dengan IPK 4.0 tetapi kehilangan semangat hidup, dan ada yang sukses… di rumah sakit, karena kelelahan fisik dan mental.

Ironisnya, sistem seolah tidak peduli cara mahasiswa bisa bertahan. Yang penting kampus bisa pamer angka kelulusan tinggi dan jumlah lulusan cumlaude. Sementara itu, cerita mahasiswa yang tumbang akibat tekanan akademik hanya menjadi bisik-bisik di sudut kampus.

Dunia yang sadis

Setelah bertahun-tahun mengejar IPK sempurna, akhirnya gelar sarjana berhasil diraih. Tapi apakah perjuangan selesai? Sayangnya, dunia kerja jauh lebih sadis dibanding ruang kelas dan lembar ujian.

Jika dulu di kampus, mahasiswa berjuang mendapatkan nilai A, kini mereka harus berjuang mendapatkan pekerjaan dari perusahaan yang bahkan tidak peduli dengan IPK mereka. Alih-alih bertanya soal teori, perusahaan lebih ingin tahu seberapa baik seseorang bisa berpikir kritis, menyelesaikan masalah, dan bekerja dalam tekanan. 

Sayangnya, kampus lebih fokus mengajarkan cara mengejar angka, ketimbang cara menghadapi dunia nyata. IPK hanya target fana.

Mahasiswa yang dulunya terbiasa dengan silabus dan ujian kini terjun ke dunia yang penuh ketidakpastian. Banyak lulusan baru yang gamang dan mengalami krisis eksistensial.

“Setelah ini, aku harus bagaimana?” Ironisnya, kampus yang dulu mengagungkan mereka saat lulus kini sudah tidak peduli. Seminar “Karier Sukses Setelah Lulus” hanya formalitas, sementara mahasiswa dibiarkan mencari jalannya sendiri.

Saatnya kampus berhenti memandang mahasiswa sebagai IPK berjalan. Pendidikan seharusnya tidak hanya mencetak lulusan dengan transkrip sempurna, tetapi juga manusia yang siap menghadapi hidup. Karena di dunia nyata, tidak ada yang peduli berapa IPK-mu. Yang penting, apakah kamu bisa bertahan atau tidak?

Penulis: Reza Oktavia Rachman

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Lulusan S2 Nekat Merantau ke Jakarta karena Muak dengan UMR Jogja: Baru Sebulan Kerja Balik Nganggur, Kantor Bangkrut

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 25 Maret 2025 oleh

Tags: beasiswa ipkcumlaudeipkipk tinggikampus favoritlulus cumlaude
Reza Oktavia Rachman

Reza Oktavia Rachman

Seorang mahasiswi yang suka membaca, menonton, dan menulis.

ArtikelTerkait

IPK Realistis atau Bare Minimum bagi Kalian Mahasiswa Baru di Semester Pertama, Biar Bisa Jadi Pondasi untuk Semester Selanjutnya

IPK Realistis atau Bare Minimum bagi Kalian Mahasiswa Baru di Semester Pertama, Biar Bisa Jadi Pondasi untuk Semester Selanjutnya

6 Juli 2025
dunia kerja lowongan kerja perusahaan info lowongan pekerjaan IPK Plus Minus Posting CV di Media Sosial bagi Pelamar Kerja terminal mojok.co bikin cv lamaran kerja desain kreatif

Sebetulnya, Seberapa Penting sih IPK dalam Melamar Pekerjaan?

27 Februari 2021
Tanya Soal Ujian ke Kating di Jenjang S-2 Itu Percuma dan Nggak Bakal Mendongkrak IPK

Tanya Soal Ujian ke Kating di Jenjang S-2 Itu Percuma dan Nggak Bakal Mendongkrak IPK

16 Juni 2023
bob sadino quotes ipk tinggi tidak menjamin kesuksesan mojok

Pledoi Mahasiswa Pengejar IPK Tinggi yang Nggak Mau Tunduk sama Quotes Bob Sadino

22 September 2020
bob sadino quotes ipk tinggi tidak menjamin kesuksesan mojok

Stop Bilang Peringkat dan IPK Tinggi Tidak Menjamin Kesuksesan, Iri Bilang, Bos!!!

17 Januari 2021
karya fiksi UT kuliah ekonomi kuliah sastra kuliah online mahasiswa s-1 dan s-2 Sebagai Penulis, Saya Sering Disangka Romantis dan Bisa Menjadi Sekretaris kuliah online

Satu Semester di Rumah, IPK Ditentukan oleh Kecepatan Sinyal, Mending Kuliah Online Bubar Aja

7 Juni 2020
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Betapa Merananya Warga Gresik Melihat Truk Kontainer Lalu Lalang Masuk Jalanan Perkotaan

Gresik Utara, Tempat Orang-orang Bermental Baja dan Skill Berkendara di Atas Rata-rata, sebab Tiap Hari Harus Lawan Truk Segede Optimus!

30 November 2025
Lamongan Megilan: Slogan Kabupaten Paling Jelek yang Pernah Saya Dengar, Mending Diubah Aja Mojok.co Semarang

Dari Wingko Babat hingga belikopi, Satu per Satu yang Jadi Milik Lamongan Pada Akhirnya Akan Pindah ke Tangan Semarang

30 November 2025
Menengok Bagaimana Penjaga Palang Kereta Api Bekerja, Termasuk Berapa Gajinya dan Gimana Cara Mendaftarnya  

Menengok Bagaimana Penjaga Palang Kereta Api Bekerja, Termasuk Berapa Gajinya dan Gimana Cara Mendaftarnya  

1 Desember 2025
4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Tetap Menyenangkan Mojok.co

4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Liburan Tetap Menyenangkan

30 November 2025
Jogja Sangat Layak Dinobatkan sebagai Ibu Kota Ayam Goreng Indonesia!

Jogja Sangat Layak Dinobatkan sebagai Ibu Kota Ayam Goreng Indonesia!

1 Desember 2025
Dosen yang Cancel Kelas Dadakan Itu Sungguh Kekanak-kanakan dan Harus Segera Bertobat!

Dosen yang Cancel Kelas Dadakan Itu Sungguh Kekanak-kanakan dan Harus Segera Bertobat!

3 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lagu Sendu dari Tanah Minang: Hancurnya Jalan Lembah Anai dan Jembatan Kembar Menjadi Kehilangan Besar bagi Masyarakat Sumatera Barat
  • JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan
  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.