Umur kamu sudah masuk angka 20an? Kamu sudah pernah pergi ke mana saja? Sudah punya pencapaian apa saja? Gimana pendidikan, karier dan cita-citamu? Sudah berapa puluh buku yang kamu baca? Pertanyaan-pertanyaan ini selalu sukses bikin insecure dan overthinking ketika melihat kenyataan bahwa kita masih gini-gini aja di usia 20an. Boro-boro punya karier bagus dan pergi traveling ke sana ke mari, nggak sakit punggung gara-gara kebanyakan rebahan aja udah syukur.
Sebentar-sebentar, apa saya sudah masuk ke dalam quarter life crisis?
Setiap saya berdiskusi dengan teman yang seumuran, kami sama-sama sepakat bahwa di umur 20an ini kami mudah sekali insecure dan overthinking—yang ujung-ujungnya adalah perasaan “merasa gagal dan tidak berguna”.
Ketika mendengar bahwa teman merasakan hal yang sama, di satu sisi saya lega karena bukan hanya saya saja yang berpikir demikian. Di sisi lain, saya merasa ditampar kenyataan bahwa seiring bertambahnya usia, bertambah pula tekanan-tekanan yang akan kami hadapi. Jadi pengin berkata kasar, berat sekali ya quarter life crisis itu? Mana fasenya berjalan cukup lama. Katanya bisa sampai umur 30 tahun kita akan merasakan perasaan insecure dan overthinking ini.
Konon perasaan insecure dan overthinking ini bisa dihilangkan jika kita tahu goals alias tujuan hidup kita. Betul ~ satu-satunya obat dari perasaan ini adalah kita tahu apa tujuan hidup kita: untuk apa kita di sini; kita mau ke mana; apa yang kita inginkan; dan pertanyaan 5W+1H lainnya.
Yang jadi masalah, untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan ini, tidak cukup dengan begadang dalam satu malam. Banyak sekali pertimbangan dan perasaan-perasaan tidak nyaman yang harus kita hadapi.
Selain mengenai kebimbangan akan tujuan hidup, memasuki usia 20an pelan-pelan kita menyadari bahwa lingkar pertemanan akan menyempit. Mungkin kita tetap bersoasialisasi dengan semua orang, welcome dengan orang-orang baru, tetap ramah pada orang sekitar, tapi kita akan tahu dan terseleksi secara alami, siapa yang selalu ada disaat kita benar-benar butuh atau siapa yang selalu menyempatkan hadir pada segala situasi di hidup kita, poinnya bukan tentang prioritas, tapi siapa yang benar-benar menganggapmu ada di kehidupannya. Bukan yang sekadar kadang datang, kadang pergi.
Ukurannya bukan lagi siapa yang lebih lama atau paling lama bersamamu, tapi siapa yang memedulikanmu. Misalnya, kamu ngekos, ngontrak. Kalau tidak sekamar berdua, pasti di sisi kamarmu ada orang, entah mbak-mas kos, atau siapa pun yang satu hunian denganmu. Mereka adalah orang yang lama bersamamu walaupun berbatas tembok-pintu itu. Kamu dekat dengan mereka, tapi bisa saja mereka tidak peduli denganmu.
Mereka tidak tahu uangmu tinggal berapa, tidak tahu kamu sudah makan atau belum, tidak tahu apa kegelisahanmu. Iya, benar mereka tidak tahu karena kamu tidak menceritakannya. Tapi, kenapa kamu tidak menceritakannya? Pasti ada ketakutan lain, kegelisahan lain, atau mungkin rasa sungkan karena emosi yang belum terikat.
Mungkin ada orang yang jaraknya 2 kilometeran denganmu, namun ia begitu mencemaskanmu begitu mengetahui dirimu tidak baik-baik saja, kemudian kalian saling menyempatkan diri di tengah kesibukan masing-masing untuk bertemu walau beberapa menit dengan alasan mengajak ngopi, pergi ke suatu tempat, atau dengan dalih mengantarkan makanan saling berbagi cerita tentang kawan dan peristiwa yang lagi “in” padahal sebenarnya ingin memastikan betul bahwa kamu baik-baik saja dan tetap tangguh dengan apa yang semesta bebankan padamu. Bukan tentang menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh, tapi siapa orang yang benar-benar saling menalikan emosi dan saling berada dalam lingkaran sosial masing-masing.
Belum lagi, jika kamu perempuan. Memasuki umur 20an tentu ada tuntutan yang terselip, biasanya sih akan dikode, “udah ada calon belum?”, “kapan nikah?” atau saat menggendong anak kecil, “udah cocok loh.” Bahkan “sekolah mulu, nikahnya kapan? Cewe sekolahnya nggak usah tinggi-tinggi, nanti juga larinya ke dapur.”
Kalau laki-laki sudah beda urusan, tidak melihat usianya berapa asal sudah lulus sekolah dan ada pekerjaan barulah tuntutan masyarakat yang “itu” muncul. Beda sekali dengan perempuan yang serasa diikat ketakutan disebut, “perawan tua” atau “kalo nggak cepet nikah, nanti nggak laku-laku loh.” Mau tidak peduli dengan omongan orang sekitar ini nanti dicap anti sosial, mau peduli dengan omongan orang sekitar ini pusing sendiri.
Kalau sudah begitu satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan saya adalah: “Ini hidup saya, semua yang terjadi harus dalam kontrol dan kendali saya.”
BACA JUGA Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Good Looking atau tulisan Mita Berliana lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.