Bus masih menjadi andalan bagi masyarakat kita yang akan mudik ke kampung halaman atau sekadar liburan. Saya sendiri pun begitu. Naik bus masih menjadi pilihan utama bagi saya ketimbang kereta api ataupun pesawat. Alasan saya memilih naik bus sebetulnya sepele. Pertama, karena harga tiketnya yang lebih murah. Kedua, karena ia tak terikat jadwal. Saya bisa pergi kapan pun yang saya mau. Meski sebagai gantinya, perjalanannya akan memakan waktu lama. Tapi tak masalah, toh saya mengantongi lebih banyak waktu luang ketimbang uang.
Saya nyaris selalu berangkat malam demi menghindari kemacetan. Biar los dol, lah. Meski saya berangkat malam hari dengan perjalanan yang lumayan panjang, anehnya rasa kantuk susah hinggap di kepala saya. Mata saya menjadi terang seperti visi burung hantu saat sudah berada di atas bus. Ada beberapa alasan yang membikin saya seperti ini.
Pertama, karena takut dicopet. Sebetulnya ini akibat doktrin dari bapak saya. Ini serius. Dulu sewaktu kecil, setiap menjelang Lebaran, kami sekeluarga mudik. Selama perjalanan, bapak tak pernah tidur. Sewaktu ditanya, “Kenapa tidak tidur?” Bapak menjawab, ia ingin menjaga barang bawaan kami biar tak ada tangan usil yang menjarahnya.
Bapak juga bercerita soal kisah temannya yang pernah kecopetan saat naik bus. Di dalam bus kita memang bersama orang asing dan tak tahu apakah mereka punya niat jahat atau tidak. Kisah tersebut menempel di ingatan saya hingga sekarang. Dan ini bikin saya sulit tidur saat naik bus.
Kedua, karena mual dan mabuk darat. Bus antarkota cenderung melaju dengan kencang demi mengejar setoran. Terlebih lagi saat malam dan jalanan lengang. Sopir bus seolah lupa kalau bus itu juga dilengkapi dengan rem.
Dengan jalanan yang kadang tak rata, pun terkadang naik-turun tanjakan. Belum lagi aksi saling salip yang membikin tubuh para penumpang oleng ke kiri dan kanan. Tak heran, penumpang berperut lemah macam saya bakal mudah mengalami mabuk darat. Menenggak Antimo memang mencegah saya untuk muntah. Namun, ia tak dapat menghilangkan mualnya hingga membikin saya susah memejamkan mata.
Ketiga, karena khawatir mengganggu penumpang yang duduk di sebelah saya. Ya, saat kita tidur, kita tak punya kesadaran untuk mengendalikan gerak tubuh kita. Terlebih lagi saat kita tidur sambil duduk. Kepala Anda bisa saja oleng dan tahu-tahu bersandar di pundak orang di sebelah Anda.
Kalau hanya bersandar doang mungkin tak jadi masalah besar. Tetapi, bagaimana kalau Anda tidurnya ngorok dan bahkan ngiler. Dijamin deh, orang yang Anda senderin itu bakal ilfeel tingkat ultimate.
Keempat, karena takut kebablasan. Ya, saya khawatir ketika bus sampai di tempat tujuan dan seharusnya saya turun, tapi saya malah masih tidur. Terlebih lagi bus hanya transit sebentar di terminal. Terlambat bangun sedikit saja, bisa-bisa saya berada di lain kota, kota setelah kota tujuan saya. Jika sudah begitu, jelas bakal merepotkan. Saya mesti menunggu lagi bus yang menuju kota sebelumnya itu.
Itulah alasan saya sulit tidur di bus. Bukan berarti kekhawatiran saya itu tak ada solusinya. Anda bisa saja mengajak teman atau saudara yang mau bergantian untuk berjaga. Biar ketika yang satu tidur, yang lainnya masih melek mengawasi. Tetapi kalau Anda sendirian, ada baiknya Anda perlu waspada.
Penulis: Shofyan Kurniawan
Editor: Audian Laili