Musim pilkada kembali tiba. Masing-masing paslon sedang menjual diri segencar-gencarnya, merayu dengan genit-genitnya, dan kampanye sebagus-bagusnya. Harapan semua paslon pastilah sama, yaitu agar pemilih terpikat dan memberikan suaranya. Kemudian merayakan kemenangan pilkada dengan hingar-bingar pesta.
Nah, di sinilah menariknya. Para paslon harus saling beradu strategi untuk memenangkan pertarungan. Terlebih di pilkada langsung yang konon banyak sekali biayanya. Menurut Pak Mendagri Tito Karnavian, untuk nyalon bupati saja, setiap paslon minimal harus merogoh kocek sekitar 25-30 miliar. Biaya itu dikeluarkan bukan untuk serangan fajar loh ya, tetapi “cuma” untuk biaya logistik saja. Misalnya untuk cetak kaos, stiker, cetak dan pasang banner, pembentukan posko, pemenangan tim, uang lelah saksi, dan tetek bengek lainnya.
Jika nyalon walikota apalagi gubernur, biaya yang dikeluarkan lebih fantastis lagi, bisa ratusan miliar hingga triliunan rupiah. Itu belum termasuk “mahar” untuk partai. Apalagi jika harus mengeluarkan jurus pamungkas, yaitu serangan fajar. Taraaa… Sobat misqueen ndak usah mbayangin ya. Duit segitu jika dibelikan hand sanitizer, mungkin bisa bikin DKI Jakarta banjir sebelum waktunya. Oleh karena itu, syarat pertama untuk maju pilkada harus kaya raya. Masalah kemampuan itu nomor tiga puluh dua.
Tapi, sayang, kekayaan rasa-rasanya juga tidak bisa membeli mahkota kemenangan. Maka dibutuhkan strategi lain, salah satunya adalah dengan memanfaatkan nama besar keluarga. Siapa tahu, dengan mendompleng nama besar keluarganya dapat mengerek tingkat elektabilitas dan efek elektoral lainnya. Bisa juga untuk memperoleh privilese berupa akses ke hal-hal yang strategis berkat jabatan yang masih dimiliki para kerabatnya. Tentunya, popularitas dan elektabilitas tetap sebagai muara akhirnya.
Ndilalah, dalam banyak kasus, beberapa paslon pilkada berasal dari keluarga para pejabat penting sebelumnya. Entah bupati, walikota, gubernur, bahkan juga presiden dan mantan presiden, Entah saudaranya, anaknya, menantunya, keponakannya, bahkan suami atau istrinya. Apakah faktor keturunan itu penting? Jelas penting, walau sama sekali tidak menentukan kualitas.
Sekali lagi, keturunan itu penting karena jika ayam Bangkok kelas petarung jalan-jalan di sudut desa dan “menghamili” betina dari jenis ayam kampung lokal, boleh jadi anak-anak yang dihasilkan akan pandai bertarung juga. Tetapi, bisa pula tidak lebih bagus dari ayam kampung lainnya.
Kalaupun itu anak ayam keturunan ayam Bangkok murni, juga tidak ada jaminan akan jago berkelahi. Jangan-jangan malah jadi ayam sayur belaka. Faktor genetik memang menentukan, tetapi latihan, perawatan, dan faktor lingkungan lainnya juga tidak boleh disepelekan. Itu baru ilustrasi tentang anak ayam, apalagi jika anak manusia.
Makanya saya begitu tergelak saat melihat di media sosial ada calon bupati Pacitan yang dengan pedenya memasang banner dengan keterangan “keponakan SBY” di bawah namanya. Apa iya jika keponakannya Pak SBY juga akan punya gaya kepemimpinan seperti Pak SBY? Wibawanya, sikap badan tegapnya, kehati-hatiannya dalam menata kata demi kata, juga curhatnya di depan para awak media? Saya kok ikut prihatin.
Eh, bukankah di belahan daerah lain juga sama? Di Solo dan Medan, Mas Gibran anak Pak Jokowi dan Mas Bobby menantunya juga ikut nyalon Pilkada. Apakah mereka berdua juga akan mewarisi kualitas kepemimpinan bapak dan mertuanya? Apakah nanti setelah terpilih juga akan suka ngasih tebakan nama-nama ikan dan bagi-bagi sepeda? Wallahu a’lam.
Tak mau kalah, Mbak Siti Nur Azizah putri Wapres Kyai Ma’ruf Amin juga ikut berlaga di Pilkada Tangsel. Begitu juga dengan anak Mensesneg Pak Pramono Anung, Mas Ditho yang maju di Pilkada Kediri. Ini gejala apa sih? Nyalon pilkada memang hak politik setiap warga negara, apalagi di negara demokrasi. Tapi, nyuruh-nyuruh anak turun yang belum teruji kualitasnya untuk maju pilkada, kok malah mirip model monarki ya? Kalo bapaknya jadi raja, anaknya juga harus menjadi raja. Tak peduli apakah dia linglung atau bahkan setengah gila. Jangan-jangan ini model baru. Demokrasi, tapi berasa monarki.
Yang jelas, para kontestan pilkada yang berasal dari jalur keluarga telah menjamur di mana-mana. Di Banyuwangi, salah satu calon bupati adalah istri dari incumbent. Bahkan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) Sulawesi Selatan, terdapat tiga paslon yang memiliki hubungan keluarga dengan bupati petahana saat ini.
Pasangan Andi-Rismayani punya hubungan khusus dengan Syamsuddin Hamid yang saat ini masih aktif menjabat sebagai Bupati Pangkep dua periode. Rismayani sendiri adalah Istri dari bupati Syamsuddin, sedangkan Andi adalah ipar dari Syamsuddin. Sementara pasangan Muhammad Yusran-Syahban Samana juga tak bisa dilepaskan dari Bupati Pangkep Syamsuddin Hamid. Sebab, Yusran dikenal sebagai keponakan dari Syamsuddin. Nah, alangkah mulia melihat paslon yang sedarah daging bersepakat ingin menjadi pemimpin dan memperjuangkan nasib rakyat. Indah sekali bukan?
Di daerah saya, Tuban, Jawa Timur, juga begitu. Anak bupati incumbent juga nyalon, sementara anak ibu bupati dua periode sebelumnya juga ikut nyalon. Nah, bupati incumbent adalah rival berat ibu bupati dua periode sebelumnya. Untungnya hanya satu nama yang mendapat rekomendasi dari DPP partai pengusungnya. Jika saja keduanya lolos jadi pasangan calon, akan jadi preseden buruk bagi rakyat. Bahwa suksesi kepemimpinan bupati hanya akan menjadi milik dua keluarga besar mereka. Seolah-olah tidak ada calon lain saja.
Seperti diduga, calon yang satu ini juga memanfaatkan nama besar ibunya. Di banner yang dipasang, dengan pedenya ia menyebut “anak ibu bupati” di bawah namanya dan memasang foto ibunya di belakang foto dirinya. Bukankah ini justru melegitimasi bahwa saya adalah “anak mami”? Lha masih anak mami kok, mau nyalon bupati. Apa jadinya nanti? Dalam bentuk lain, ada juga yang nebeng popularitas dan kharisma kiainya, nama besar ormasnya, atau kemuliaan nasabnya, dan lain-lain, dan sebagainya.
Saya jadi teringat pepatah Arab dalam kitab Idhotun Nasyi’in yang berbunyi “Laisal fata man yaqulu kana abiy, walakinnal fata man yaqulu ha ana dza”. Artinya, “Bukan kesatria orang yang mengatakan inilah ayahku, melainkan (kesatria yang sesungguhnya) adalah orang yang berkata inilah aku.” Dalam bahasa pesantren, orang demikian disebut “manusia idhomi”, yaitu selalu mengantungkan dirinya pada kehebatan para leluhur atau keluarganya.
Rasa-rasanya tak perlu kita mendalami teori hereditasnya Gregor Mendel, baca A Study of British Genius-nya Havelock Ellis, atau menganalisis Study Genius-nya Francis Galton untuk mengambil kesimpulan bahwa faktor keluarga bukanlah segala-galanya. Melainkan pendidikan, kerja keras, habituasi lingkungan, dan pengalamanlah yang ikut memegang peranan penting.
Lewat perspektif orang awam pun, kita bisa maklum bahwa keturunan bukanlah apa-apa dan tidak dominan seratus persen. Tidak selamanya berlaku pepatah bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Sebab, bisa jadi, buah jatuh tidak akan jauh-jauh dari keranjang yang dibawa oleh penjual buah.
Taruhlah Anda punya hubungan silsilah dengan Raja Pasundan Prabu Siliwangi yang kesohor hebat itu, tapi adakah yang lebih penting dari siapakah Anda sekarang ini? Anda tak lebih hanya mendompleng kebesarannya, sementara Anda bukanlah siapa-siapa. Anda tetaplah Anda, habislah perkara. Dan yang pasti Anda bukanlah saya.
BACA JUGA 5 Cara yang Membuatmu Kelihatan Kaya di Mata Orang Indonesia
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.