Di usia saya yang masuk dalam kategori Gen Z, gawai, internet, dan media sosial adalah beberapa hal yang mustahil absen dari kehidupan sehari-hari saya. Saya ambil contoh dalam hal komunikasi. Komunikasi melalui internet atau dunia maya tak hanya menggantikan kehadiran orang yang kita ajak berkomunikasi, tapi juga dapat mentransfer emosi, perasaan, bahkan nilai-nilai tertentu.
Pada situasi tersebut, saya jadi kepikiran kira-kira apa yang terjadi ketika masyarakat yang sangat erat kaitannya dengan gawai, internet, dan media terus-terusan disodorkan artikel-artikel yang mendoktrin nilai-nilai tertentu. Seperti jenis artikel yang kerap kali kita jumpai, artikel yang mengglorifikasi kekayaan artis-artis seperti Nagita Slavina, misalnya.
Sebelum menulis artikel ini saya tak sengaja dipertontonkan judul-judul berita mengenai kekayaan Nagita Slavina seperti ini.
“Perhiasan Seharga Motor Milik Nagita Slavina Malah Dikira Karet Gelang, Kok Bisa?”
“Penampakan Botol Minum Nagita Slavina yang Branded dan Harganya Rp3,5 Juta, Netizen: Harga Kulkas Gue”
Melihat judul-judul tersebut saya jadi makin penasaran untuk menelisik seberapa jauh media menyorot kekayaan Nagita Slavina? Tak dinyana-nyana, kok, ya, saya menemukan beberapa judul yang lebih nggatheli seperti ini.
“Nagita Slavina Pakai Tas Rp 40 Ribu, Netizen Kaget Sampai Ingin Tumpengan”
“Sering Minta Minuman Teman, Begini Kisah Nagita Slavina saat SMA”
“Sudah Kaya Raya, Ibunda Nagita Slavina Tak Gengsi Jualan Rendang”
“Pose Humble Nagita Slavina Saat Jinjing Tas Rp1 Miliar”
Berita-berita yang kedengarannya nggak penting, kan? Iya, banget. Tapi, anehnya berita ini adalah jenis berita yang sering sekali dijadikan tajuk di banyak media tertentu. Meski kedengarannya tidak penting dan hanya seperti angin lalu, tapi saya menemukan potensi-potensi bahaya dari berita yang dilahirkan oleh media-media yang tidak memiliki sense of crisis ini. Apa saja, sih?
Pertama, berita yang penuh dengan unsur glorifikasi terhadap kekayaan artis-artis ini dapat mendoktrin kita menjadi individu yang materialistis. Kok bisa? Ya bisalah. Setiap hari kita menemui tayangan seperti itu di berbagai lini media massa. Bahkan tak jarang artis-artis sendiri yang mengunggah konten-konten pamer kekayaan. Seperti grebek rumah mewah sesama artis, pamer koleksi barang-barang mewah milik artis, dan masih banyak lagi. Hal ini tentu membuat masyarakat terdoktrin bahwa materi adalah segalanya. Materi yang membuat kita dipuja, dihormati, dan ditonton banyak orang.
Belum lagi potensi bahaya bagi pembaca yang mengadopsi perilaku yang terus-terusan dipamerkan oleh media-media yang hobi mewartakan harta kekayaan artis tersebut. Ini seakan membentuk role model pada persepsi tiap orang bahwa kita bekerja untuk memiliki rumah yang megah seperti artis A, kita bekerja untuk memiliki kendaraan mewah dan koleksi tas-tas mahal seperti artis B. Dan apabila kita tidak dapat mencapai itu semua, kita bakal merasa tidak cukup sukses dalam hidup.
Kedua, selain berpotensi menjadikan kita individu yang materialistis, media-media ini seakan memberikan kita tolok ukur kebahagiaan dan kesuksesan seseorang. Apalagi kalau bukan berdasarkan uang? Hal-hal normal yang biasa kita lakukan seakan menjadi luar biasa ketika dilakukan oleh orang-orang yang ber-uang. Lihat saja berita romantisasi tentang ibu Nagita yang jualan rendang, Nagita pakai tas 40 ribu, dan pose humble-nya saat pakai tas seharga 1 miliar. Lagian, gimana sih “pose humble” saat jinjing tas yang dimaksud? Bukannya di mana-mana jinjing tas itu sama aja, ya? Atau harusnya kalau punya tas seharga 1 miliar tasnya disunggi di atas kepala gitu?
Keprihatinan saya bertambah saat melihat komentar-komentar warganet saat mengomentari harga tas Nagita Slavina yang seharga 40 ribu, banyak komentar senada seperti, “Akhirnya aku bisa samaan tas kaya Nagita”, “Gitu dong biar aku nggak kelihatan miskin-miskin amat”. Hingga ada yang berkomentar ingin mengadakan tumpengan sebab mereka akhirnya bisa sekelas dalam strata sosial dengan Nagita yang memakai tas seharga 40 ribu. Miris, nggak?
Hal inilah yang bikin saya heran kenapa makin hari justru makin banyak media yang sibuk meliput kekayaan artis-artis ternama. Keprihatinan saya hadir bukan hanya karena berita semacam itu merupakan berita yang nggak penting, tapi saya juga jadi berpikir di mana sih sense of crisis-nya media-media tersebut? Media yang dengan sengaja menampilkan ketimpangan sosial yang nyata. Sedang rakyat yang tak tau apa-apa, cuma bisa ikut bersuka cita merayakannya. Ya sudah kalau begitu, long live, Nagita Slavina!
Sumber Gambar: YouTube Rans Entertainment
BACA JUGA Rafathar Sudah Mulai Protes Terlalu Sering Di-prank, Raffi-Gigi Kapan Mau Tobat? dan tulisan Yafi’ Alfita lainnya.