Jika ada yang bertanya siapa pemain terbaik di muka bumi pada zaman sekarang, mungkin jawaban hanya berputar pada sosok Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Dan bagi saya, mereka berdua harus sama-sama berdiri di puncak sebagai yang terbaik. Tidak adil hanya memilih salah satu. Mereka berdua adalah pemain sepak bola terbaik yang pernah bumi ini saksikan dan harusnya tidak dipisahkan dan dibanding-bandingkan. Sama seperti Romeo dan Juliet. Reza Raharadian dengan peran utama pria di film Indonesia. Kamu dan gebetanmu ternyata sudah punya pacar.
Tapi setelah melihat hattrick seorang Zlatan Ibrahimovic pada Jum’at (19/7) malam pekan lalu waktu Amerika Serikat, saya berubah pikiran. Lalu kembali yakin bahwa hidung Zlatan itu lebih besar dari Messi dan Ronaldo.
Menang dan Berjaya Dimana Saja
Lucu rasanya membandingkan raihan tropi Messi dan Ronaldo dengan Ibrahimovic sebagai barometer siapa yang lebih baik. Tapi disini saya memang memakai banyaknya tropi sebagai barometer tersebut. Namun bukan dalam hitungan kuantitas, melainkan kualitas tiap musim.
Messi dan Ronaldo pernah mengalami fase paceklik tropi. Messi pernah menjalani satu musim tanpa tropi dalam genggaman di musim 2013/2014. Semua gelar mayor yang bisa diraih sebuah klub Spanyol diborong oleh duo klub Madrid, Atletico Madrid (Liga Spanyol) dan Real Madrid (Liga Champions dan Copa Del Rey). Sepatu emas juga tidak bisa diraih Si Kutu karena saingannya yang kekar itu mencetak 31 gol, 3 lebih banyak darinya. Padahal Messi masih punya Xavi dan Iniesta. Juga atlit guling-guling professional Neymar dan pemain-gaji-buta di masa depan Alexis Sanchez.
Ronaldo juga merasakan kering gelar pada masa awal di Real Madrid. Alasannya tentu saja adalah kedigdayaan Messi dan Guardiola yang menggila di Spanyol dan Eropa. Mourinho dan Ronaldo pada masa itu hanya bisa mengais sisa remah-remah berupa sekali juara liga dan Copa Del Rey. Dan tropi yang terakhir disebut hancur tergilas bus parade sendiri. Kuat dugaan karena bek bernama Sergio Ramos yang sedang memegang piala gemetaran sangkin sudah lupanya euforia menjadi juara.
Tapi tidak dengan Zlatan. Tangan kekar, berotot dan bertato itu akrab memegang piala sepanjang karirnya. Mungkin pengecualian untuk Malmo pada awal karirnya dan Juventus karena kasus Calciopoli. Tapi tetap saja, pencapaiannya luar biasa untuk seorang pemain sepak bola.
Kombinasi dari memilih tim yang tepat dan beliau sendiri adalah pemain yang hebat dan mampu mengangkat performa tim adalah dua alasan beliau tidak pernah tidak menjuarai sesuatu sepanjang karirnya. Di Ajax beliau berhasil meraih dua kali gelar Liga Belanda dan Piala KNVB. Beliau saat itu dilatih oleh salah satu pelatih Belanda terbaik, Ronald Koeman.
Setelah di Ajax, beliau menyebrang ke Juventus. Sayangnya waktu beliau di Juventus berakhir ironis dan menyedihkan karena kasus Calciopoli yang mencabut dua gelar Juventus berturut-turut pada 2005 dan 2006. Sekaligus mendegradasikan Juventus pada akhir musim 2005/2006.
Tidak berpusing-pusing terlalu lama, beliau menyebrang ke Inter. Dan disitulah nama Zlatan Ibrahimovic harum semerbak ke seluruh penjuru dunia. Penyerang tajam dengan jaminan gelar. Inter dibawanya menjadi juara Liga Italia tiga kali ditambah dua Piala Super Italia. Bagi beliau sendiri, dua gelar pemain terbaik Italia dan sepatu emas liga.
Celah dalam karirnya mungkin hanya dua. Yaitu pernah berurusan dengan Pep Guardiola yang sedang terobsesi dengan Messi dan terlambat menjejakkan kaki di Britania Raya. Masanya di Barcelona memang agak dilematis. Beliau pertama kalinya dikelilingi oleh talenta-talenta luar biasa macam Iniesta, Xavi dan Messi itu sendiri. Sudah pasti berbagai gelar akan dimenangkan.
Sayangnya, pusat gravitasi Barcelona berporos pada Messi seorang. Membuat Zlatan seperti kerupuk dalam seporsi Ketoprak. Ada, namun bukan yang utama. Dan bila dijadikan sebagai yang utama, Guardiola akan ‘mengendarai’ Zlatan sebagai sebuah mobil Fiat. Bukan sebagai Ferrari, yang merupakan fitrah sesungguhnya dari beliau. Itulah yang menyebabkan harga diri beliau seakan tidak dihormati oleh sang pelatih jenius. Karena itu beliau kembali ke Milan bersama AC Milan kemudian menaklukkan Prancis seperti Napoleon Bonaparte dengan PSG.
Karirnya di tanah Inggris memang sebentar. Namun apa yang ditorehkannya bukan sembarangan. Tetap bisa menjadi juru gedor yang handal bagi Manchester United di usia senja di liga paling melelahkan sedunia. Sembari tetap memberi gelar bagi United dan penggemarnya yang sudah kehausan kejayaan. Mungkin jika tidak cedera ACL pada penghujung musim 2016/2017, beliau bisa memberikan lebih banyak lagi untuk United. Dan mengangkat marwah United yang sebenarnya sudah ckuazszs sekali.
Senjakala Karir yang Tetap Meriah
Ibrahimovic mendaratkan diri di Negeri Paman Sam, Amerika Serikat sebagai destinasi akhir dan mungkin sebagai tempar penutupan karir. Klub yang dibelanya adalah LA Galaxy. Klub yang sebelumnya membuka jalan bagi para pesepak bola Eropa yang sudah mendekati masa pensiunnya.
Kebetulan, segala atensi media dan sorotan-sorotan lampu utama ada di Los Angeles, kota Hollywood itu sendiri. Dan tentunya Zlatan akan memanfaatkannya untuk meraih pamor yang lebih banyak lagi. Sembari bermain bola, juga menabung duit dari iklan dan endorsement dari kanan kiri. Mungkin juga dibarengi mengenalkan anak muda Amerika kalau football itu literally dimainkan dengan kaki, bukan tangan.
Biarpun sudah di ujung karir, nama beliau masih tetap hangat diperbincangkan. Dalam debutnya melawan rival sekota, LA FC, beliau langsung beraksi sebagaimana seorang Zlatan. Gol debut yang fantastis, voli dari hampir separuh lapangan. Lalu menyegel kemenangan LA Galaxy lewat tandukan. Penonton meminta Zlatan untuk turun dan beraksi. Maka dengan rendah hati, Zlatan turun dan memberikan mereka ‘Zlatan’.
Bahkan sampai pekan lalu, Zlatan masih atlit yang sama. Mencetak gol banyak dengan cara sesuka hati. Tetap membuat publik sadar dia masih seorang Zlatan Ibrahimovic. Seorang singa yang tidak mau dibandingkan dengan manusia biasa. Sebuah mobil Ferrari yang harusnya dipacu semaksimal mungkin untuk mengalahkan mobi-mobil Fiat biasa.
Belum ada yang tahu nasib Messi dan Ronaldo ketika menuju penghujung karir. Bisa jadi Messi kembali ke Argentina, ke klub masa kecilnya Newell’s Old Boy dan pensiun disana. Mungkin dengan narasi yang sama, Ronaldo kembali ke Sporting Lisbon sebagai destinasi terakhir. Tapi apakah mereka mendapat jaminan atensi semeriah Zlatan di Amerika? Saya sedikit pesimis.
Messi dan Ronaldo adalah puncak dari sepak bola pada zaman sekarang. Raihan trofinya tidak berbohong. Tapi tetap punya celah untuk dijadikan bahan debat kusir di kolom komentar IG Plesbol sosial media terdekat. Tapi tidak ada salahnya juga memuja Zlatan Ibrahimovic yang tidak punya tropi UCL ataupun gelar internasional. Messi dan Ronaldo saja tidak punya gelar UEL.
Karena pada hakikatnya sepak bola adalah membebaskan. Karena itu bebas-bebas saja mengidolakan mas-mas Swedia yang kekar tinggi menjulang, dan berkata dia adalah ‘Tuhan’ sepakbola. Ketimbang mengikuti arus mainstream dan mengidolakan Alien atau Robot.
All hail Lord Zlatan!