Yang namanya WO (Wedding Organizer), kini bejibun jumlahnya. Mereka ada di mana-mana, baik kota maupun desa. Kita bisa memilih mau pakai yang seperti apa, bisa menyesuaikan dana. Tapi, di kampung saya tercinta, yang namanya WO masih rung usum, nggak kepakai. Kami masih memegang budaya gotong royong dan percaya dengan kinerja tetangga. Meski tetap saja, panitia hajatan kampung justru sering kali bikin naik darah. Karena terkadang, orang dekat justru lebih berbahaya.
Meski sudah memilih ketua panitia, tetap saja ada banyak kepala yang ikut bikin keputusan. Alhasil, para pemuda dan para anggota panitia kerap dibikin bingung mau ikut yang mana. Akhirnya terjadi perpecahan, ada yang ikut ketua yang resmi, ada yang memilih manut ketua wanna be. Tentu pihak tukang kompor sudah pasti ada. Para pemuda seperti kami ini yang jadi korban, yang itu nyuruh begini, yang itu nyuruh begitu, bikin pusing dan capek duluan.
Pemilihan ketua panitia hajatan kampung sendiri sebenarnya sudah bikin pusing. Mau pilih yang terpercaya, bisa bekerja dengan baik, berpengalaman, tahu mana yang baik dan benar-benar meringankan pekerjaan yang punya gawe, kadang kalah sama yang namanya rasa nggak enakan. Soalnya, selalu ada pihak yang merasa lebih mampu dan sering melakukan sabotase jika dirinya ra diuwongke atau dijadikan pemimpin. Sayangnya, nggak hanya ada satu pemuka masyarakat yang hobi jadi ketua, jadinya sabotase tetap sering terjadi. Kami para pemuda cuma bisa berusaha melindungi yang punya hajat dari civil war.
Setelah rapat usai, keputusan sudah diambil, tugas dibagi, jalannya acara sudah direncanakan dengan matang, tibalah saat eksekusi. Sudah pasti jaminan ambyar, apa lagi kalau bukan karena gerombolan sobat sakit hati dan iri dengki. Sosok yang sakit hati akan menggunakan teknik sabotase yang menjijikkan dan bikin yang punya rumah remuk redam. Tukang sabot sendiri sebenarnya ada dua macam, yang kecewa karena nggak dianggap dan yang iri dengki. Namanya juga tetangga, ya tho?
Mulai dari saat tenda dipasang. Si tukang sabot akan mengompori yang punya rumah di depan panitia yang lain. Mulai dari menyarankan tambah tenda, mengganti tenda yang lebih bagus, sampai minta diadakan live music alias dangdutan. Tentu panitia yang sudah kongkalikong dengan si tukang sabot langsung ngomong setuju. Tak jarang, karena malu dan gengsi, tentu saja yang punya hajat terpaksa menuruti. Saat tuan rumah bingung soal dana, si tukang sabot cuma ngomong, “Rezeki ada yang ngatur, percaya saja,” sembari senyum tersungging. Ujung-ujungnya dia kabur setelah acara usai, nggak mungkin doski minjemin, apalagi ngasih. Kasihan yang punya hajat, mumet.
Jika cara sabot semacam itu tak berhasil (biasanya karena tuan rumah tak peduli gengsi) para tetangga yang berbakat iri dengki dan punya naluri rasan-rasan tingkat tinggi dimanfaatkan. Mereka akan ngolo-olo atau menjelek-jelekkan hajatan itu. Kadang hanya lewat hoaks dan membesar-besarkan masalah kecil. Sayangnya, banyak yang percaya dan akhirnya nggak mau ikut rewang atau bantuin hajatan. Para sinom atau para pemuda pramusaji jadi nggak kompak. Tentu karena ada yang ikut gabung ke kubu tukang sabot dan tukang bikin hoaks. Saat acara berjalan, lebih banyak yang duduk ketimbang bantuin. Remuk redam.
Akan selalu ada pihak yang memang niat membantu, pun pihak yang berniat merusak acara. Yang paling bahaya adalah saat ada panitia yang punya tugas krusial malah mangkir karena termakan bujuk rayu si tukang sabot, atau justru memang keinginan dia sendiri. Yang begini ini yang biasanya sering terjadi. Dan biasanya justru panitia jenis ini datang dari circle keluarga yang punya hajat sendiri. Musuh dalam selimut. Eng, ing, eng banget nggak, tuh.
Panitia hajatan yang seharusnya meringankan pekerjaan yang punya gawe, malah sering kali bikin tambah pusing dan menimbulkan masalah selepas acara selesai. Sindir menyindir dan rasan-rasan antartetangga perihal hajatan itu akan terus berjalan, sepanjang hayat, mirip konflik pilihan lurah. Panitia yang niat kerja, disusupi para pengikut tukang sabot, yang akhirnya membuat kepanitiaan hancur dan nggak bisa kerja dengan baik. Hajatan yang seharusnya dijadikan sebagai lahan gotong royong, hanya dijadikan lahan gontok-gontokan tak penting.
Kepentingan pribadi akhirnya memang mengalahkan kepentingan bersama. Hajatan tetangga hancur dan para tukang sabot tinggal lempar batu sembunyi tangan. Tapi, yang paling penting, semoga saja pepatah pemerintah adalah cerminan rakyatnya, tak benar adanya. Jika rakyat yang ngawur saat jadi panitia hajatan di kampung adalah cerminan dari pemerintahnya yang ngawur saat punya hajat besar, yaitu hajat sebuah negara, bisa dibayangkan jika hajat sebesar dan sepenting itu, dipegang oleh penyelenggara yang egois, yang mementingkan diri sendiri dan kelompoknya saja. Ajur mumur!
Sumber Gambar: YouTube Co2 Palabuhanratu
BACA JUGA Gelar Hajatan Itu Nggak Wajib, Buat Apa Dipaksakan? atau tulisan Bayu Kharisma Putra lainnya.