Selama lima tahun hidup di kotanya Jan Ethes ini, saya menempati kos murah seharga 300 ribuan. Tak ada alasan khusus memilih kos seharga tiga ratus ribu rupiah per bulan bagi selain karena ramah di kantong. Yang penting aman di kantong, lah.
Kota Solo merupakan kota termurah kedua versi SUN Education Juli lalu. Biaya hidup di kota ini ditaksir Rp1,5 juta per bulan, dilansir dari Detik. Tapi, tetap saja, saya memilih kos murah, biar saya tetap irit. Lagian, saya bisa dapat banyak pelajaran hidup di kos ini. Meski, semuanya saya dapat dari pengalaman yang nggatheli.
Saya akan ceritakan betapa “menyenangkan” hidup di kos murah.
Saya akan mulai dengan fasilitas krusial di kosan: kamar mandi. Coba bayangkan, pernahkan kamu pagi-pagi ke kamar mandi, lalu menjumpai kaus kaki sudah tergantung tepat di bawah keran dan menjadi saringan air? Tentu saja saya pernah. Jadi, ceritanya, kosan saya ini memang memiliki air yang kadang keruh dan meninggalkan endapan.
Masalahnya, dari semua jenis saringan, kenapa memilih kaus kaki? Kan bisa pake kain lain gitu lho. Beli kain, apa gimana kek. Yang penting bukan kaos kaki (yang kemungkinan bekas). KENAPA?
Saya lupa memastikan apa merek kaos kakinya, saya tidak peduli. Yang saya pedulikan, apa yang ada di benak orang yang memilih kaos kaki sebagai filter. Cuk, tulung tenan iki. Yang jelas, saya enggan menggunakan kamar mandi itu beberapa hari. Beruntung kosan saya memiliki dua kamar mandi, saya memilih satu lainnya sebagai opsi. Kos murah, tapi punya dua kamar mandi, mbois iki.
Berhari-hari saya dilanda overthinking. Saya membayangkan, apakah ada yang nekat mandi dengan saringan kaus kaki itu? Apakah dia berakhir gudiken?
Saya enggak bisa membayangkan, seandainya kamar mandi lain juga disaring dengan benda yang tak jauh beda. Singlet misalnya. Wah, jelas saya akan kebingungan milih yang mana. Mungkin saya memilih untuk tidak mandi. Kalau ditanya kenapa memilih nggak mandi, akan saya jawab “PUNK OG!”
Apakah kaos kaki jadi filter air sudah puncak komedi kos murah? Oh, tentu saja tidak.
Beberapa hari lalu, di kamar mandi yang sama, saya menyaksikan sebatang sikat gigi ditemukan tenggelam di bak mandi yang sama. Berhari-hari ia nyaris tak dievakusi. Saya tak kuasa untuk mengambil segayung air pun. Si tai, anak mana yang tega-teganya meracuni penghuni lain dengan bekas karang giginya. Sialan.
Sejujurnya, saya pernah (tak sengaja) melakukan aksi serupa. Suatu malam jelang dini hari, saya tak sengaja menjatuhkan sikat gigi. Tentu, dengan pikiran dan nalar sehat, saya langsung menguras bak kamar mandi. Walau saya harus membuang berliter-liter air dini hari itu, saya cuma nggak pengin anak kosan lain keracunan bau badek sikat gigi saya. Meski kos murah, saya masih pake nurani.
Seperti yang saya bilang, hal-hal absurd itu bukanlah yang terakhir. Kejadian lain, misalnya, kosan saya ini menggunakan media sikat gigi sebagai kancing pintu. Ya, lagi-lagi sikat gigi. Padahal, soal kancing pintu ada benda lain semacam sumpit, garpu, bahkan sendok. Atau kalau mau modal dikit, beli kunci pintu yang beneran kunci pintu. Kos murah bukan berarti kikir, tolong.
Lalu bergeser ke kosan saya dua tahun lalu (sama-sama murah, kos saya mana ada yang mahal). Kosan saya yang ini, memiliki tempat pembuangan sementara (TPS) tepat di balik dinding kosan saya. Saya lebih senang menyebutnya TPL, tempat pembuangan lempar. Karena, buang sampah di kosan saya dulu cukup dengan melempar di area lahan kosong di samping kosan saya.
Hal ini awalnya bikin saya gedek-gedek, terutama saat penghuni lawas di kosan saya mempresentasikan tutorial buang sampah di samping bangunan tepat. Saya terheran-heran kala itu, terlebih, tampak tumpukan sampah mulai menggunung. Saya memastikan, kebun bu kos saya ini sudah dalam status open dumping.
Oh ya, kosan saya ini juga terkenal angker. Nggak kaget sebenarnya, penyebab suatu kos bisa jadi murah ya salah satunya karena angker. Konon, menurut penuturan penghuni senior, kos saya dulu itu merupakan mabes jin. Ya, saya awalnya tergidik mendengar itu. Beruntungnya, saya tak pernah dihantui seperti bayangan ibu kos di tanggal tua.
Saya jadi curiga, di mabes jin itu, ada jin yang kek Sambo nggak?
Namun, kosan saya itu memiliki agenda pengajian saban malam Selasa dan Jumat. Konon, pengajian tersebut adalah upaya agar para jin tidak mengganggu para penghuni. Uniknya, setelah pengajian, ada prosesi menyebar garam di daerah kos. Saya bingung, apa efek garam terhadap jin? Apakah mereka makan buah setan?
Lah kan jin, masak makan buah setan?
Tapi, selama ini saya nggak pernah terusik makhluk halus di kos murah yang saya tempati. Malah makhluk kasat matalah yang bikin saya terganggu.
***
Ada harga, ada rupa. Kalimat itu, saya rasa, akan selalu benar adanya. Kos murah, jangan pernah berharap mewah. Tapi, saya nggak menyesali itu semua. saya tak bisa berharap apa-apa dari kos murah selain dompet saya yang tak menangis. Kalau dipikir-pikir, ajaib betul pengalaman saya, dan saya yakin, kos-kos mahal nggak akan ngasih pelajaran hidup yang saya dapat di kos murah ini: kesabaran dan pentingnya akal sehat.
Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Cari Kos Murah di Jogja Ibarat Mencari Jarum di Tumpukan Jerami 10 Ton, Susahnya Minta Ampun!