Pagi tadi saya habis menyaksikan tayangan ulang SUCI IX (suci wan ex) di kanal YouTube Stand Up Kompas TV. Kali ini sudah sepuluh besar. Saya tonton satu persatu dari awal. Tidak bisa dimungkiri, kalau performa keseluruhan komika yang tampil malam itu semuanya memang bagus. Gerrr di semua punchline-punchline yang mereka lontarkan, setidaknya begitu yang saya rasakan, entah Anda bagaimana.
Enaknya nonton SUCI IX Kompas TV di YouTube, saya bisa melihat respons-respons langsung dari netizen yang telah menonton mereka. Saya iseng-iseng baca beberapa komen netizen dan menemukan hot take yang menarik. Bunyinya kurang lebih begini,
“SUCI IX ini sepertinya adalah yang terbaik dari yang sebelum-sebelumnya. Season ini yang terbaik menurut gue, komika-komikanya lucu semua. Wah, gila, sih, malem ini yang tampil pecah semua. Fix musim yang the best lah buat SUCI. SUCI IX adalah SUCI yang paling bagus sejauh ini. Perkembangan komika-komika di season ini sangat pesat.”
Namun, apa benar kompetisi SUCI IX Kompas TV bisa dikatakan yang terbaik? Parameter apa yang dipakai untuk menentukan sisi terbaik atau tidaknya suatu kompetisi SUCI kali ini? Saya coba telaah beberapa. Maaf kalau ada yang keliru, maklum saya bukan pengamat SUCI garis keras.
Pertama, dari segi tawa. Jelas ini yang menjadi titik acuan paling utama dalam kompetisi komedi. Kalau tidak ada tawa berarti komedinya nggak menarik. Dari hal ini, saya menilai ukuran tawa di kompetisi ini cukup tinggi. LPM (Laugh per Minute)-nya tebal-tebal, kadang bikin saya juga ikut terpingkal. Tapi, apakah LPM-nya benar-benar sefenomenal itu?
Bagi saya, ketiadaan penonton memang cukup krusial bagi komedian. Sebagus atau selucu apa pun komedian, perlu adanya penonton untuk merespons kelucuan yang dilontarkan. Namun sejauh ini, tawa yang diharapkan oleh komika berasal dari mana? Dari dewan juri, wabil khusus Pandji Pragiwaksono.
Seperti yang kita tahu, Pandji adalah jenis orang yang sangat mudah terhibur dan tertawa oleh apa pun saja. Dia sendiri yang pernah bilang, lupa di mana mungkin di channel YouTube-nya, kalau dirinya itu cukup rendah dalam menilai materi komedi. Hanya perlu effort sedikit untuk mendapat tawa di depan Pandji, istilahnya begitu. Namun, sekecil-kecilnya effort itu, harus diimbangi dengan materi yang bagus pula, bukan sekadar gimmick atau perilaku aneh, tapi lucu.
Lantaran kebiasaan Pandji inilah yang membuat tawa di setiap performance komika jadi tampak tebal begitu. Hanya perlu effort sedikit saja sudah bisa bikin Pandji ketawa ngakak mencak-mencak banting pulpen atau nampar-nampar Cing Abdel.
Padahal kita juga tahu, ketawa semacam itu menular ke orang di sekitarnya, seperti Cing Abdel, Radit, juri tamu, atau bahkan Uus yang seperti ketularan ngakak bukan karena kelucuan dari si komika, tetapi dari reaksi Pandji yang berlebihan.
Jadi kalau ada penonton, belum tentu bisa sebegitu tebal LPM para komika ini. Istilahnya, belum teruji lah di hadapan penonton. Apalagi penonton yang belum kenal Stand Up.
Kedua, treatment acara. Treatment acara ini adalah bagaimana format suatu acara itu dijalankan. Sejauh yang saya tau, format SUCI IX Kompas TV berbeda dengan SUCI-SUCI sebelumnya. Ia lebih santai atau yang paling santai di antara musim-musim terdahulunya. Barangkali inilah yang menjadikan para peserta rileks, kurang tekanan, seperti bukan kompetisi malahan.
Bagaimana tidak? Yang mereka hadapi di setiap performance-nya adalah orang-orang yang sebelumnya sudah mereka kenal. Dari semua komika yang lolos, praktis hanya Alex Fabry dari Belgia yang bukan berasal dari komunitas Stand Up. Sisanya, semua adalah anak komunitas yang notabene sudah dikenal baik oleh para juri. Bahkan sudah ada yang pernah mencicipi kompetisi serupa di TV sebelah. Jadi, nggak mengherankan kalau penampilan mereka agak-agak nyantai. Akhirnya, hal ini akan memecahkan tawa dengan agak lebih mudah.
Ketiga, panggung. Tidak seperti musim-musim sebelumnya, panggung SUCI IX Kompas TV kali ini lebih sempit dari biasanya. Bahkan hampir mirip ruang audisi yang agak diperlebar saja. Akibatnya, tiap-tiap ada suara ketawa itu mantulnya cepat memenuhi isi ruangan. Ambience-nya jadi lebih seru dan timbal balik dari respons juri juga cepat sampai. Hal ini bikin kadar pedenya peserta meningkat drastis dan pada seakan ia memecahkan materinya sendiri seabsurd apa pun itu.
Keempat, materi. Dari beberapa episode yang pernah saya tonton, materi paling pecah dari para komika ini adalah materi marah-marah. Hal ini dilakukan hampir oleh semua peserta. Seakan materi semacam ini seperti sudah jadi formula pasti untuk mendapat kelucuan.
Ambil contoh saja di show tadi malam (6/3), hampir semuanya memasukkan emosi marah-marah. Bahkan sekalem-kalemnya Aly Akbar pada akhirnya juga marah-marah untuk mendapatkan kelucuan.
Sementara yang nggak ngasih emosi itu? Out langsung. Lihat saja Levi Ackerman Ofsanusi, nggak ngasih elemen marah, close mic, kan?
Nah ini yang bahaya. Soalnya sadar tidak sadar ini membuat para komika tidak punya karakter khasnya lagi. Semuanya marah-marah. Iya sih lucu, tapi apa semuanya seperti itu terus akhirnya? Apa tidak bakal bosan? Ujung-ujungnya, justru ketiadaan kreativitas dalam performance mereka.
Begitulah menurut saya tentang SUCI IX Kompas TV kali ini. Saya tidak berani secara pasti untuk menyebut kompetisi ini adalah yang terbaik dari musim-musim sebelumnya. Namun, bagaimanapun saya tetap terhibur dengan komedi dari para komika yang tampil. Saya nggak mau berdebat mencari yang terbaik. Soalnya yang saya cari itu hiburan, bukan pertikaian.
BACA JUGA Punchline Dijadiin Judul Video SUCI IX Kompas TV, Menyebalkan dan Merusak Mood Penonton dan tulisan Kevin Winanda Eka Putra lainnya.