Anak Kecil Bertaruh Nyawa demi Bisa Sekolah dengan Menyeberangi Jembatan Kedungwanglu, Pemkab Gunungkidul Diam Tak Tahu Malu

Gunungkidul Berlumuran Dosa, Biarkan Anak Kecil Bertaruh Nyawa (Unsplash)

Gunungkidul Berlumuran Dosa, Biarkan Anak Kecil Bertaruh Nyawa (Unsplash)

Baru-baru ini, Gubernur DIY, Sri Sultan HB X dan Bupati Gunungkidul, Sunaryanta, meresmikan ruas jalan Tawang-Ngalang. Jembatan penghubung Kabupaten Gunungkidul-Sleman itu nantinya menjadi akses exit tol di Bokoharjo, Sleman. Tentu saja, adanya jalan ini nantinya bisa mempermudah langkah para turis yang hendak berkunjung ke objek wisata Gunungkidul maupun Sleman.

Di balik pembangunan jalan tersebut, ternyata menyimpan banyak sisi gelap. Publik tentu masih ingat, jalan penghubung Kabupaten Gunungkidul-Sleman ini harus mengorbankan Air Terjun Kedung Kandang di Nglanggeran, Patuk. Air terjun yang dulu tampak asri, indah, dan memesona itu, kini porak-poranda.

Tepat saat para pemangku wilayah sibuk meresmikan jalan Tawang-Ngalang kemarin, ada warga yang tinggal di Banyusoco, Playen, Gunungkidul, terisolir akibat jembatan penyeberangan tenggelam karena banjir. Nyaris setiap musim hujan datang, warga harus bertaruh nyawa ketika menyeberang di jembatan bernama Kedungwanglu itu.

Janji-janji dari pemangku wilayah yang ingin memperbaiki Jembatan Kedungwanglu dari tahun ke tahun terus dikumandangkan. Tapi sampai sekarang, akses jalan utama warga yang menghubungkan ke luar dusun itu nyatanya (tetap) tenggelam saat musim hujan.

Kondisi jembatan Kedungwanglu yang tetap terabaikan

Ya, hujan deras yang mengguyur Bumi Handayani belakangan ini seperti 2 mata pisau bagi warga Dusun Kedungwanglu, Desa Banyusoco, Playen, Gunungkidul. Di balik senyum semringah warga melihat biji-biji kacang di ladang yang sudah mulai tumbuh, ada perasaan was-was ketika harus melintas di jembatan crossway sepanjang 50 meter itu.

Seolah jadi agenda tahunan, setiap kali musim penghujan tiba, sungai Prambutan dan Sungai Oya di dusun ini akan meluap, lalu menelan jembatan Kedungwanglu. Mojok sendiri pernah meliput kondisi memprihatinkan ini.  Liputan yang ditulis Mas Hammam Izzuddin itu mengabarkan bahwa jembatan dengan lebar sebadan kendaraan roda 4 ini jadi satu-satunya akses warga Kedungwanglu yang hendak keluar dusun. Jadi, ketika hujan deras, sudah dipastikan jembatan akan tenggelam dan menghambat aktivitas warga.

Melihat kondisi yang amat sangat membahayakan ini, sebenarnya warga sekitar tidak tinggal diam. Sudah lama mereka mengeluhkan keadaan jembatan Kedungwanglu saat musim hujan. Bahkan, warga juga sering diajak diskusi oleh pemangku wilayah setempat untuk membahas perbaikan jembatan. Tapi sesuai prediksi, yang tersisa hanya wacana dan retorika semata.

Sampai sekarang, warga dibiarkan tetap bertaruh nyawa ketika menyebrangi jembatan. Sungguh omong kosong yang sering dipertontonkan pemilik kebijakan di hadapan warga sekitar.

Warga bukan prioritas utama bagi Pemkab Gunungkidul?

Melihat kondisi yang kini sedang dialami dulur-dulur di Dusun Kedungwanglu tentu menyesakkan dada. Selain terisolir akibat banjir, bertahun-tahun mereka juga harus mendengar janji-janji palsu pemerintah setempat yang tak kunjung merealisasikan perbaikan jembatan. Ya, Pemkab Gunungkidul kini terang-terangan tutup mata dengan keadaan mendesak yang seharusnya mendapat perhatian.

Ironi memang. Proyek-proyek nggak penting bin mubazir kayak pengurukan Alun-Alun Gunungkidul memakai pasir, pembangunan Taman Kota, hingga Tugu Tobong Gamping, terus-menerus dibanggakan oleh Pemkab. Sementara kebutuhan krusial kayak perbaikan jembatan Kedungwanglu, justru (semakin) terabaikan. Bukankah ini jadi bukti nyata kalau kebutuhan warga bukan lagi prioritas utama?

Di musim penghujan seperti sekarang, seharusnya warga Kedungwanglu banyak beraktivitas di sawah. Namun, karena kondisi akses jalan yang memprihatinkan, pekerjaan warga masyarakat jadi terhambat.

Selain itu, meluapnya sungai yang menutupi jembatan ini juga berdampak kepada siswa-siswi yang hendak pergi ke sekolah. Anak-anak yang seharusnya nyaman, tenang, dan riang gembira, harus was-was bertaruh nyawa saat musim penghujan tiba.

Lalu, ke mana perginya para penguasa saat warga membutuhkan perannya? Apa gunanya pesta 5 tahunan yang menghabiskan anggaran triliunan rupiah itu?

Kebanyakan janji, nggak ada aksi

Saya cukup yakin dan percaya ketika ada masalah seperti ini, Pemkab Gunungkidul langsung meninjau lokasi. Pemangku wilayah akan datang menunjuk jembatan dengan jari telunjuk dan memotret kondisi jembatan. Janji-janji pun diobral di hadapan warga sekitar. Tapi, ya, sebatas itu saja, ujung-ujungnya rencana perbaikan jembatan berakhir tanpa kepastian.

Saat warga merasa gamang dengan masa depan anak-anaknya, Pemkab Gunungkidul malah sibuk membangun proyek-proyek nirfaedah yang eksploitatif. Padahal, harapan warga sejatinya amat sangat sederhana. Masyarakat hanya ingin menyeberang di jembatan dengan tenang tanpa rasa khawatir yang berlebihan. Warga hanya ingin melihat anak-anak mereka pulang sekolah dengan senyum semringah, bukan kondisi yang berpotensi bikin trauma.

Yah, barangkali sudah risiko jadi rakyat kecil. Kemarin, saat Raffi Ahmad punya keinginan bikin beach club di Pantai Krakal, tanpa pikir panjang, Pemkab Gunungkidul gerak cepat memenuhi ambisi investor kaya raya itu. Tapi, warga Kedungwanglu yang sudah bertahun-tahun menginginkan perbaikan jembatan, selalu tutup mata dan terus diabaikan. Lupa daratan, Pak?

Itulah kenyataan pilu yang setiap tahun dihadapi warga Kedungwanglu. Ketika para wakil rakyat sibuk memasang baliho bernilai ratusan juta di sepanjang jalan raya, hanya untuk bersekolah dan cari makan saja, warga Kedungwanglu harus bertaruh nyawa. Sebuah ironi yang kini terjadi di Bumi Handayani.

Penulis: Jevi Adhi Nugraha

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Resort and Beach Club Gunungkidul: Raffi Ahmad Semakin Kaya, Warga Setempat Tetap Merana

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version