Tengah malam saat saya sudah hampir memejamkan mata, muncul notifikasi berita : Gundala capai satu juta penonton! Waw. Kebetulan saya yang saat itu belum nonton mendadak menggumam “Sebagus apa sih? sampai perlu diberitakan malam – malam begini.”
Maklum saya mahasiswa, hidup di kos dengan pembiayaan hidup yang begitu terbatas. Sehingga untuk menikmati sebuah film – mohon maaf – saya harus menunggu film bajakan. Hanya beberapa film saja yang memang saya haruskan untuk ditonton di bioskop. Salah satunya film produksi Marvel Cinematic Universe dengan superhero Avengers kebanggaannya.
Atau jika tidak, saya benar-benar akan menyeleksi film yang reviewnya benar-benar bagus dan positif. Yah, paling tidak minim perdebatan di media sosial, komentar di youtube, atau di kalangan teman – teman saya sendiri. Bumi manusia yang hype kemarin saja saya tidak nonton, apalagi Gundala. Hehe.
Berita malam itu saya baca dan beberapa diksi mengatakan bahwa ketakutan Joko Anwar sebagai sutradara sekaligus penggagas genre film baru di Indonesia tersingkap sudah. Penobatan satu juta penonton Gundala menurutnya menandakan bahwa masyarakat bisa menerima kehadiran film lokal ala – ala Marvel ini.
Yah mungkin karena perfilman Indonesia masih banyak berkutat dengan gimmick cinta remaja, komedi, atau horror. Paling mentok mungkin film bela diri seperti The Raid dan Headshot. Gundala disini dimitoskan hadir sebagai genre lain dan baru.
Keesokan harinya. (maaf sepertinya artikel ini akan menjadi cerpen)
Menanggapi berita yang saya barusan baca tadi malam, saya pun bertanya kepada rekan yang kebetulan sudah menonton Gundala. Kebetulan juga dia merupakan fans superhero Marvel seperti saya. Eh, ternyata dia malah memberikan saya saran agar tidak menonton film itu. Dan memberikan tambahan survey rating Gundala menurut dia hanya 3/10. Teman lain memberikan rating yang sedikit lebih bagus yakni 4/10. Saya hanya berdesis.
Mereka kemudian memberikan komentar bahwa Gundala merupakan adaptasi dari The Flash. Alur filmnya kata mereka agak dipaksakan mirip dengan Avengers dari MCU. Sedangkan tren pengambilan gambarnya digambarkan terlalu dark. Tentu mereka menyebut bahwa tren ini seperti film Batman dari DCEU. Oke, disitu saya masih menghibur diri dan berkata mungkin saya salah menanyai orang.
Jadi mereka ini adalah fans garis keras superhero MCU. Sehingga ketika Gundala — film dengan budget 30 M dan film Indonesia sebelumnya tidak mempunyai prestasi CGI yang bagus – disamakan dengan Avengers, The Flash, atau Batman, saya tidak setuju. Tidak apple to apple.
Kemudian saya mencoba mengklarifikasi cerita teman saya lewat google. Kata kunci Gundala menghasilkan 4.960.000 hasil. Saya pun mulai membaca review dan berita satu per satu. Dari semua urutan review film yang saya baca, hampir tidak ada yang mengatakan Gundala jelek. Semua komentar penulis adalah positif.
Rata – rata mereka menyebutkan bahwa film ini digarap sangat apik meskipun ada beberapa yang miss seperti aksi bela diri yang dikatakan seperti hafalan dan lain sebagainya.
Saya pun mencoba berpindah ke laman youtube. Biasanya di youtube akan banyak review – review yang jujur dari hati pemirsa yang paling dalam. Ada beberapa youtuber a.k.a pakar film yang mungkin memberikan komentar negatif terkait naskah, alur, latar, dan lain sebagainya. Tapi saya kira orang yang awam film seperti saya tidak akan tahu – menahu tentang teknik pengambilan video seperti pengungkapan pakar itu.
Karena saya masih mengira para youtuber ini terlalu narsistik dan pembahasannya terlalu abot untuk orang awam, saya pun membaca kolom komentar. Mulai dari komentar di trailer film hingga komentar – komentar di banyak review film Gundala. Alhamdulillah menurut saya, semua komentar di laman youtuber itu 80 % positif. Bahkan ada yang sampai rela menonton dua sampai tiga kali.
Dan satu hal yang mereka ungkapkan adalah, Gundala sangat layak tonton!
Oke, bermodal uang pas – pasan dan harapan bahwa Gundala melebihi ekseptasi, saya pun memberanikan diri membeli tiket dan menonton film itu dua jam lamanya. Bersama rekan, saya di dalam bioskop berkali – kali cengar – cengir dan kagum. Bagaimana tidak ? Joko Anwar berhasil membuat saya tertawa sekaligus hampir menangis.
Gundala benar – benar memberikan plot yang sekelas dengan film MCU. Pembangunan karakter tiap tokoh diceritakan sangat halus dan kuat. Soundtrack dan pengambilan gambar sangat pas. Sama dengan soundtrack Avengers yang khas di telinga semua orang, Gundala pun begitu, mempunyai ciri khas soundtrack ala Gundala. Apalagi ketika ki Wilawuk dibangkitkan kembali oleh cucunya. Semua adegan dan pembicaraan di scene itu menurut saya sangat indah.
Joko Anwar disini menurut pemahaman saya memang berniat menceritakan kehidupan Sancaka dari kecil sampai menjadi superhero dengan detail. Bahkan saking detailnya, pembuatan kostum Gundala pun sampai di-shoot. Betapa pada saat itu Gundala masih menggunakan ban bekas yang dililitkan di beberapa tubuhnya dan jaket bekas dengan alasan agar Pak Agung dan Wulan tidak kesetrum.
Konsep besar film ini saya kira masih sama dengan MCU dimana seorang Nick Fury berhasil menemukan dan menyatukan semua superhero menjadi satu. Saya kira Ridwan Bahwi, seorang legislator di film Gundala pun akan berperan sama dengan Nick Fury. Pengenalan tokohnya pun menurut saya juga masih sama dengan MCU. Begitu pula tentang pengembangan alur.
Jadi, siapapun yang telah menonton film produksi MCU pasti akan bisa memahami film Gundala secara komprehensif. Namun memang, pengembangan alur dan pengenalan tokoh di Gundala belum se-perfect MCU.
Saya sempat bosan di tengah-tengah film karena terlalu banyak adegan perkelahian dan lari-lari. Dan semua gerakan perkelahiannya sama, dari awal hingga akhir. Saya sampai hampir kecewa dengan Gundala. Karena hingga 1,5 jam lamanya, Sancaka belum menunjukkan kekuatan petirnya. Ia masih berkelahi secara manual.
Untung saja di 20 menit terakhir, Gundala sudah mulai berkelahi dengan komplotan Pengkor dan bisa menunjukkan kekuatan petirnya. Bahkan saya juga dibuat terpesona dengan seorang wanita yang bisa menghancurkan mobil dengan libasan selendang. Dan ternyata wanita itu adalah Sri Asih, superhero yang akan membantu Gundala yang akan dikenalkan di film solo Sri Asih 2020 mendatang.
Sampai disini, saya kembali bergumam. Sayang, film ini tidak mempunyai klimaks yang greget. Penyelesaian masalahnya juga terlalu simpel. Durasi 20 menit terakhir digunakan Joko Anwar untuk mengantarkan Sancaka kepada puncak konflik film sekaligus penyelesaiannya.
Dari awal saya juga menemukan beberapa miss seperti plat nomor yang jelas menunjukkan tahun 2020 dan penggunaan ponsel pintar. Padahal film itu berlatar tahun 1960-an. Di film Captain Marvel saja, Nick Fury masih menggunakan hape tebal layar kuning. hehe
Sama seperti film-film MCU, Gundala juga menyisakan banyak pertanyaan. Sepertinya, Joko Anwar sudah berhasil membuat saya dan penonton lainnya penasaran agar mau nonton lanjutan filmnya. Memang cerdik sekali dia. 8/10 lah rating dari saya, Pak.
Di tengah malam setelah menonton Gundala, membaca prediksi cerita setelahnya, dan menuntaskan rasa penasaran saya, handphone saya kembali mendapat notifikasi berita : Gundala bersaing dengan Joker di Toronto International Film Festival! Saya pun tersenyum tipis dan tertidur lelap. (*)
BACA JUGA Sancaka di Gundala: Penyebar Virus Literasi dari Jagat Sinema Bumilangit atau tulisan Muhammad Ulul Arham lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.