Sejak pertengahan tahun 2017, setiap kali saya datang ke toko buku besar di mal, saya selalu menyempatkan diri untuk berdiri di depan rak buku-buku klasik. Karena biaya tugas kuliah yang bikin dompet serak karena keseringan teriak, saya nggak selalu ke toko buku buat beli buku. Kadang, saya datang keliling toko buku cuma buat hiburan kalau lagi sedih aja dan bikin daftar buku yang mau dibeli kalau saya sudah punya cukup uang.
Waktu itu, buku klasik pertama yang saya beli adalah “Alice’s Adventure in Wonderland” yang satu paket dengan “Alice Through The Looking Glass” dan buku Johanna Spyrie, “Heidi”. Alasan saya beli kedua buku itu adalah karena waktu pertama saya nonton Alice dan Heidi, saya masih sangat kecil. Saya sudah lupa plot intinya dan cuma ingat fragmen-fragmen memori tentang film-film itu yang berceceran. Jadi, saya mau bernostalgia saja.
Tidak disangka. Saya jadi sangat suka betapa Lewis Carroll menulis sebuah mimpi buruk yang indah banget. Juga wkatu saya baca Heidi, buat pertama kalinya saya ngerasa bahagia yang benar-benar bahagia di sepanjang saya baca buku itu. Sejak baca Heidi, saya jadi punya cita-cita buat menghabiskan masa tua tinggal di New Zealand sambil ngangon kambing aja.
Beberapa bulan kemudian waktu saya sudah punya cukup uang buat beli buku baru, saya beli kumpulan dongeng klasik berjudul “Classic Treasury Bedtime Stories.” Sampul bukunya berwarna biru muda. Waktu baca buku itu saya mulai ngerasa beberapa cerita dongeng klasik itu gelap dan sebaiknya memang dibaca kembali oleh orang dewasa.
Cerita pertama yang bikin saya semakin jatuh cinta sama buku dongeng klasik adalah dongeng dengan judul “The Wise Girl”. Dongeng itu manis banget tapi juga nggak menunjukkan karakter perempuan yang lemah. Terus di buku itu saya kenalan sama Nesreddin Hodja, karakter dari dongeng Turki. Juga Nicolas Flamel, yang dulu cuma pernah dengar di film Harry Potter pertama.
Antusiasme saya sama cerita dongeng klasik berlanjut sampai bulan-bulan berikutnya. Buku selanjutnya yang say abaca adalah buku kumpulan dongeng dengan judul “English Fairy Tales”. Di buku ini, baru deh beneran kerasa ngeri-ngerinya cerita dongeng klasik.
“Jack and The Beanstalk”, “The Three Pig”, “The Boy Who Cried Wolf”, dan “Hansel and Gretel” kayaknya nggak begitu asing di telinga kebanyakan orang seusia saya. Tapi “The Black Bull O’Norroway”, “The Rose Tree”, “Tomtitot (Rumplestiltskin)”, dan “Blue Beard” sepertinya tidak banyak dari orang-orang seumuran dengan saya yang tahu tentang cerita-cerita itu.
“The Rose Tree” bercerita soal seorang anak gadis cantik yang dibunuh ibu tirinya sendiri di suatu musim salju. Ayah dan kakak laki-laki gadis itu cuma diberitahu kalau gadis itu hilang di hutan waktu mencari kayu bakar. Daging gadis itu dijadikan bahan untuk makan malam keluarga tersebut dan belulangnya dikubur di halam belakang.
Di tanah tempat tulang tersebut dikubur, tumbuhlah sebuah pohon mawar. Cerita tersebut ditutup oleh sebuah sajak yang selalu membuat saya bergidik merinding ketika membacanya.
“The Black Bull O’ Norroway” bercerita soal seorang pangeran yang dikutuk menjadi manusia banteng yang buruk rupa. Seorang gadis kasihan dan menemani perjalanan manusia banteng tersebut untuk mencari penyihir yang mengutuknya. Di perjalanan, gadis tersebut mencium sang manusia banteng dan kutukan tersebut lenyap. Ia kembali ke sosok aslinya; seorang pangeran tampan.
Setelah kutukan tersebut hilang, ia izin kepada gadis itu untuk melanjutkan perjalanan sendiri mencari si penyihir jahat dan membunuhnya. Tapi bertahun-tahun pangeran yang dulunya manusia banteng tidak kunjung kembali. Sang gadis memutuskan untuk melakukan perjalanan ke seluruh negeri untuk mencari sang pangeran. Dan ketika bertemu, sang pangeran sudah menikah dengan seorang putri bangsawan. Setiap malam, sang gadis akan menyanyikan sajak. Sajaknya sedih banget.
Tidak cukup sampai di situ, rasa penasaran saya terus berlanjut dan saya akhirnya saya beli buku “The Land of Stories” dimana dongeng-dongeng klasik seperti dongeng karya Hans C. Andersen dan Brothers Grimm ada di sana.
Di sana, ada tiga cerita yang ternyata cukup berbeda dengan apa yang selama ini kita tonton dari Disney.
The Little Mermaid di cerita Disney itu tidak mati. Di cerita aslinya, perjanjian ketika The Little Mermaid meminta sepasang kaki, selain lidahnya yang dipotong sehingga tidak bisa menyatakan perasaan ke pangeran adalah jika perasaan itu tidak terbalas, maka The Little Mermaid harus terjun ke lautan dan menjadi buih. Dan disaksikan oleh saudara-saudaranya yang memotong rambut, The Little Mermaid melompat, jadi buih di lautan, menuntun perempuan lain agar tidak mengulangi kesalahannya.
“Cinderella”. Selama ini, saya selalu mengira kalau Cinderella itu makhluk lemah dan manja. Ternyata, Cinderella nggak pernah bermimpi buat jadi istri pangeran. Mimpinya dia sesimpel pengin pergi ke pesta dansa.
Dongeng terakhir yang mau aku bahas di sini adalah “Rapunzel”—yang di film Disney menjadi “Tangled”. Di cerita aslinya, orangtua Rapunzel itu petani miskin biasa. Waktu ibunya lagi hamil, dia ngidam kol tetangga yang bagus banget. Ayahnya Rapunzel nyuri kol itu dari rumah tetangga karna dikira rumah itu kosong. Eh, taunya ada penyihir di dalemnya. Terus, penyihirnya marah soalnya kol yang dicuri itu namanya Rapunzel, obat buat orang buta dan botak.
Saya lupa kenapa Rapunzel sampai bisa dikurung di menara di cerita versi buku itu. Yang pasti, waktu proses Rapunzel kabur sama anak laki-laki dari menara, kejadian di buku itu nggak se-romantis dan se-heroik film Disney. Di sana, mereka jatuh dan mata anak laki-laki kena batu tajam dan jadi buta. Nah, lanjutannya saya lupa lagi hehe. Kalau mau lengkap, beli aja bukunya.
Dari semua buku dongeng yang saya baca selama tiga tahun terakhir, saya sampai di kesimpulan kalau buku dongeng itu sebenarnya buat orang dewasa. Atau, sebaiknya orang dewasa baca ulang buku dongeng klasik. Teman saya pernah bilang, “Pesan di buku dongeng itu klasik tapi basic.”
BACA JUGA Rasanya Punya Mantan yang Menikah dengan Sahabat Sendiri atau tulisan Vini Salma Fadhilah lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.