Memperdebatkan kelayakan gaji di Jakarta nggak akan pernah selesai karena standar hidup seseorang memang berbeda-beda. Boleh jadi si A bilang gaji Rp5 juta cukup layak, tapi si B berkata gaji Rp10 juta masih kurang. Selama parameternya adalah individu-individu yang keinginannya beragam, memperdebatkan kelayakan gaji di Jakarta sia-sia belaka.
Tetapi, di negara kita sebenarnya ada yang namanya standar komponen kehidupan layak (KHL) yang pernah digunakan untuk menghitung jumlah besaran upah minimum atau biasa kita kenal dengan nama UMR. Sederhananya, upah minimum adalah gaji paling rendah yang bisa digunakan seseorang untuk bertahan hidup di kota tersebut.
Tahu KHL, kan? Nggak tahu? Aduh, makanya sesekali ikut demo buruh gitu, lho. Jangan ngeluh mulu, apalagi marah-marah ketika ada buruh menuntut kenaikan UMR. Meskipun kita bekerja di depan laptop dengan pendingan ruangan, selama setiap bulan masih menunggu transferan gaji dari perusahaan, status kita adalah buruh. We are working class, Gaes.
Penentuan KHL sebenarnya memiliki standar paten, meskipun hal tersebut sering kali dilanggar oleh pemerintah. Ada sekitar 64 komponen KHL yang digunakan untuk standar hidup layak satu orang (baca: lajang). Saya nggak akan menyebutkan semuanya karena banyak sekali, tapi secara garis besar meliputi sandang, papan, pangan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi.
Masalahnya, untuk urusan papan, biaya yang dihitung adalah biaya sewa rumah atau kos, bukan biaya membeli rumah. Misalnya di Kota Surabaya biaya mencicil rumah adalah Rp4 juta per bulan dan biaya kos adalah Rp1 juta per bulan, maka perhitungan nilai KHL diambil dari biaya kos yaitu Rp1 juta per bulan. Itulah kenapa selama gaji kita masih UMR tanpa pemasukan lain, kita bakal kesulitan membeli rumah di kota tersebut. Percaya saya, hal ini nggak hanya terjadi di Surabaya ataupun Jakarta. Kalian tinggal di Jogja yang katanya murah, tapi kalau pendapatan per bulan hanya UMR Jogja, sampai Valentino Rossi kembali ke MotoGP pun rasanya rumah nggak akan terbeli.
Biaya pendidikan dalam komponen KHL ini juga bukan dihitung berdasarkan biaya pendidikan formal dan non-formal, melainkan peralatan pendukung pendidikan seperti buku bacaan dan tabloid. Kalau kita mau menyekolahkan anak dengan gaji UMR, bersiaplah mengkis-mengkis, Sayangku. Sementara biaya pangan umumnya meliputi beras dan kebutuhan pokok lain yang besarannya mengacu pada harga di pasar tradisional kota tersebut.
Lain lagi dengan kesehatan. Komponen kesehatan dihitung bukan berdasarkan biaya ketika kita sakit atau berobat ke rumah sakit, melainkan hanya biaya agar tubuh kita nggak terkena kuman, seperti biaya membeli sikat gigi, sabun mandi, sampo, obat anti-nyamuk, dan pembalut. Jika ingin melihat detail komponen KHL 2020, kalian bisa melihatnya di sini.
Nah, semua kebutuhan tersebut dijumlah dan nantinya ketemu angka yang akan menjadi acuan standar minimum hidup layak di masing-masing kota dan kabupaten, lalu diketok menjadi UMR. Sebut saja di Surabaya UMR-nya Rp4,3 juta, Jogja Rp1,8 juta, DKI Jakarta Rp4,6 juta, Cikarang Rp4,7 juta, dan seterusnya. Penentuan penghitungan KHL untuk kenaikan UMR inilah yang selalu dituntut buruh setiap tahunnya. Logikanya, setiap harga naik harusnya nominal di KHL juga naik, kan? Dan UMR-nya pun ikutan naik.
Meskipun kalian mungkin pernah mencibir buruh yang sedang demo, nyatanya dalam negara yang masih mengusung asas ekonomi kapitalisme, buruh adalah kaum yang bisa mematikan rantai produksi dan membuat perusahaan merugi. Perjuangan buruh menuntut kenaikan UMR setiap tahuannya yang meskipun kadang hanya naik sedikit, tetap saja kita ikut menikmatinya. Bukankah jika UMR naik, gaji kalian juga ikutan naik? Kalau nggak, ya protes. Berarti perusahaan kalian nggak mengikuti aturan dan bisa mendapatkan sanksi karena melanggar UU Ketenagakerjaan.
Lantas, apakah gaji di Jakarta Rp5 juta per bulan sudah layak? Ya kalau melihatnya dari komponen hidup layak yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 14 tahun 2012 yang mengacu pada pasal 88 ayat 4 Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2003 yang sudah kita bahas di atas, gaji Rp5 juta tentu saja layak banget. Ha wong standar hidup layak versi pemerintah didefinisikan dengan kehidupan seorang lajang yang nggak bisa nyicil rumah dan harus menjalani hari dengan ikhlas, kok. Pokoknya asal masih bisa bernapas dan masih hidup di bulan berikutnya, deh.
Namun, tahukah kalian kalau standar komponen hidup layak (KHL) yang nggak manusiawi dan mengenaskan tersebut masih tega dihapus oleh pemerintah pada tahun 2021 kemarin? Sejak UU Cilaka (Cipta Kerja) disahkan, ada batas atas dan batas bawah dalam skema penentuan UMR sehingga membuat nasib kita (buruh) makin susah saja karena nggak lagi diajak urun rembuk dalam skema KHL. Lantas, gimana cara negara tahu gaji rakyatnya layak atau nggak layak kalau survei KHL-nya ditiadakan? Ya suka-suka pemerintah saja.
Saya kira, pertanyaan lain yang tak kalah penting bukan soal layak atau nggak layaknya gaji Rp5 juta di Jakarta. Karena siapa pun tahu kalau uang Rp5 juta di Jakarta jelas nggak cukup untuk hidup layak kecuali skema layak versi negara. Masalahnya, meskipun banyak orang sambat soal gajinya di Jakarta nggak cukup dan sederet keluhan lainnya, kenapa masih banyak orang merantu ke sana dan jumlahnya terus meningkat setiap tahunnya?
Jawabannya tentu saja bukan karena standar gajinya yang sudah layak. Melainkan karena banyak orang nggak punya pilihan lain. Masalah banjir, kemacetan, kriminalitas, uyel-uyelan di Stasiun Manggarai, dan udara Jakarta yang berpolusi dirasa masih “sebanding” oleh pekerja daripada kelaparan lalu mati.
Akhir kata, cukup atau nggak cukup gaji memang tergantung kita. Tapi, standar kelayakan yang manusiawi (baca: bisa membeli makanan sehat, membeli rumah, dan membiayai anak sekolah) adalah tanggung jawab negara. Negara harus memastikan agar hal-hal tersebut bisa diperoleh seluruh pekerja Indonesia.
Penulis: Tiara Uci
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Gaji Tidak Dibayar oleh Perusahaan, Apa yang Harus Dilakukan Karyawan?