Buat yang sering pakai fitur close friend Instagram, sudah dicek betul teman-temannya yang berada dalam daftar tersebut?
Saat ini, selain berfungsi sebagai media sosial, Twitter menjelma menjadi salah satu sumber utama penghasil informasi yang bersifat huru-hara. Nggak penting informasi yang diperbincangkan bermanfaat atau tidak, yang penting ikut meramaikan dan membahas hal serupa, seperti yang muncul pada kolom trending dengan berbagai alasan beserta tujuannya.
Nggak percaya? Oke. Saya mau sedikit bercerita.
Baru-baru ini—bahkan, masih sangat baru—ada sepasang publik figur yang posting video cipokan tipis-tipis di salah satu platform media sosial menggunakan fitur close friend. Nggak perlu, lah, saya sebutkan siapa publik figurnya. Toh, dengan inisiatif yang tinggi, kalian pasti sudah tahu siapa sosok yang dimaksud.
Tanpa sepengetahuan mereka berdua, video tersebut akhirnya tersebar, dinikmati khalayak, sekaligus dirujak oleh warganet yang tingkat kebenarannya sudah berada pada level adiluhung. Pokoknya, apa pun komentarnya, bagaimana pun model dan susunan kalimatnya, hampir bisa dipastikan selalu benar.
Ada yang berkomentar soal moral, ada yang langsung menyerang personal, nggak sedikit juga yang menyalahkan si cepu oportunis hanya demi konten semata, dan secara tidak langsung, berkhianat terhadap label “close friend” yang sudah kadung ditempelkan oleh si publik figur.
Saya nggak akan bahas soal cipokan tipis-tipis yang dilakukan oleh si publik figur. Itu, sih, urusan mereka masing-masing. Justru ada dua poin yang bisa menjadi highlight utama.
Pertama, kok bisa, sih, seseorang yang dimasukkan ke dalam daftar close friend, menjadi cepu dadakan hanya demi mengejar konten? Begini. Siapa pun yang memasukkan kalian ke dalam gelembung close friend, secara nggak langsung percaya, lho, sama kalian. Kalian dianggap teman terdekat, cukup dikenal, dan dirasa asyik atau nggak rese ketika orang tersebut pengin posting apa pun. Utamanya yang masih berkaitan dengan hal personal.
Kedua, kok ya masih belum kapok juga posting video cipokan tipis-tipis atau yang sejenis melalui media sosial? Ya, gimana ya. Sulit dimungkiri, saat ini, video yang seperti itu lagi banyak-banyaknya tersebar di media sosial. Dianggap cringe sekaligus jadi bahan bulan-bulanan atau meme. Dalam hal ini, memang sulit betul melawan kegesitan para netizen yang gercepnya naudzubillah setan. Bahkan, bisa melebihi kecepatan kilat.
Belum lagi perpaduan cepu oportunis dengan segala motifnya dan kegesitan pencarian warganet. Suwer, bikin persoalan jadi makin ruwet dan meleber ke mana-mana. Hasilnya malah jadi abu-abu. Apakah kejadian seperti itu termasuk ke dalam konsekuensi, atau malah musibah gitu.
Sulit disangkal bahwa mau bagaimana pun, sampai kapan pun, fitur close friend tidak akan pernah memberi jaminan menghasilkan trusted friend. Apalagi, konten yang di-posting bisa disimpan oleh siapa pun mereka yang tidak bertanggungjawab, lalu re-upload, ealah ujung-ujungnya malah bisa ditonton oleh siapa pun di luar fitur close friend. Lha, gimana. Percuma dan kesia-siaan itu nyata adanya, my friend. Fitur close friend menjelma sebagai salah satu contohnya saja.
Di sisi lain, kita juga nggak pernah bisa membatasi gerak-gerik banyak orang untuk tidak melalukan ini dan itu. Apalagi untuk sekadar melarang jangan menyimpan atau re-upload suatu konten, meski tergolong privasi sekalipun. Kecuali, sadar akan konsekuensi. Termasuk melebar ke ranah hukum. Tentu saja, itu menjadi persoalan lain.
Saran saya, Mbak, Mas, atau siapa pun kalian yang pengin coba-coba sekaligus penasaran, bagaimana sensasi yang didapat setelah posting konten cringe dan iyuh-able, lebih baik urungkan niat tersebut jika tidak siap dengan sanksi sosial dan/atau sanksi digital yang akan dihadapi. Dijadikan meme, masuk ke kolom trending topic untuk hal yang tidak prestisius, belum lagi rekam jejak digital yang abadi. Bisa disimpan siapa pun, diakses kapan pun, lalu di-posting kembali di waktu yang tidak pernah tepat—di masa mendatang.
Bukan berarti jika kalian siap dengan segala konsekuensinya, langsung petantang-petenteng dan merasa ada backing di jagat perkontenan. Jika kalian masih ngeyel, ingat selalu momen di mana kebijakan pemerintah saja bisa berganti seiring dengan bising dan kompaknya suara rakyat yang digaungkan di jagat maya dan nyata. Apalagi kalian.
Gerak-gerik cepu di internet dan trusted friend memang selalu menjadi dua hal yang sulit diterka arah keberpihakannya. Sekarang, ya tinggal bagaimana kita menjadi pengguna media sosial sekaligus konten moderator yang baik bagi diri sendiri. Masa hal sederhana seperti itu saja harus diajarin, sih. Eh, atau memang perlu?
BACA JUGA Membully Zara Adhisti Tidak Sama dengan Membela Kekeyi: Keadilan Sosial bagi Seluruh Warga Good Looking dan artikel Seto Wicaksono lainnya.