Pepatah yang berbunyi citra bangsa ditunjukkan oleh aksi generasi mudanya cukup mengusik saya belakangan ini. Saya tidak punya masalah dengan anak muda karena saya juga anak muda. Namun, saya dan banyak warga negeri ini rasanya juga sama-sama berang dengan ulah Ferdian Paleka dengan aksi prank yang tidak ketulungan pekoknya. Mau dibawa ke mana masa depan negeri ini kalau tidak sedikit populasi manusia macam Ferdian Paleka. Ferdian-nya sih cuma satu. Tapi orang yang ngesubscribes YouTube-nya jumlahnya nggak sedikit lho. Mereka yang suka dan bersimpati dengan channel YouTube Ferdian Paleka sama saja mendukung aksi bocah tengil ini.
Sejak tahun lalu yang namanya prank memang banyak disoroti netizen. Mojok pun pernah memuat artikel berisi prank. Tapi kok bisa prank yang nggak penting ini semakin membudaya? Jujur saja saya geli melihat pola pikir kepala anak milenial yang isinya cuma kontan-konten kontan-konten melulu… gitu terus sampai West Ham United juara Liga Champions. Konten kreatif nan edukatif sih nggak masalah, lha nek kontene nggapleki tur nggak berfaedah seperti yang ditunjukkan Ferdian yo remuk bakule slondok, lur.
Saya menyoroti Ferdian Paleka dari kacamata lain. Dia saya anggap patut diwaspadai karena kombinasi sikapnya menunjukkan gejala yang nggak enak dari sisi sejarah. Kenapa saya menyoroti dari sisi sejarah? Pertama, karena dari sejarah kita bisa belajar banyak hal. Kedua, karena saya guru sejarah. Ketiga, karena belum ada yang nulis materi dari sudut pandang ini. Kata orang Prancis, L’Histoire se répète, sejarah selalu berulang. Secara kronologi, saya melihat aksi nggaplekinya Ferdian memuat “roh” banyak tokoh-tokoh sejarah yang kontroversial. Mari kita lihat satu per satu.
Satu. Aksi Ferdian yang nge-prank transpuan dengan memberi kardus sembako berisi batu dan sampah menegaskan nyata seperti apa karakter bocah ini. Saya curiga dia kerasukan roh pasukan Jepang edisi tahun 1942.
Di tahun tersebut Jepang datang ke Indonesia menggantikan Belanda untuk bertamasya menjajah. Di awal datangnya Jepang, mereka langsung woro-woro kalau Indonesia adalah saudara tua dan akan dibebaskan dari kolonialisme Barat. Jepang menjanjikan akan lekas memberi kemerdekaan pada Indonesia. Masyarakat Indonesia saat itu ya menyambut kedatangan Jepang dengan positif. Tapi kita semua tahu omongan Jepang itu gimmick belaka. Ya iya lah, mana ada penjajah datang ke sini bukan untuk menjajah. Dikiranya ke Nusantara untuk main TikTok atau wedangan di angkringan po?
Tidak jauh berbeda dengan aksi Ferdian yang ngasih prank ke transpuan. Para transpuan awalnya ya senang akan diberikan bantuan sembako. Di tengah kondisi ekonomi yang serbasusah gara-gara pandemi corona gini, bantuan logistik ibarat oase di padang gurun Sahara. Menyambut dengan antusias dan pikiran positif tentu dikedepankan para transpuan. Sudah begitu lha kok ngapusi. Apa nggak pasukan Jepang banget ini kelakuan?
Yang lebih nggak beres adalah aksi prank itu kan dijadikan konten di medsos. Busyet deh…. Tahu nggak di bagian ini Ferdian mirip siapa? Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal Belanda yang terkenal kejam itu. Lho kok bisa? Ya bisa, wong penderitaan orang diekspose sebagai bahan sorotan lalu diketawai setelah sukses dikerjain. Apa bedanya dengan Meneer J.P. Coen yang gemar menggelar aksi adu manusia melawan macan guna memuaskan hasratnya yang kurang hiburan. Aksi yang dikenal dengan nama “pynbank” ini manusia, tapi bagi doi ya dianggap tontonan menghibur.
Dua. Yang keterlaluan setelah aksi amoralnya Ferdian viral adalah permintaan maaf tapi boong. Beredar video sekian detik di mana awalnya Ferdian bilang minta maaf tapi di akhir malah ditambahi embel-embel tapi boong sambil cengengesan. Sori ya, frasa “tapi boong” itu hanya pas jika diucapkan Coki Pardede dan Tretan Muslim dalam komedinya di MLI, kalau untuk Anda sih kagak ada keren-kerennya blasss. Tindakan yang seolah berdamai tapi rekayasa ini mengingatkan saya pada H.J. van Mook. Persis plekk.
Van Mook adalah salah satu tokoh Belanda dalam proses mediasi dengan Indonesia di perundingan Linggarjati. Agenda ini intinya lebih merugikan pihak Indonesia. Sama dengan permintaan maaf berkedok klarifikasinya Ferdian yang belum tentu bisa mengembalikan senyum transpuan yang telah ia kecewakan. Yang namanya perundingan kan usaha diplomasi yang tentunya tidak ada unsur militer di sana. Hasil berunding di Linggajati yang semula diiyain van Mook justru ia langgar sendiri dengan merestui serangan ke Indonesia bertajuk Agresi Militer I. Seolah van Mook berkata,”Oke, di Linggarjati ini saya setuju kita berdamai … (pakai jeda bicara sejenak) … tapi boong! Hiya hiya hiya!”
Tiga. Penggerudukan warga ke rumah Ferdian Paleka kemarin mencerminkan kemuakan warga terhadap YouTuber nggak cerdas ini. Ingat, kesabaran itu ada batasnya, bro. Datangnya warga harusnya disambut Ferdian langsung. Sayangnya anak sok asik ini malah kabur dari rumah. Saya meragukan orang ini sebagai pria sejati. Nggak ada tanggung jawabnya babar blas. Membuat kekacauan, menggemparkan publik, lalu ngilang seolah tanpa dosa. Saya khawatir arwah mendiang Westerling lah yang sedang merasuki badan Ferdian.
Nama Westerling lekat dengan citra pembantaian dan pelanggaran HAM di Indonesia. Saking kondangnya sebagai biang onar, Bang Iwan Fals pernah menyelipkan namanya di salah satu lirik lagunya. Ferdian nggak ada bedanya dengan Westerling. Sama-sama bikin geger, merugikan orang lain, tapi ora gentle menghadapi konsekuensinya. Kalau Westerling usai bikin kacau Indonesia kabur ke Belanda, nggak tahu Ferdian sedang ngumpet di mana. Kalau nanti dites DNA mereka ternyata punya keterkaitan keturunan, saya udah nggak kaget.
Empat. Beredarnya screenshoot instastory-nya bocah sableng ini yang mengatakan akan menyerahkan diri ke polisi kalau follower-nya bertambah jadi 30K membuat saya tambah mangkel. Lha wong mau minta maaf kok njaluk syarat. Dipikir sampeyan itu siapa, woiii?
Sebagai pihak yang bersalah ya minta maaflah dengan tulus dengan kesediaan menerima segala konsekuensi dari kerusakan yang telah ditimbulkan. Kok bisa ya di situasi kayak gini malah lebih mementingkan jumlah follower. Mungkin benar kalau ada yang bilang jaman sekarang itu wolak-waliking zaman. Dunia serbaterbalik dan salah satunya ditandai dengan adanya fenomena sosial yang ora mashook.
Sikap nggapleki yang satu ini mengingatkan saya pada Jenderal De Kock. Alkisah De Kock yang sudah capek perang dengan Pangeran Diponegoro menawarkan perundingan untuk berdamai saja. Diponegoro setuju tapi ternyata De Kock lalu mengajukan aneka syarat ini-itu ke kubu sang pangeran mulai dari Diponegoro tidak boleh bawa banyak pasukan, tidak diizinkan bawa senjata perang, dan lain-lain. Ini yang punya kepentingan berdamai siapa, yang kakehan request siapa. Kalau Ferdian nanti ketangkep, saran saya di luar pasal KUHP yang menjeratnya adalah suruh anak itu nulis permintaan maaf rangkap seribu kali dengan tulis tangan. Titik.
Lima. Permintaan maaf yang sejauh ini diwakili oleh ibunya Ferdian justru membuat saya prihatin. Ibu ini punya sikap yang baik karena memohon maaf pada netizen atas ulah mbelgedes putranya. Pengajuan apologi yang sejauh ini tidak dibarengi dengan aksi santun si anak karena malah semakin kumat sakit jiwanya. Apa yang ditunjukkan ibunda Ferdian ini mirip dengan tindakan Ratu Wilhelmina yang pada tahun 1901 menyetujui kebijakan politik etis.
Politik etis merupakan sikap balas budi Belanda setelah menindas masyarakat jajahan di Hindia Belanda terutama dengan cultuurstelsel-nya. Pejabat negeri kincir angin mengajukan program edukasi, irigasi, dan migrasi sebagai objek politik etis. Ratu Wilhelmina sendiri memang juga kontroversial dan tentu ada sisi subyektifnya pada pemerintah kolonial Belanda, tapi iktikad agak baik dari sang ratu ini justru tidak diimbangi bawahannya seperti Gubernur Jenderal Willem Rooseboom, van Heutsz, dan Idenburg yang terkesan membiarkan munculnya aksi penyimpangan terhadap politik etis. Apa bedanya dengan relasi ibu Ferdian dan anaknya yang viral itu? Ngggak ada. Si anak tidak menunjukkan sikap sejalur dengan sang ibu. Yang ada malah si anak yang ngrusohi gawe bubrah.
Dari aneka hasil penerawangan tadi, sesungguhnya saya khawatir kalau Ferdian ini hasil reinkarnasinya para tokoh jahat dalam sejarah secara collab. Ya ada tentara Jepang, ya ada kompeni, dan semua karakter mereka diblender jadi satu merasuk ke saluran alam pikiran Ferdian. Baru saja kita memperingati Hari Pendidikan Nasional, sebentar lagi kita akan memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Di bulan dengan peringatan sakral seperti ini malah diwarnai aksi yang bikin hati ambyar. Masak iya sih generasi emas Indonesia 2045 mau diisi oleh manusia seperti Ferdian Paleka?
Kalau urusan permaafan sih saya dan para netizen meski dengan agak berat hati pasti bisa memaafkan. Tapi ingat kalau forgiven but not forgotten. Bukannya sok pendendam lho. Tokoh sekelas Nelson Mandela saja pernah bilang gitu saat sebel dengan politik apartheid di pidatonya. The Corrs pun juga membuat lagu dengan judul yang sama. Maka saya nggak ikhlas kalau setelah ini ada klarifikasi, minta maaf, dan besok kambuh lagi penyakitnya. Awas lho ya.
Sumber gambar: Wikimedia Commons
BACA JUGA Kisah Cinta Tragis Ala Tan Malaka: Empat Kali Mencinta, Lima Kali Ditolak dan tulisan Christianto Dedy Setyawan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.