Saya sudah jadi fans Manchester United sejak sangat lama. Jauh sebelum Chelsea dan Manchester City menguasai Liga Primer Inggris. Si setan merah saat itu sedang mencapai puncak kejayaannya di bawah asuhan Sir Alex Ferguson. Saya masih ingat jargon “kemenangan membosankan dan kekalahan itu mustahil” menjadi jargon utama tim kami. Old Trafford juga dikenal sebagai tempat paling angker bagi tim tamu. Namun, zaman keemasan itu seolah berakhir bersamaan dengan pensiunnya Sir Alex Ferguson pada akhir musim 2013.
Enam tahun berselang, siapa yang menyangka bahwa saya jadi sasaran olok-olokan dari teman-teman—-terutama fans Manchester City dan fans Liverpool—-dengan kondisi Manchester United saat ini. Terutama saat tim kesayangan saya ini kalah, atau bermain dengan sangat buruk. Tapi ya nggak apa-apa sih. Jauh sebelum Fergie pensiun, saya juga sering mengolok-ngolok mereka. Mungkin ini yang dinamakan karma.
Bola memang bundar Bung! Setelah lebih dari dua dekade Setan Merah mendominasi Liga Primer Inggris, yang mana Ferguson mampu mengungguli jumlah torehan gelar terbanyak Liga Primer Inggris yang saat itu dimiliki Liverpool. Saat ini barangkali kita sedang menyaksikan zaman keemasan Liverpool dan Manchester City. Siapa tahu, 5 atau 10 tahun lagi zaman keemasan Chelsea dan Arsenal. Atau tidak menutup kemungkinan, zaman keemasan Manchester United lagi.
Namun, kalau boleh jujur, impian mengulang masa kejayaan Treble Winner tahun 1999, dan punya skuad mumpuni dan pemain berkelas seperti Beckham, Scholes, Gary Neville, dan Ryan Giggs, yang terkenal dengan The Class of 92, atau setidaknya memiliki squad yang sama baiknya ketika Manchester United memenangkan double winner di tahun 2008 menjadi cukup mustahil melihat bagaimana performa tim kesayangan saya saat ini .
Kondisi Tim Pasca Ferguson
Mengapa United seolah sulit untuk sekadar memenangkan satu laga pasca Ferguson pensiun? Alasannya mungkin karena Rezim Ferguson sudah berjalan lebih dari 25 tahun. Dengan waktu selama itu, tentu saja sulit untuk mengubah kebiasaan yang sudah dijalankan. Termasuk bagi pemain, tim pelatih, apalagi manajemen.
Klub ini mungkin terlalu terlena setelah 25 tahun nyaman dinahkodai Sir Alex Ferguson yang telah memberikan banyak gelar bergengsi pada klub ini. Di dunia nyata pun, bukankah Indonesia butuh waktu lama untuk beradaptasi seiring pergantian berbagai rezim mulai dari Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi?
Hingga saat ini, baik David Moyes, Lous van Gaal, Jose Mourinho, hingga Ole Gunnar Solksjaer tidak bisa melakukan apa yang Ferguson lakukan. Meskipun yang dilakukan Fergie sebenarnya sangatlah sederhana. Dia memberikan batasan yang jelas untuk para pemainnya. Pemain yang sering cedera, yang alay di media sosial, yang merasa lebih tenar di luar lapangan, yang berani bicara pada media di luar izin manajer—hingga yang paling parah, yang tidak ada usaha mati-matian untuk mengejar bola di lapangan saat pertandingan berlangsung, akan langsung Fergie buang dari squad utama Setan Merah. Sesederhana itu.
“Ketika seorang pemain Manchester United merasa dirinya lebih baik dari sang manajer, maka ia harus keluar. David Beckham merasa dirinya lebih besar dari Alex Ferguson. Itulah lonceng kematian buat dia,” demikian tulis Fergie dalam bukunya. Dan 13 tahun setelah laga itu, David Beckham mengakui bahwa ia sadar tentang apa yang telah Ferguson lakukan saat itu. Bahwa pemain tidak boleh merasa lebih besar dari klubnya.
Board : Kebobrokan United pasca Ferguson Hengkang
Selain faktor manajerial, posisi board adalah yang paling penting. Rezim Gletzer adalah hal yang terburuk di Manchester United. Jauh lebih buruk dari siapa yang menjadi pelatih dan komposisi pemain. Gletzer adalah pejabat board Manchester United yang sama sekali tidak mengerti sepakbola. Saya yakin, pelatih sekelas Pep Guardiola atau Zinedine Zidane sekali pun tidak akan bertahan lebih dari dua musim di bawah rezim Gletzer. Selama ada Gletzer, sampai kapan pun tim kesayangan saya ini akan selalu berada di papan tengah. Bersaing hanya dengan West Ham United dan Crystal Palace alih-alih dengan “The Big Four”.
Saya bisa mengatakan bahwa Gletzer memang tidak pernah pelit dalam pembelian pemain. Beberapa musim lalu, MU bahkan rela merogok kocek dalam untuk mendatangkan Paul Pogba hingga transfernya berhasil memecahkan rekor pemain termahal dunia saat itu. Tak lama kemudian, MU juga berhasil mendatangkan Alexis Sanchez yang fenomenal. Sayangnya, pemain-pemain yang didatangkan board ini bukanlah pemain yang sedang dibutuhkan tim saat ini.
Sebut saja Mikhitarian, pemain yang sempat mengecap gelar pemain terbaik Bundesliga sebelum bergabung dengan United; lalu Angel di Maria yang sempat menjadi pahlawan bagi Real Madrid ketika menjuara La Liga dengan torehan lebih dari 120 gol. Kedua pemain ini gagal di MU karena tidak berhasil dimanfaatkan secara maksimal oleh board.
Terakhir kalinya ada pemain bintang yang dapat bersinar dan ke luar secara baik-baik seingat saya hanyalah Cristiano Ronaldo saja. Sisanya? Hanya jadi ampas di tim ini. Itulah mengapa saya pikir banyak pemain bintang tidak lagi mau membela United. Selain karena sekarang tim ini hanya tim papan tengah, pemain-pemain bintang ini seringkali diperlakukan dengan tidak pantas dan kurang diberi penghargaan dan porsi bermain.
Dan tentu saja ini lah yang terjadi ketika tim besar dikelola oleh orang-orang yang tidak mengerti sepakbola. Karena apa yang ada di pikiran para “pebisnis yang mengelola tim bola” ini adalah keuntungan secara finansial yang mereka dapatkan selama brand dan penjualan merchendise masih tinggi dan selalu di atas target. Bodo amat soal prestasi! Dan yang lebih menyebalkan lagi, Gletzer ini sungguh bebal, dan tidak bisa diajak berbicara baik-baik demi kemajuan tim.
Untuk memperbaiki tim ini, Ibarat pohon, kita harus mencabut akarnya (Gletzer) secara langsung dan menggantinya dengan pohon baru. Alih-alih hanya memotong dan menggantin dahan (manajer dan pemain) yang rapuh saja. Ingat, harus langsung dari akarnya!
Saya pikir tidak berlebihan ketika saya mengatakan bahwa sekalipun Ferguson kembali menjadi manajer, Cristiano Ronaldo, Eric Cantona dan David Beckham kembali muda dan membela tim ini, mereka tidak akan mengubah keadaan jika masih ada Gletzer di sana.
Jadi ya, mau tidak mau, suka tidak suka, sebagai fans Manchester United, kita harus mau dengan legawa, bersabar, dan mempersiapkan mental untuk menerima olok-olokan dari tim yang saat ini mendominasi Liga Primer Inggris sampai waktu yang entah kapan… Atau sampai Gletzer berhenti menduduki posisi board di Manchester United.
Bola memang bundar. Lebih dari dua dekade Setan Merah mendominasi Liga Primer Inggris, dimana Ferguson mampu mengungguli jumlah torehan gelar terbanyak Liga Primer Inggris yang saat itu dimiliki Liverpool sebanyak 18 gelar disusul menjadi 20 gelar. Saat ini barangkali zaman keemasan Liverpool dan Manchester City. Siapa tahu, 5 atau 10 tahun lagi zaman keemasan Chelsea dan Arsenal. Atau tidak menutup kemungkinan, zaman keemasan Manchester United lagi. Musim ini? Setidaknya jadi fans Manchester United membuatku untuk belajar sabar dan ikhlas! (*)
BACA JUGA Ada yang Lihat Hilal di Old Trafford? atau tulisan Raden Muhammad Wisnu lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.