Punya anak lulus Fakultas Kedokteran dan jadi dokter, harus diakui, jadi salah satu obsesi banyak orang tua di Indonesia.
“Cita-cita mau jadi apa?” tanya seorang guru Taman Kanak-kanak (TK).
“Dokter.”
“Wah, hebaaat.”
Sebuah dialog terjadi di sekolah TK dekat rumah saya. Pemandangan biasa. Jawaban dan responsnya juga normal.
Meski begitu, saya tiba-tiba jadi iseng membayangkan sejenak, jika saja anak 5 atau 6 tahun itu tadi menjawab, “Ingin jadi YouTuber,” kira-kira jawaban guru TK-nya gimana ya? Apakah ketika bilang “hebat”, si guru akan seantusias ketimbang si anak jawab “dokter”?
Daftar Isi
Harus diakui, menjadi dokter adalah salah satu cita-cita yang membanggakan
Berhasil masuk Fakultas Kedokteran dan menjadi dokter bisa jadi bukan kebanggan si anak. Kebanggaan itu jauh lebih berlipat ganda efeknya bagi orang tua si anak.
Setidaknya itu terjadi ketika saya ingat lagi betapa orang tua saya begitu membanggakan kakak saya yang jadi dokter (dokter spesialis radiologi sekarang). Boro-boro jadi dokter, ketika kakak saya masuk Fakultas Kedokteran saja, orang tua saya bangganya setengah mampus.
Hampir tiap saat orang tua saya menceritakan kesuksesan kakak saya masuk Fakultas Kedokteran. Salah satu (kalau bukan satu-satunya) fakultas paling susah ditembus oleh calon mahasiswa baru. Lebih-lebih kalau itu adalah Fakultas Kedokteran di UGM.
Kebanggaan orang tua saya waktu itu, kalau digambarkan, seolah-olah kayak kakak saya baru saja memenangi medali emas Olimpiade. Seolah-olah kalau anak sudah masuk Fakultas Kedokteran, setengah dari permasalahan hidup si anak sudah selesai.
Tinggal lulus, koas yang bener, lalu ambil spesialis. Si anak yang jadi dokter itu dianggap telah sukses menaikkan level status keluarganya secara instan.
Premis lucu soal menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran dan dokter
Sebagai adik, saya ketiban rasa bangga itu juga. Sampai kemudian saya mendapat sebuah argumentasi yang membalik kebanggaan saya itu.
Adalah argumentasi dari Ronny Chieng, salah satu stand up comedian dari Australia keturunan Cina, yang menyadarkan saya dalam salah satu show. Kata Ronny Chieng, “Menyelamatkan orang, merupakan list paling bawah dari tujuan orang tua menginginkan anaknya jadi dokter.”
Saya tertawa geli mendengarnya. Saya juga tidak membantah premis Ronny Chieng ini.
Ya iya sih. Tidak hanya bagi orang tua di Indonesia yang sangat bangga punya anak masuk Fakultas Kedokteran lalu jadi dokter beneran. Ronny Chieng punya pengalaman senada karena fenomena ini juga terjadi di kultur masyarakat Cina dan kebanyakan orang tua di Asia.
Sebuah premis yang langsung membalik semua keadaan. Ini juga menyadarkan saya bahwa orang tua yang ingin anaknya jadi dokter, sebenarnya ya hanya terletak pada alasan sederhana: kemampuan mendapat gaji dan pendapatan yang baik.
Faktor ekonomi: Ingin sejahtera dan punya banyak duit
Dokter dianggap membanggakan bagi orang tua bukan karena kemampuannya menyelamatkan manusia. Kita harus mengakuinya bahwa Ini adalah profesi yang aman secara ekonomi. Dan secara pahit, saya sepakat dengan pernyataan Ronny Chieng itu.
Sebab, kalau hanya sekadar kemampuan “menyelamatkan” manusia, sebenarnya ada banyak profesi lain yang sama baiknya selain dokter. Misalnya jadi pemadam kebakaran, perawat, TIM SAR, anggota PMI, dan lain sebagainya. Lalu kalau semua profesi itu sama-sama menyelamatkan nyawa manusia? Kenapa hanya profesi dokter yang dibanggakan oleh banyak orang tua? Lah, iya kan?
Yah, setidaknya saya cukup jarang mendengar ada orang tua yang memamerkan anaknya jadi petugas pemadam kebakaran ke tetangga-tetangganya. Kayaknya, saya nggak bakal nemuin deh, ketika arisan ibu-ibu, ada salah satu ibu yang pamer begini: “Eh, Bu Joko, anak saya keterima jadi petugas pemadam kebakaran lho! Hebat ya?”
Kenapa seperti itu? Ya itu tadi, karena di antara semua profesi yang saya sebut di atas, yang mendapatkan level status sosial tinggi dan pendapatan menggiurkan hanya dokter. Boro-boro udah jadi dokter, baru sekadar mahasiswa Fakultas Kedokteran, orang tua saja sudah bangga banget kok.
Baca halaman selanjutnya: ironi yang jadi lucu