Desain jersey timnas Indonesia buatan Ergonomic Sporty Outfit (Erspo) pada akhirnya mewujudkan filosofinya sendiri. Konon, pola jacquard di jersey tersebut menggambarkan gemuruh suporter. Dan kini, gemuruh itu nyata, setidaknya di dunia maya hingga tagar #BoikotErspo mencuat ke permukaan. Untuk menerima kritik, mereka bisa belajar dari Puma.
Hadirnya Erspo sebagai apparel baru timnas memang tak ubahnya jadi pemantik keberisikan dunia maya belakangan. Bermula dari kritik desain yang “B Aja” hingga merambah ke ranah drama yang bagi saya berlebihan. Sumbernya sebenarnya dari pihak terkait yang memang kurang dewasa menanggapi kritik.
Pelatih Timnas, Shin Tae-yong pernah menyampaikan kritik soal kualitas jersey latihan yang dibilang kurang memberikan kenyamanan ke pemain. Sebenarnya, pihak apparel menyambut kritikan itu secara positif. Namun, sang founder Erspo, Muhammad Sadad justru membuat video meneteskan air ke jersey seolah membalas kritikan sang pelatih.
Gemuruh lebih bising terjadi menyangkut desain jersey home-away yang banyak orang menganggapnya monoton. Bahkan orang menyamakannya dengan jersey Singapura. Pola jacquard juga dianggap mirip pattern background Liga Inggris. Juga nameset yang cenderung kerap disamakan dengan milik Liverpool.
Ernanda Putra, dalam hal ini founder Makna Creative, jadi pihak yang paling mendapat sorotan karena aksi anti-kritiknya. Sebagai informasi, desain jersey tanding memang dikerjakan oleh Makna Creative. Berkat Ernanda pula, tagar boikot itu pertama kali muncul di platform Twitter.
Daftar Isi
Blunder Ernanda
Ernanda Putra bertarung begitu hebatnya mengatasi kritik yang deras datang dari penggemar biasa, kolektor jersey, kelompok suporter. Bahkan hingga pandit-pandit bola macam Coach Justin dengan para dombanya.
Padahal banyaknya orang yang mengakui desain Erspo itu B Aja, seharusnya sudah jadi validasi bahwa memang benar demikian. Tentunya muaranya adalah perbaikan, atau minimal permintaan maaf, alih-alih over defensif. Drama dan keruwetan baru pun tercipta saat ternyata pihak Sadad dan Ernanda nyatanya tak lagi saling membela.
Cuma 2 hal yang tak dimiliki pihak apparel maupun pencipta desain, yaitu rendah hati dan santai. Atau kalau kata komika Mukti Entut sebagai sikap andhap asoy. Sikap sederhana yang pada akhirnya tak coba diterapkan pihak apparel atau pihak pendesain kaos tanding.
Jangan salah, desain Mills di awal kemunculannya juga mendapat kritik karena mirip makanan kuping gajah. Dan lagi, jangankan Erspo atau Mills, produsen dunia macam Puma, Nike, atau Adidas juga masih kerap mendapatkan kritik. Yang tentunya tak kalah pedas dari sekadar labeling C Aja atau Cupu Aja dari Coach Justin.
Saking jeleknya, Puma bahkan dianggap nggak layak untuk produksi kondom
Pemain Swiss, Xherdan Shaqiri melontarkan celoteh pedas ke Puma selaku apparel jersey mereka di EURO 2016. Ini imbas dari banyaknya jersey pemain yang robek dalam salah satu pertandingan. Shaqiri terang-terangan menyindir kualitas Puma yang bahkan tak layak menjadi produsen kondom. Bisa kamu bayangin kalau Erspo yang dikatain begitu. Ernanda bisa megap-megap.
Puma saat itu tak memampangkan egonya sebagai salah satu apparel kenamaan dunia. Alih-alih menghakimi Shaqiri tak paham kualitas jersey mereka, Puma lantas meminta maaf dan berjanji akan memperbaiki kualtias jersey. Sebuah sikap yang sangat andhap asoy.
Bahkan Puma dari berbagai lini produksinya nampaknya selow-selow saja menghadapi kritik serupa dari penggemar. Seperti saya yang heran kenapa Puma di era tersebut lebih sering bikin jersey ketat macam legging macan tutul. Perlahan, Puma menanggalkan jenis jersey demikian belakangan ini. Dengerin tuh Erspo.
Puma bukan cuma dikritik soal kualitas bahan. Soal desain, jersey Puma bahkan ditolak mentah-mentah seperti yang terjadi di jersey third Borussia Dortmund 2021/2022.
Pada musim tersebut, Puma memang punya template jersey yang cukup unik. Alih-alih menampilkan logo di dada, apparel asal Jerman itu justru hanya memasukan nama tim sebagai pengganti badge logo.
Beberapa tim selain Dortmund sebenarnya punya jatah yang sama. Hanya saja, penggemar Dortmund jadi pihak yang paling keras menentang. Hasilnya? pihak klub memilih berpihak ke penggemar dan menolak desain jersey dari Puma. Bahkan Puma juga andhap asoy untuk urung memaksakan jersey.
Dear Erspo, suporter itu bukan customer
Ada idiom yang populer di kalangan fans bola bahwa “Suporter bukan cuma customer.” Memang pelanggan itu raja. Tapi raja dalam artian pelanggan, berhak memilih untuk tetap menjadi konsumen atau tidak.
Lain halnya dengan suporter yang pada dasarnya tak bisa memilih. Mendukung itu urusan hati. Jika seseorang dilahirkan atau dibentuk sebagai pendukung Manchester United, kemungkinan besar ia akan tetap menyaksikan MU walau tersiksa di setiap pekannya.
Jersey timnas misalnya yang dianggap buruk. Penggemar tidak selalu memilih untuk membeli atau tidak hanya berdasarkan desain. Kalaupun beli, mereka lebih terdorong oleh perasaan cinta alih-alih hanya karena desainnya bagus.
Toh sebelum tagar boikot Erspo muncul, banyak kalangan fans yang mau tak mau memang berniat melarisi jerseynya. Yah, walaupun desainnya memang B Aja.
Pemahaman demikian yang semestinya dimiliki pihak apparel atau desainer jersey timnas. Bahwa mereka seharusnya memandang suporter bukan sekadar konsumen. Tapi sebagai pemilik dari sebuah tim itu sendiri, untuk didengar atau tidak.
Dortmund dan Puma sekali lagi telah memberi suri tauladannya. Musim 2023/2024 lalu, kedua pihak itu mewadahi suporter untuk menyalurkan protesnya, dengan cara membuat sayembara desain jersey dari suporter itu sendiri. Hasilnya, Dortmund akhirnya menggunakan jersey kreasi fans.
Dan yang jelas, gemuruh media sosial selayaknya filosofi jersey timnas ini bukan sekadar ladang cuan. Bahwa hal demikian adalah kepedulian dari kalangan penggemar. Tentu saja cetek kalau cuma dibilang sebagai korban dari S4 Marketing.
Penulis: Dicky Setyawan
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.