Kemarin, di sebuah media pemberitaan online, ada tulisan yang menarik perhatian saya. Judulnya begini: Pengembalian Biaya Kuliah Keguruan Tercepat, Kedokteran Terlama. Kalau soal lamanya balik modal Fakultas Kedokteran, itu saya setuju. Kebetulan esai di Mojok beberapa waktu lalu juga mengangkat tema ini dan saya membacanya. Nah, soal penyebutan pengembalian kuliah keguruan yang tercepat ini yang membuat saya mikir so hard: emang iya?
Dasar penyebutan cepatnya biaya balik modal kuliah keguruan ini, konon didapat setelah menganalisis biaya kuliah mahasiswa di 12 program studi dari 30 perguruan tinggi yang ada di Indonesia, baik negeri atau swasta. Kemudian, hasil tersebut dibandingkan dengan rerata penghasilan para lulusannya setelah bekerja. Hasil yang didapat adalah, prodi Pendidikan membutuhkan waktu sekitar 12 bulan untuk menutup biaya yang dikeluarkan saat kuliah. Wew. Setahun aja, Bestie. Owner bisnis waralaba seketika insecure mendengarnya.
Sebagai lulusan Fakultas Pendidikan, saya mengamini bahwa biaya kuliah di fakultas ini memang relatif terjangkau. Apalagi, bagi saya yang kala itu kuliah keguruan di Universitas Terbuka. Bayangkan, biaya satu semesternya cuma 1,4 jutaan! Artinya, biaya saya untuk lulus dan menyandang gelar Sarjana Pendidikan jauh lebih murah dari harga motor NMax. Ajib memang.
Nah, jika konteksnya adalah Universitas pada umumnya (Iya, UT emang nggak umum karena murah bingit tapi nggak murahan), dan didasarkan pada biaya kuliah saat ini, maka rata-rata untuk bisa lulus dari Fakultas Pendidikan sekitar 50jutaan. Angka tersebut dianggap masih terjangkau dibanding fakultas lain yang hampir mencapai 100juta. Tapi soal cepat balik modal? Mengko sek, tidak semudah itu, Ferguso.
Begini. Kita berbicara masa lalu dulu, ya. Dulu, jadi guru itu gampang. Pemerintah daerah masih berhak mengangkat guru honorer untuk mengisi pos-pos yang kosong di sekolah negeri. Apalagi kalau kebetulan kamu punya kenalan orang dalam. Beuh, gampanglah diatur. Tak heran, kuliah keguruan jadi tujuan banyak orang. Tapi sekarang? Sudah tidak boleh lagi, MyLov. Bisa berabe kalau ada Pemda yang ngotot angkat tenaga honorer.
Setali tiga uang, perekrutan guru lewat jalur CPNS yang dulu jadi pintu surga bagi para penyandang S.Pd inipun sekarang sudah ditiadakan. Padahal, formasi guru di CPNS ini biasanya yang paling banyak. Sekarang, satu-satunya gerbang menuju pemerintahan bagi guru adalah dengan mengikuti tes Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Itu pun tidak mudah.
Hanya karena kamu sudah lulus kuliah keguruan dan mengantongi gelar S.Pd, bukan berarti kamu berhak untuk ikut tes PPPK. FYI, tes PPPK ini terbagi menjadi beberapa tahapan. Tahapan pertama, hanya boleh diikuti oleh peserta kategori Honorer THK-II dan guru honorer di sekolah negeri. Tahapan kedua diikuti oleh pelamar tahapan pertama yang tidak lolos tahap pertama, ditambah pelamar baru yaitu guru swasta dan lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang belum mengajar.
Dengan kata lain, para sarjana pendidikan yang baru jebrol nggak bisa langsung bertarung dalam tes PPPK. Mereka harus mengajar dulu. Masalahnya adalah, ngajar di mana? Di bimbel? Nggak masuk kriteria. Di sekolah negeri? Sudah tidak mungkin. Di sekolah swasta? Bisa, sih. Tapi, sejak adanya perekrutan PPPK, banyak sekolah swasta yang melarang gurunya untuk ikut tes PPPK. Jika bersikeras ikut tes, mereka harus mengundurkan diri. Nah loh! Pahit, kan?
Maka, agak ndlogok juga sih sebenarnya menyebut kuliah keguruan itu cepat balik modal. Iya, cepet balik modal, tapi syarat dan ketentuan berlaku. Yaitu jadi guru PNS di kota besar plus bersertifikasi atau setidaknya ngajar di sekolah internasional. Ha kalau ngajarnya di pelosok, ya, suwe~
Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 4 Alasan Sebaiknya Kamu Jangan Masuk Jurusan Pendidikan