Dalam proses wawancara, ada dua tipe HRD: mengajak kandidat berbicara dengan menggunakan teknik good cop; membuat suasana nyaman atau dengan nada yang sinis dan ketus laiknya bad cop.
Ketika saya mengikuti proses wawancara kerja di beberapa perusahaan, ada hal menarik yang saya temui dan baru menyadari ketika turut bekerja pada posisi tersebut, yaitu beda teknik wawancara yang digunakan oleh para HRD saat wawancara berlangsung. Ada HRD yang dirasa menyenangkan, karena pembawaannya yang ramah, ketika berbicara seperti dengan teman sendiri, jadi obrolan terasa nyaman. Ada juga yang ketika bertanya kepada kandidat, galaknya minta ampun. Terkesan seperti marah-marah. Julid. Engga bisa banget liat kandidat mencoba antusias dan langsung dibuat down secara mental.
Good cop dan bad cop, istilah untuk kedua teknik ini. Teknik ini biasanya memang digunakan oleh para aparat keamanan dalam menginterogasi para penjahat. Namun, teknik ini dijamin engga akan mempan untuk dipakai saat ngobrol bareng calon mertua.
Ciri dari HRD yang bertindak sebagai bad cop dalam proses wawancara adalah, jika bertanya terkesan sinis dan nggak memberi kesempatan kepada kandidat untuk bersikap santai. Minim senyum. Disamping sedang sariawan sehingga sulit berbicara, ya. Selama ngobrol bawaanya tegang.
Sebagai pelamar kerja, saya pernah berhadapan dengan HRD yang seperti ini. Saya ingat betul yang ditanyakan hanya,
“Kenapa kamu mau menempati posisi ini?”
“Kegiatan waktu di kampus apa aja?”
“Harapan gajinya berapa?”
Cuma itu yang ditanya, tanpa basa-basi, eskpresinya pun ketus, lalu diakhir wawancara cuma disampaikan,
“Oke, nanti kalau ada info saya kabari lagi.”
Sekadar informasi, indikasi pemberi harapan palsu dimulai dari kalimat itu.
Sebagai seseorang yang berprofesi sebagi HRD, teman saya ada yang suka sekali menggunakan teknik ini sewaktu wawancara, bahkan pernah ada kandidat yang sampai menangis dibuatnya, lalu ketika kandidat tersebut menangis, teman saya hanya bertanya,
“Kenapa nangis, Mbak? Masa gitu aja nangis? Gimana kalau nanti kalau dikejar target?”
Sewaktu saya tanya kenapa begitu, dia bilang buat tes mental.
Buat saya pribadi, nggak salah memang, tapi dalam kondisi tertekan, tidak semua kandidat bisa mengeluarkan kemampuan atau komunikasi terbaiknya. Yang ada kandidat malah takut dan gelagapan karena tidak siap dengan wawancara yang terkesan seperti dimarahi, diintimidasi. Apalagi kandidatnya masih lulusan baru, yang baru saja lulus dengan susah payah setelah mengerjakan revisi skripsi yang coretannya saja kadang bikin males dan lupa apa yang harus diperbaiki.
Saya sendiri lebih nyaman jadi seorang pewawancara dengan menggunakan teknik good cop. Ramah, menciptakan situasi dan suasana yang nyaman saat wawancara berlangsung. Tidak sedikit kandidat yang antusias dan merasa nyaman dalam berkomunikasi saat dalam situasi ini. Ditambah, pastinya kita akan lebih nyaman dalam bercerita soal apa yang kita bisa, toh?
Meski begitu, tetap ada kelemahan saat menjadi seorang HRD yang good cop. Di antaranya, jika tidak dibatasi akan tercipta kedekatan secara emosional atau kandidat jadi terkesan menyepelekan obrolan atau diskusi selama wawancara berlangsung dengan jawaban yang nyeleneh atau semaunya.
Seperti sewaktu saya tanya kandidat yang satu ini;
“Mas, bisa diceritakan dirimu itu orang yang seperti apa?”
“Kalau itu, yang tau mama saya, Mas.”
“Kalau kekurangan Mas, ada dalam hal apa aja?”
“Oh, itu juga yang tau Mama saya, Mas. Coba, deh, tanya Mama saya.”
Kepriben, sih. Ini yang mau kerja dia atau Mamanya.
Belum lagi kandidat yang salah ucap karena situasi wawancara yang terlalu santai, kandidat tersebut menyampaikan, bahwa dia ahli dalam menggunakan MIKROSKOP EKSEL, rumusan yang biasa digunakan antara lain, min, max, dan AVENGER.
Lalu ketika saya menanyakan hobi apa yang jadi minat kandidat,
“Mbak, hobinya apa?”
“Hobi saya baca, Pak.”
“Oh, Mbak suka baca buku bergenre apa?”
“Bukan baca buku, Pak. Saya suka baca status WhatsApp, status Facebook, Twitter, pokoknya yang sosmed gitu, Pak.”
Kandidat seperti ini maunya apa, sih.
Sedikit tips dari saya yang juga seorang pewawancara walaupun masih amatir, ketika berhadapan dengan HRD yang bad cop, usahakan jangan terbawa emosi meski ditanya dengan nada yang terkesan ketus dan ngegas, karena memang itu yang diincar dari para kandidat. Jangan ikut jawab dengan nada yang ngegas juga, apalagi memarahi balik HRD, karena akan auto-reject.
Jangan juga emosional atau baper, nangis misalnya. Hadapi segala pertanyaan dengan jawaban yang elegan dan tepat sasaran. HRD engga akan kasih bahu atau pundaknya buat kalian yang menangis karena ketakutan sewaktu wawancara berlangsung.
Ketika berhadapan dengan HRD yang good cop, bereaksi dan bersikap sewajarnya lebih baik ketimbang malah memuji berlebihan, seperti “Masnya ganteng” atau “Mbanya cantik”, flirting seperti itu ga akan membuat kalian para kandidat auto-diterima.
Dari sudut pandang pribadi saya, untuk HRD yang menerapkan teknik good cop, baiknya kandidat bercerita banyak tentang dirinya dan apa kontribusi apa yang kiranya bisa dilakukan karena kami bisa menjadi pendengar yang baik dan memerhatikan detail cerita. Selama cerita masih on-point.
Jangan sampai seperti kandidat yang pernah saya wawancara, sewaktu ditanya ihwal kekurangan, dia menjawab,
“Saya malu karena tampang saya muda.” Ini mau menyombong atau gimana?
Lalu ada juga yang jawabnya,
“Saya kalau mandi lama, Pak, bisa satu jam.”
Saya langsung bertanya-tanya dan menerawang, apa yang dia lakukan di kamar mandi selama satu jam? Posisi apa yang cocok untuk kandidat ini?
Di antara beberapa perbedaan antara good cop dan bad cop pada teknik wawancara kerja yang dilakukan oleh HRD, ada satu kesamaan pasti, mereka akan mengatakan kalimat yang sama pada kandidat di akhir wawancara,
“Dipastikan semua kontaknya aktif, ya. Nanti akan dihubungi kembali jika ada informasi dari kami.”