Beberapa hari yang lalu sewaktu nongki, saya nggak sengaja nguping kawan seangkatan yang dibuat dongkol oleh dosen. Jika kutulis kira-kira begini kalimatnya, “Bagaimana nggak kesel coba, saya disuruh revisi dalam waktu 5 hari, cukup 3 hari udah selesai tuh. Eh giliran dichat, balesnya seminggu lebih, kadang 2 minggu.”
Ada lagi yang menyuarakan, “Et dah, mending lu dibales, gue udah chat sopan banget, pakai Bahasa Indonesia yang sesuai EYD, PUEBI, KBBI, di-read doang anjir!”
Itulah realitasnya. Para dosen meminta agar mahasiswa setiap kali chat menggunakan Bahasa yang santun, terstruktur, rapi, sistematis, massif, kondusif, aktif, persuasif, dan… apa lagi ya? Tapi mereka justru menimpali dengan “agak gimana gitu”. Kurang sopan jika kusebut tak beretika. Ini bertolakbelakang dengan imbauan dosen di mana mahasiswa harus memakai etika berkomunikasi yang baik ketika menghubuni. Namun, sebaliknya para dosen justru dengan acuhnya menjawab “Y, ok!, siip, yh,” kadang cuma stiker jempol doang.
Menata kalimat terbaik untuk dosen, malah dikacangin
Kamu bisa bayangkan sendiri sewaktu dirimu sudah menulis isi chat dengan penuh pertimbangan. Bahkan sesekali harus nanya ke teman, “Eh, ini udah bener nggak ya?” Kalau nggak gitu nggak bakalan berani ngirim. Setelah menunggu berlama-lama yang kamu dapatkan dari dosen hanyalah balasan singkat. Padahal, secara struktur komposisi kalimatnya sudah tepat mulai dari salam pembuka, meminta maaf ala-ala, menyebutkan nama, prodi, semester, alamat, isi pesan, dan salam penutup. Pun kadang, isi pesan kita apa dibalasnya apa. Contohnya kek gini.
“Assalamualaikum Bu/Pak X. Mohon maaf mengganggu waktunya, nama Pragos dari prodi ilmu ghaib semester 8 alamat Jl. Imam Santoso, No. 666, rt. 7678, rw. 555, Kelurahan Vrindavan. Mohon izin bertanya terkait skripsi saya. Kemarin bapak/ibu meminta saya untuk merevisi bab 2. Untuk saat ini sudah saya revisi, pak/bu. Kapan Anda mempunyai waktu luang untuk meninjau ulang skripsi saya? Terima kasih atas perhatiannya. Saya mengucapkan mohon maaf sebesar-besarnya apabila terdapat kekeliruan dalam penulisan.”
*suara jangkrik menggema*
Nyesek nggak? Pasti. Tapi begitulah realitasnya. Mahasiswa juga amat tahu betapa sibuknya dosen di Indonesia. Nggak hanya menjalankan tridharma perguruan tinggi, beberapa di antara mereka juga disibukkan dengan ngurus bisnis online, ngurus anak, ngurus keluarga. Tapi tolonglah, respons bapak/ibu dosen amat berarti bagi kami. Setidaknya berikan kami tanggapan yang sreg di hati pula.
Efek yang ditakutkan
Fenomena-fenomena dosen yang “begitu” terus bermunculan. Ada satu efek yang kutakutkan. Bagaimana misalnya mahasiswa yang digituin oleh dosen, kelak juga akan membalas ke anaknya, ke generasi berikutnya, terus-menerus, kemudian menjadi tradisi. Ada kemungkinan pula, dosen-dosen yang demikian itu adalah hasil copy paste dari pendidik sebelumnya, siapa tahu? Toh sikap orang-orang pribumi kan terkenal sopan-sopan, amat menghargai sesama. Tapi jika keadaannya begitu? Kenapa kita sok-sokan ikut kebarat-baratan yang suka to the point itu? Ke mana larinya harmonisasi basa-basi kita selama ini?
Para dosen kita mendadak to the point tanpa ada was-wes-wos lagi jika membalas chat. Tapi nggak papa, kita yang mahasiswa ini cuma bisa manut dan tetap andhap ashor. Kita menyadari bahwa bapak/ibu dosen sudah dengan ikhlas mendidik kami. Mosok masalah chat saja sampai begitu? Oh tentu tidak lah ya.
Ini hanya sekadar uneg-uneg dari mahasiswa akhir yang dikejar-kejar deadline revisi, dihantui dengan jadwal sidang, dan betapa horornya fase yudisium. Kami cuma berharap sinergi di antara dosen dan mahasiswa saling terjalin dengan baik, kolaboratif, dan mampu mengantarkan para mahasiswa untuk membuka gerbang dan berkesempatan untuk turut menjadi agent of change.
Maraknya fenomena dosen “ngeread doang” semoga menjadi perhatian dan nggak ada hal kaya gitu lagi. Ya, gimana dong rasanya dicuekin orang. Nggak enak lah, masa kita udah berjuang juga menyelesaikan tugas dengan baik, eh yang membimbing ilang-ilangan, susah dicari, tiap di-chat, di-read doang. Nasib-nasib.
Penulis: Akhmad Gunawan Wibisono
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 7 Dosa Coffee Shop yang Sebaiknya Dihentikan