Bagi banyak orang asli Jogja, dan sebagian pendatang, gudeg adalah salah satu comfort food. Makanan khas ini bisa menjadi teman sarapan, makan siang, dan makan malam. Rupa tempat makannya juga beragam. Mulai dari warung makan hingga buka emperan. Yah, julukan “kota gudeg” tidak muncul begitu saja.
Namun, seiring bertambahnya jumlah penjual gudeg, terutama dengan konsep emperan, bertambah pula “masalah”. Saya beberapa kali menjumpai penjual yang cenderung menjebak pembeli.
Mungkin maksud mereka baik. Misal, menawarkan jenis lauk lain yang mungkin jadi andalan warung tersebut. Tapi, jangan salahkan saya kalau curiga mereka mau menjerumuskan pembeli untuk membayar lebih. Supaya tidak melebar, isu yang saya ceritakan di sini berkaitan dengan penjual gudeg emperan, bukan warung makan, di Jogja.
Daftar Isi
Upselling harga gudeg dengan teknik upselling yang “agak memaksa”
Paula Gianita, penulis Terminal Mojok, menjelaskan sisi gelap upselling dengan baik. Katanya:
“Sejatinya, upselling merupakan teknik lawas yang sah-sah saja dijalankan. Teknik ini yang biasa diterapkan oleh tenaga penjualan ini berupaya meningkatkan omzet penjualan dengan menawarkan produk-produk tambahan. Idealnya, seorang yang menerapkan taktik ini tidak boleh memaksa maupun memperdaya pelanggan demi tercapainya target penjualan. Sebaliknya, dia harus senantiasa terbuka dan menjelaskan secara gamblang mengenai produk tambahan berikut biaya yang harus dikeluarkan pembeli apabila menyetujui penambahan tersebut.”
Paula melanjutnya dengan menulis seperti ini:
Nyatanya, strategi marketing yang seharusnya wajar saja dilakukan ini menjadi berkonotasi jelek saat ini. Sentimen negatif muncul karena banyak penjual menerapkan upselling dengan tidak semestinya. Mereka malah seperti membodohi konsumen demi keuntungan sepihak. Staf penjual… memanfaatkan ketidaktahuan pelanggan dan menyembunyikan informasi. “… ini merupakan salah satu tindak kejahatan terselubung.””
Sebuah warung gudeg emperan di Jogja menerapkan teknik ini. Kembali, saya tidak tahu apakah si ibu penjual tahu istilah “upselling”. Namun, yang dia lakukan jelas menggambarkan “kejahatan” itu karena tidak membarenginya dengan informasi soal harga.
Kita sama-sama tahu kalau gudeg itu bisa murah atau mahal tergantung pemilihan lauk. Kalau makan nasi gudeg, krecek, dan tahu/tempe, mungkin kamu cuma akan habis 10 ribu. Berbeda kalau makan nasi gudeg, krecek, tahu, telur rebus separuh, plus ayam kampung, bisa habis 20 ribu, bahkan lebih.
Baca halaman selanjutnya: Pembeli harus berani berkata “tidak”.
Cara penjual melakukan upselling
Suatu pagi saya hendak membeli gudeg. Warung emperan ini sudah cukup terkenal di dekat tempat tinggal saya. Si ibu mewarisi usaha gudeg ini dari ibunya. Dan keluarga besar saya kenal dekat dengan “si ibunya ibu”. Paham kan maksud saya. Jadi, ketika si ibu melihat saya datang, dia mengenali saya.
Begitu memarkirkan motor, saya langsung memesan, dalam Bahasa Jawa:
“Bu, gudeg krecek tahu satu. Sama gudeg ayam yang kepala.” Gudeg ayam, khususnya bagian kepala, adalah favorit bapak saya.
Si ibu, dengan senyum dan nada bicara begitu ramah menyambut saya. Sambil membungkus pesanan pertama, dia bilang begini:
“Nggak nambah telur, Mas?”
“Mboten,” jawab saya, masih ramah.
“Koyor, ya, Nambah koyor. Ini kemarin nggak ada.”
“Mboten.”
“Saya tambah ayam suwir, ya, Mas,” dia belum menyerah.
“Mboten, Bu!” Suara saya mulai agak naik dan si ibu tahu saya mulai kesal.
Begitulah caranya melakukan upselling. Pertama, saya berani menolak karena kenal dengan si penjual. Kedua, saya tetap beli di sana karena bapak saya suka. Jadi, kalau orang tua menyuruh saya membelikan gudeg, tentu saya wajib berangkat.
Memanfaatkan rasa sungkan orang Jogja
Lantaran sudah sering beli gudeg di sana, saya jadi sering mengamati pembeli yang “terjebak”. Kalau cuma “iya iya saja”, ya boncos.
Gudeg krecek tahu yang suka saya beli cuma habis 12 ribu saja. Di tempat lain malah bisa 10 ribu. Kalau meng-iya-kan tawaran si ibu, bisa harus membayar 25 ribu sampai 30 ribu karena nambah telur dan ayam kampung.
Semua karena “rasa sungkan” khas orang Jawa, lebih tepatnya Jogja. Rasa “rikuh” ini memang merugikan bagi diri sendiri. Mudah terjebak bujuk rayu penjual gudeg ya akhirnya harus keluar uang lebih. Pada akhirnya, kalau diteruskan dan penjual lainnya mencontoh, nama Jogja yang kena.
Dosa ini memang menyebalkan.
Penulis: Yamadipati Seno
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 6 Dosa Penjual Gudeg yang Ngaku Asli Jogja
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.