Saya punya seorang kakak ipar yang sudah sekira delapan tahun bekerja di Jerman. Di sana, ia bekerja sebagai auditor sekaligus akunting di suatu perusahaan. Menurut pengakuannya, ia sudah kadung betah dan nyaman kerja di negara asal hamburger tersebut. Bahkan, ia tidak memiliki keinginan untuk kembali bekerja di Indonesia. Hal tersebut dilakoni karena sudah menjadi cita-citanya sejak masa remaja untuk bisa bekerja di luar negeri.
Namanya juga cita-cita sekaligus pilihan hidup. Sudah sewajarnya ia merasa bahagia saat berhasil menjalani sesuatu yang sudah dicita-citakan sejak lama. Dan karena ia pulang ke Indonesia hanya satu atau dua tahun sekali, komunikasi biasa kami lakukan via video call.
Banyak hal yang kami perbincangkan sampai dengan saat ini. Bagaimana kondisi, suasana, dan kultur di Jerman, khususnya saat menghadapi pandemi. Ruang lingkup juga budaya kerja di sana, sampai dengan ajakan untuk pindah kewarganegaraan dari beberapa orang di kantor tempat ia bekerja. Nggak tanggung-tanggung, bahkan mereka akan membantu prosesnya jika memang dibutuhkan, sampai dengan proses di kedutaan.
Kakak ipar saya mengaku sempat goyah dan betul-betul ingin pindah kewarganegaraan ketika ia mulai memikirkan beberapa hal. Hidup yang lebih layak, gaji yang terbilang tidak sedikit, juga penerimaan gaji secara maksimal jika ia bersedia pindah kewarganegaraan, hanya beberapa diantaranya. Karena, pekerja yang berasal dari luar negeri, kerap kali mendapat potongan yang cukup besar dari total gaji keseluruhan.
Di satu sisi, ia juga sempat kepikiran. Bagaimana seandainya kelak ia sakit atau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Tidak ada keluarga terdekat yang bisa ia mintai pertolongan.
Di sisi yang berseberangan, para anggota keluarga juga tetap ikut memastikan bahwa jika keputusan sudah bulat, tidak ada penyesalan sedikit pun di waktu mendatang. Belum lagi omongan ini-itu dari orang lain yang mengatakan pindah kewarganegaraan sama saja dengan tidak cinta dengan negara asal yang sudah ia pijak selama hidup.
Hmmm. Sebentar, sebentar, sebentar.
Rasanya, cinta tanah air tidak bisa dianalogikan begitu saja secara serampangan. Apalagi hanya dari satu sudut pandang. Meski keputusan akhir ada pada dirinya, hal ini terbilang sulit dan dilematis.
Ini soal pindah kewarganegaraan dan bukan sesuatu yang sepele. Butuh pertimbangan yang sangat, sangat matang. Lebih dari sekadar mutusin pacar saat dirasa ada yang nggak cocok. Walaupun bisa balik lagi ke negara asal, tentu saja perlu mengerahkan waktu, tenaga, pikiran, dan biaya yang tidak sedikit. Wajar saja jika ipar saya terus memikirkan ini secara hati-hati.
Perlahan, para anggota keluarga mulai merestui keinginannya untuk pindah kewarganegaraan. Toh, mau bagaimanapun, saat rindu dengan kampung halaman, ia akan tetap kembali pulang. Dan yang perlu ditegaskan, baginya, pindah kewarganegaraan bukan berarti lupa atau nggak cinta dengan negara asal. Sebab, ada beberapa hal yang sulit dijelaskan kepada orang terdekat. Kalaupun disampaikan, belum tentu orang lain memiliki keinginan untuk memahami sebuah keputusan yang sudah dibuat.
Satu yang pasti, sebelum pada akhirnya pindah kewarganegaraan, segala persiapan sudah ia lakukan. Beberapa di antaranya: mengenali budaya sekaligus bahasa setempat, sudah tahu akan tinggal di mana, dan memberikan nomor kontak anggota keluarga jika terjadi suatu hal yang tidak diinginkan. Menurutnya, hal ini sangat penting untuk dilakukan jika kita hidup seorang diri di luar negeri untuk sekadar berjaga-jaga.
Selain itu, diperlukan perencanaan hidup yang matang, juga rencana B, C, D, dan seterusnya, jika kelak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan ketika bekerja di negeri orang. Bukan soal insecure, tapi, lebih kepada agar punya visi dan misi yang jelas saat kita memutuskan untuk melepas status warga negara asal.
Positif dan negatif itu sudah menjadi satu kesatuan yang sulit dipisahkan. Termasuk saat kita memutuskan untuk tinggal sekaligus bertahan di negeri orang. Kita harus pandai beradaptasi terhadap kebiasaan orang di sekitar. Dan tentu saja peribahasa, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” bisa menjadi acuan yang sangat berharga jika kelak kita ingin hidup di negeri orang.
BACA JUGA Rekomendasi Tujuan Pindah Kewarganegaraan Jika Level Muakmu Sudah Berlebihan dan artikel Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.