Setelah umur 25 tahun, saya baru sadar, ternyata pura-pura menyukai sesuatu itu lebih sakit daripada nggak disukai cewek seorang pun. Kalau tak disukai cewek masih mending, kita masih punya satu pilihan, ngejomlo. Tapi, kalau sudah berpura-pura, kita akan selalu dihantui oleh rasa tak enakan, rasa tak puas hati, rasa berdosa, bahkan malu sendiri jika ketahuan. Itulah yang saya rasakan ketika berpura-pura menyukai sepak bola. Kenapa saya mesti berpura-pura? Sebab saya seorang cowok yang tidak suka sepak bola.
Sepak bola adalah simbol maskulinitas di dunia laki-laki. Seolah-olah kelelakianmu harus dibuktikan oleh sejauh mana bola yang kamu tendang. Mungkin sama seperti make up pada perempuan, belum pantas dikatakan cewek kalo nggak jago dandan (mungkin itu alasannya kenapa cewek yg pintar dandan lebih laku meskipun dia masak ikan keasinan).
Sebagai seorang cowok dan ingin diakui saya pun menuntut diri saya untuk menyukai sepak bola. Masalahnya, saya tidak suka sepak bola.
Serius! Biar kata kumisan, muka galak, suka ngopi ini, sumpah disambar calon mertua, saya tak pandai main bola. Jangan kata main, nama-nama klub, pemain Liga Inggris, Spanyol, Italia, dan lain-lain itu jangan harap saya bisa hafal. Paling banter, ya MU, Cristiano Ronaldo, Messi, cuma itu yang saya hafal. Itu pun nama-nama yang sering disebut orang.
Kenapa saya tidak suka sepak bola? Pokoknya ada lah alasannya, terlalu rumit untuk saya ceritakan di sini. Yang jelas hal ini berimbas kepada pergaulan sosial saya di kemudian hari bahkan sampai sekarang.
Menjadi orang yang tidak suka sepak bola di tengah orang yang hobi bola itu seperti tiang di tengah masjid. Kalau kamu tak merokok, teman-temanmu masih bisa untung, rokok mereka tak berkurang. Lah ini, kalau sudah jadi tiang di tengah masjid apa untungnya? Mau dianggap, ini orang tak paham bola. Tak dianggap, tapi orang ini ada. Jadinya teman-temanmu itu yang kasihan.
Hal yang bikin risih lagi adalah ketika ada teman mau ngajak main futsal, tapi kurang orang. Saya yang kebetulan ada di situ, sontak dilirik oleh kawan saya, “Kau aja lah, Ren.”
“Dia ini nggak suka bola!” timpal teman saya yang lain sebelum saya bersuara.
Payah! Alhasil, mereka cari kawan lain yang letak rumahnya jauh di kampung sebelah. Lagi-lagi saya harus kasihan dengan mereka gara-gara saya yang tidak suka sepak bola.
Namun, bagaimanapun saya kasihan ke mereka, saya lebih kasihan lagi pada diri saya. Kecemasan sering kali menimpa saya ketika akan bergabung ke lingkungan sosial yang baru. Bahkan berimbas pada hubungan asmara saya.
Saya pernah tiga tahun tak punya pacar. Bukan karena tak ada yang mau, melainkan saya merasa insecure duluan sebelum berkenalan. Apalagi pas cewek yang saya taksir itu badannya lebih atletis dari pada saya. Apa jadinya jika nanti dia tahu kalo saya tidak suka sepak bola? Bukankah cowok yang suka olahraga lebih menjanjikan? Apa jadinya kalau misalnya kami nikah, terus dia punya adik cowok, ngajak saya main bola. Saya harus jawab apa? “Maaf dek abang nggak bisa main bola.”
Apa kata dia pada mertua saya? “Ma, kok kakak nggak pinter cari suami?”
Begitulah beberapa hal yang saya alami selaku manusia yang tidak suka sepak bola. Dicap “bukan teman seru” dan terasing sendiri. Itu pula sebabnya kenapa saya dulu senang berpura-pura menyukai sepak bola. Meskipun pada akhirnya saya sadar, terus berpura-pura itu capek.
Sekarang, persetan dengan semua orang. Saya tak akan pernah malu lagi mengakui saya tak suka bola. Biarlah kejantanan saya diragukan. Stereotip ini harus segera didobrak, kalau bisa dihentikan. Menyukai sepak bola bukanlah kewajiban seorang laki-laki. Tidak ada hubungannya hobi dengan jenis kelamin. Kalau memang tidak suka sepak bola, mau diapakan lagi? Perasaan suka itu fatal jika dipaksakan.
Bukankah bukti kejantanan itu tidak diukur dari berapa panjang jarak bola yang kita tendang, melainkan seberapa panjang, ehem, kesetiaan kita pada teman dan pasangan?
BACA JUGA Cerita tentang Desa yang Tidak Memiliki Lapangan Sepak Bola