Pernahkah kawan-kawan sekalian bertransaksi sesuatu, entah servis barang atau jasa lainnya tapi si pedagang tidak tegas dalam memberikan tarif. Padahal tarif itu goalnya si pedagang dalam menjajakan produk atau jasanya. Yak, bener. Mereka menetapkan tarif seikhlasnya saja.
Saya sering menemui orang yang mematok tarif kayak gini, dan dibuat bingung juga karenanya. Kadang, ada tukang yang betulin AC, rumahnya jauh, material yang diganti tidak seberapa. Cuma karena saya dan keluarga sudah langganan dan kenal baik dengan orangnya, tarif pun tidak lagi menjadi masalah, yang penting seikhlasnya saja.
Ada lagi, yang betulin kulkas. Tukangnya betul-betul harus dari toko di mana kulkas itu dijual, atau khusus dari servis center-nya. Jauh-jauh datang ke rumah, beli material pun tidak seberapa, kerjanya hampir seharian, begitu ditanya berapa tarifnya. Lagi-lagi jawabannya, seikhlasnya saja.
Saya betul-betul tidak mengerti bagaimana cara berfikir pedagang-pedagang tadi, apa mereka tidak rugi dengan tenaga dan waktu atau pengeluaran material yang mereka lakukan? Kok ya bisa-bisanya ngasih tarif seikhlasnya. Ini bisnis, bukannya lembaga sosial yang bisa memberikan bantuan secara Cuma-cuma.
Bukannya saya jumawa atau sok kaya. Jujur saja dalam hati sebagai konsumen diberikan tarif seikhlasnya adalah kebahagiaan tersendiri. Selain saya tidak perlu bayar mahal, saya juga punya langganan pedagang, tukang, dan sejenisnya dengan sifat yang tidak perhitungan dan materialistik.
Di sisi lain, ada hati yang tidak ikhlas bercampur dengan rasa kapok karena diberikan bayaran yang tidak sewajarnya, siapa lagi kalau bukan si tukang tadi. Prinsip berdagang dan bertransaksi adalah adanya ijab qobul antara penjual dan pembeli, artinya ada kesepakatan diantara kedua belah pihak yang telah diketahui oleh masing-masing. Sedangkan kalau di depan ikhlas di belakang ngegrundel, ya sama saja transaksinya tidak barokah.
Sebagai konsumen, saya sebetulnya risih juga kalau ada pedagang-pedagang yang seperti ini. Alangkah lebih baik kalau berdagang itu diawali dengan kesepakatan dan diakhir dengan kesepahaman juga. Oleh sebab itu, berikut alasan kenapa sebaiknya tarif seikhlasnya tidak usah diterapkan dalam transaksi jual beli.
Tidak menguntungkan
Sifat berdagang adalah saling menguntungkan. Ingat ya, “BERDAGANG”. Bisa kalian cari ke ujung dunia mana pun, nggak ada satu pun pedagang yang ingin dagangannya rugi. Itu sudah jelas, sebab di dalam sisi bisnis, pedagang harus mengeluarkan modal yang tidak sedikit. Baik itu modal waktu, tenaga, atau pikiran.
Menetapkan tarif seikhlasnya tentu sangat tidak menguntungkan dalam sisi bisnis. Anda bayangkan saja apabila ada orang ingin menyervis sesuatu, tentu si tukang servis setidaknya perlu modal yang tidak sedikit. Pengeluaran yang dikeluarkan seperti ongkos perjalanan, waktu yang tersita, tenaga yang dikeluarkan, tentu mengharapkan upah yang sepadan. Kalau upah seikhlasnya, kapan modalnya balik?
Tidak barokah
Di ajaran agama Islam, bisnis yang menguntungkan adalah bisnis yang barokah. Bisnis yang tidak merugikan pihak lainnya, baik dari sisi penjual atau dari sisi pembeli. Bagaimana bisa tidak merugikan kalau semua didasari dari seikhlasnya saja? Pandangan masing-masing pihak tentu berbeda. Dari sisi pedagang, berharap upah yang sepadan syukur-syukur ditambah tapi dari sisi konsumen sebisa mungkin membayar upah tidak terlalu besar.
Menilik dari kesepahaman itu saja sudah salah dan merugikan kedua pihak. Nah masalah itu kadang-kadang membuat ganjalan dari masing-masing pihak. Yang satu merasa bayarannya nggak sepadan, yang satu menganggap segitu udah cukup. Mending terbuka aja, tarifnya segini, kalau mahal tawar kalau nggak mau cari pedagang lain. Kan begitu selesai, daripada nggrundel di belakang.
Retaknya hubungan persaudaraan
Percaya atau tidak, urusan uang bisa bikin ribut hubungan seseorang. Hal ini bisa saja terjadi di antara hubungan pedagang dan konsumennya. Menerapkan tarif seikhlasnya adalah kesalahan besar yang seharusnya tidak dilakukan oleh penjual. Dengan menerapkan tarif seikhlasnya, artinya pedagang menawarkan perang dagang dengan konsumennya.
Salah-salah bisa bikin ribut keduanya. Yang awalnya punya hubungan baik gara-gara diupah dengan nilai yang tidak sepadan, bukan tidak mungkin keduanya akan berselisih paham. Yang satu ingin diberikan upah sekian, yang satu merasa upah yang dibayarkan sudah seharusnya cukup. Kenapa tidak tegas saja sih ya kalau mau segini, kalau nggak mau tinggal ?
Untuk para pedagang, sebaiknya mulai menghilangkan sedikit-sedikit kebiasaan menetapkan tarif seikhlasnya. Tidak lain dan tidak bukan, tujuannya untuk memberi keuntungan kepada dua pihak. Pihak satunya biar tahu harus bayar berapa, pihak satunya lagi biar nggak rugi. Enak to?
BACA JUGA Alternatif Profesi bagi Lulusan Akuntansi, biar Nggak Dianggap Kasir Perusahaan Terus dan tulisan Muhammad Abdul Rahman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.