Laga seru antara Persita bersua PSM dalam lanjutan Liga Satu yang dihelat di Stadion Sport Center, Tangerang. Laga berjalan dengan semestinya, berjalan alot dan La Viola benar-benar menciptakan tekanan untuk tamu. Namun jadi berbeda ketika kamera menyorot gairah suporter Persita dan sang komentator sok asyik untuk O Channel yang bernama Rama Sugianto mencoba memecahkan suasana dengan jokes kampungan yang membahas tentang tubuh perempuan.
Bukan masalah jokes yang tidak lucu karena pada dasarnya ia dibayar bukan untuk melucu. Bukan juga formula jokes yang sudah kadaluarsa seperti, “ada yang….tapi bukan….” kembali dipergunakan. Melainkan, muatannya yang membahas tentang tubuh dan tentunya norma ketimuran sangat menentang hal seperti ini. Terlebih, guyonan nggatheli ini kok ya bisa-bisanya dilepaskan ketika acara live dan ditonton jutaan masyarakat Indonesia.
Komentator tersebut langsung tertawa sangat keras, seakan tidak memikirkan sejarah panjang stadion hingga kini bisa bisa dimasuki dengan aman untuk keluarga, perempuan, dan anak-anak sekalipun. Ternyata, dengan adanya hal seperti ini, musuh terbesar dalam sepak bola bukan hanya faktor non-teknis seperti pengaturan skor dan kerusuhan saja. Melainkan masih ada segelintir pihak yang menganggap dirinya superior dan bebas untuk mencela orang lain sebagai bahan guyonan yang tidak perlu. Dan fatalnya, yang melakukan hal ini adalah sosok berpengaruh dalam mengudaranya sepak bola ke seluruh penjuru negeri, yakni komentator.
Menjadi titik tolak dalam pikiran saya, pertama adalah apa lucunya guyonan garing yang terus diulang berkali-kali seperti apa yang dikatakan oleh si komentator ini? Ada yang garing tapi bukan pakaian kering. Gitu? Harusnya ya fokus saja sama bahasan sepak bola karena konteksnya adalah pertandingan Persita melawan PSM. Beri ilmu-ilmu baru bagi pendengar tentang pertandingan ini. Apa saja temanya? Bisa sejarah kedua tim, rivalitas antara keduanya, atau membahas strategi yang kedua tim terapkan.
Kedua, apasih lucunya guyonan tentang susu atau penis? Orang-orang seperti Pak Rama Sugianto ini mungkin adalah mereka yang tertawa ketika duduk di kelas enam SD dan masuk ke pelajaran IPA dalam bab reproduksi. Sini saya perkenalkan dengan Enny Arrow, sang legenda yang melihat seksualitas dari sisi sebuah sastra. Mungkin yang ada bukannya tertarik ketika membaca Di Malam yang Kelabu-nya Enny, si bapak yang ada malah terpingkal-pingkal setengah mampus tiap membuka lembar demi lembar.
Guyonan tentang tubuh mungkin sudah lekat dalam kehidupan kita. Hadirnya seperti udara yang memenuhi seisi dunia. Tapi guyonan ini adalah udara yang berisikan muatan kotor yang dapat membuat tingkatan diskriminasi meningkat. Tidak hanya tertuju pada perempuan, terkadang guyonan tentang penis pun sering dikumandangkan tanpa cela dan rasa bersalah yang mengiringinya.
Seperti apa yang kerap terjadi di negeri ini, selain fulus, semua bisa diselesaikan dengan klarifikasi yang sebenarnya tidak bikin kelar-kelar amat. Dengan berisikan muatan minta maaf dan berjanji tidak mengulang, Pak Rama Sugianto menulis seperti ini: mohon maaf sekali lagi jika bercanda saya sangat berlebihan.. ini jadi pelajaran berharga tentunya untuk saya ke depannya.. insyallah ini tidak akan terulang ke depannya??
Ternyata benar, dalihnya adalah bercanda dan memecah suasana. Mungkin dalam keadaan yang sedikit gugup atau bagaimana, blio tidak bisa mengolah bercandanya. Jika tidak bisa memprediksi jokes bakal lucu atau tidak, seharusnya blio bisa memprediksi dampak apa yang akan ia tanggung kala berkata seperti itu. Karena stadion itu milik bersama, tidak hanya diperuntukkan satu jenis kelamin saja atau satu pemikiran saja.
Mengutip dari Magdalene, melalui tulisan Apa yang Lucu dengan Tubuh Perempuan?, melalui sebuah survey dari Western Carolina University dan University of Surrey yang hasilnya mengatakan bahwa guyonan seksual atas tubuh perempuan berkaitan erat dengan perilaku seksual seseorang. Berpengaruh pula pada cara pandang pelaku terhadap posisi perempuan di dunianya.
Kembali ke ranah sepak bola, toh Ultras dan Mania kini sudah bisa berbagi tribun, ibu-ibu bisa nyuapi anaknya dengan tenang di stadion dan persentase pria dan perempuan yang masuk stadion mulai berimbang. Masa konsep yang sudah indah seperti ini dibuat ruwet hanya karena kata-kata dari komentator. Bagaimana jika ada yang jadi paranoid masuk stadion karena takut disorot secara diam-diam atau risi karena tujuan utama datang ke stadion ya untuk nonton, bukan untuk ditonton.
Tidak adil rasanya jika mengemukakan permasalahan tanpa memberikan solusi yang riil. Dan untuk Pak Rama Sugianto, mungkin saya bisa memberikan kiat-kiat bagaimana komentator yang disukai oleh penontonnya. Walau dalam versi saya, toh hal ini worth it untuk dilakukan sebelum tampil lagi dan mengisi komentar untuk pertandingan Liga Satu pekan depan. Tapi, itu pun jika blio masih dipercaya.
Pertama, coba mengunjungi pertandingan tarkam dan teliti lebih lanjut bagaimana sang komentator membangkitkan keriuhan penonton tanpa menyinggung banyak pihak. Kadang yang bikin tarkam jadi seru itu komentatornya. Semangat tapi nggak lebay. Tiap katanya dalam menggambarkan apa yang terjadi di lapangan adalah daya tarik yang tidak akan pernah terjadi ketika menonton tivi.
Apa lagi komentator tarkam yang menggunakan bahasa daerah. Menggunakan istilah-istilah slang yang mengganti kata-kata umum seperti tendang, umpan, dan sundul. Ketimbang guyonan tentang tubuh yang nggak lucu, coba pakai aksen ngapak yang bisa dijadikan sebagai ciri khas yang tidak akan dijumpai oleh komentator lainnya, juga itung-itung melestarikan budaya daerah.
Kedua, coba dengarkan komentator bulutangkis di radio. Bagaimana komunikasi satu arah yang coba dilakukan oleh mereka. Mendengarkan mereka berbicara, rasanya seperti melihat secara langsung dan bisa bikin merinding dengan semangat yang coba mereka ungkapkan. Sensasi ini sulit ditemui dalam acara sepakbola yang kebanyakan out of topic dan sok asyik.
Memang sih, komentator sepak bola dalam pandangan saya dibagi menjadi dua. Satu, yang mencoba membimbing jalannya pertandingan, contohnya adalah Bung Jebret. Biasanya komentator tipe ini mengedepankan sisi entertain. Satunya adalah komentator tipe analisis, contohnya adalah Bung Binder yang membuka diskusi umum tentang strategi yang diterapkan selama jalannya pertandingan. Kedua tipe ini harus dipadukan, agar saling melengkapi.
Namun, dalam dunia komentator pertandingan bulutangkis di radio, ini dilakukan oleh satu orang dan melakukan peran ganda. Analisis, hiburan dan bahkan untuk mengembangkan suasana. Komentator bulutangkis bagai seorang novelis, tujuannya agar pendengarnya bisa merasakan apa yang sedang komentator ini rasakan. Bagaimana? Keren, kan? Nggak harus gojek kere kok untuk jadi keren dan memecah suasana.
Well, terlepas apa yang diucapkan oleh Pak Rama Sugianto, ini adalah alarm bahwa masih ada segelintir orang yang maksa untuk melawak dan merusak konteks beserta esensinya. Apa lagi muatan lawakannya ini masuk kategori yang menyebalkan. Sejarah panjang perempuan mendapatkan stereotip dan juga diskriminasi dalam stadion memang patut dilawan. Namun seiring perkembangan dari sepak bola itu sendiri yang menuntut kesetaraan secara alami, hal ini berangsur sirna walau belum sepenuhnya. Terkhusus dalam sepak bola Indonesia, stadion adalah rumah bagi siapa saja.
Di Jazirah Arab saja kaum perempuan sudah diperbolehkan masuk ke stadion dengan tenang dan aman, masa di negara kita malah mengalami kemunduran? Cukup kuis-kuis sebelum berlangsungnya kick off saja yang menyebalkan, komentatornya jangan.
BACA JUGA Gaya Bahasa Komentator Sepak Bola yang Mengundang Tawa atau tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.