Sewaktu kuliah, teman saya mengatakan bahwa jika pacaran dia tidak akan mencari yang satu kampus—apalagi satu jurusan. Sebab dia akan merasa bosan dengan intensitas pertemuan yang terjadi.
Setelah dia mengatakan hal demikian, saya langsung berpikir—apa mungkin jika memang saling suka apalagi sayang, bisa mengalami rasa bosan? Selama saya pacaran sampai dengan bertahun-tahun, tidak ada rasa bosan jika memang harus bertemu. Entah apa yang membuat teman saya merasa bosan selama pacaran—apa memang tidak begitu suka dengan pacarnya? Apa kegiatannya yang itu-itu saja selama bertemu?
Padahal, salah satu hal sederhana yang bisa membuat rasa sayang tumbuh berkembang adalah dengan bertemu. Kalimat “witing tresna jalaran saka kulina” bisa menjadi penguat dasar pemikiran saya tersebut.
Akan kontras saat individu macam teman saya ini dihadapkan pada LDR (Long Distance Relationship)—yang mana ketika rindu justru tidak bisa segera bertemu. Bisanya hanya mengeluh di medsos, agar orang lain tahu bahwa dirinya sedang menjalani hubungan jarak jauh juga iri saat melihat orang lain bisa dengan mudahnya bertemu jika sedang dilanda rindu.
Bagi saya—jika memang sayang, apalagi dengan komitmen yang baik, rasa bosan bisa teratasi dengan sendirinya. Apa yang kita dapat berasal dari apa yang dipikirkan. Apa sebab seseorang menjadi bosan dalam hubungan dengan orang yang memang disayang? Adakah harapan yang tidak kunjung dikabulkan? Jika memang iya—sebaiknya bisa didiskusikan, buka obrolan bersama.
Perubahan fisik pun tidak bisa dijadikan alasan untuk keluarnya sebuah pernyataan bahwa seseorang bosan dengan pasangannya. Bukannya sedari awal kita sudah menyadari, kondisi fisik itu bukan sesuatu yang abadi? Toh, kenyamanan yang dirasa saat berdua, sudah pasti adanya dan akan lebih terasa sampai ke hati. Lalu, bosan karena apa? Apakah karena kesibukan? Begini, bagi saya, tidak ada orang yang benar-benar sibuk, yang ada hanya mau atau tidak untuk memberi kabar, mau atau tidak untuk sekadar berbalas chat, mau atau tidak meluangkan waktu untuk berbincang bersama, jalan berdua, mau menyempatkan diri atau tidak.
Lagi, bagi saya, pasangan yang membuat nyaman ialah mereka yang bersedia berbagi cerita dalam waktu yang lama, sebab, kelak jika sampai tua nanti tidak ada lagi yang bisa dilakukan karena keterbatasan fisik, setidaknya saya dan pasangan masih bisa berbincang bersama dalam semesta yang kami buat.
Barangkali rasa bosan yang dirasakan merupakan bagian dari anugerah yang diberi Tuhan untuk saling mengetahui, seberapa jauh kalian akan bertahan dan memahami satu sama lain. Jika bosan saja kalian tidak bisa taklukan, lalu bagaimana dengan cobaan di masa mendatang, ketika kalian sudah sama-sama terikat dan mengikat.
Saat memang dihadapkan pada hal seperti itu, cobalah ingat bagaimana cara kalian bertemu, bagaimana pertama kali dirimu memandang pasanganmu dengan penuh kasih, rasa ingin tahu dan ingin kenal lebih jauh. Coba diingat kembali, bagaimana pertama kali cara untuk mendapatkan nomornya, lalu saling sapa dengan canggung baik di sosmed pun di kehidupan nyata, “hai..”, begitu yang terucap secara spontan. Coba dikenang kembali, bagaimana kalian bisa saling menemukan pada waktu yang tepat. Saat sama-sama sedang sendiri, butuh teman sharing yang memang sama dalam canda dan tawa, saling menemani sewaktu hati terasa sepi.
Kalian merasa lelah dengan hubungan dan prosesnya? Beristirahat sejenak akan menjadi opsi yang baik walau bukan utama. Tetap dengan syarat, melalui komunikasi rasa bosan harus dan akan dilalui. Meninggalkan pasangan yang setia menemani harimu hanya karena bosan, menurut saya bukan pilihan yang bijak. Kebosanan adalah rasa yang temporer, bisa datang kapan saja, dan sewaktu-waktu akan hilang dengan sendirinya. Mencari yang lain pun belum tentu lebih baik yang akan didapat. Dia yang baru, hanya akan menjadi pelampiasan rasa bosanmu sesaat. Bukankah akan lebih menyakiti hati yang lain, yang sudah penuh harap?
Terakhir, apakah rasa bosan timbul karena kesalahan pasangan yang selalu diulang? Sudahkah diingatkan? Atau, mungkin sudah diambang batas kesabaran? Jika memang sudah dimaafkan, tapi, masih saja dilakukan, yang seperti itu mungkin baiknya ditinggalkan. Satu kata, tuman! Pada akhirnya, kita semua layak untuk mendapat kenyamanan masing-masing, dengan atau tanpa perhatian.