Seberapa kaget seorang warga Solo yang jarang jalan-jalan keluar Solo Raya saat harus tinggal beberapa lama di Bandung bukan sebagai wisatawan?
Saya adalah seorang warga Solo Raya yang sejak SD jarang sekali bepergian keluar Solo Raya. Sejujurnya, bahkan tidak seluruh Solo Raya pernah saya jelajahi. Dari ketujuh kota/kabupaten di Solo Raya yang juga diberi akronim “Subosukowonosraten”, saya paling banter hanya keliling-keliling ke lima di antaranya. Kepanjangan dari akronim “Subosukowonosraten” adalah Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, dan Klaten.
Buat saya, Solo Raya sudah cukup komplit, indah, dan nyaman untuk ditinggali. Modernitas juga mudah ditemui apabila berkunjung ke Kota Solo yang mana di dalamnya terdapat berbagai kelas mal, bank, restoran dan kedai kopi kekinian, bandara, stasiun kereta api, dan angkutan online. Untuk urusan wisata, Solo Raya juga sangat kaya akan tempat wisata, hanya minus tidak ada pantai saja.
Pada tahun 2016, saya pindah ke Bandung Raya tepatnya di wilayah Kabupaten Bandung Barat karena diterima bekerja di salah satu perusahaan di sana. Saya tinggal di Kecamatan Padalarang, yang apabila dialihbahasakan ke bahasa Jawa artinya larang kabeh alias mahal semua, hehehe. Tentu saja itu bukan arti kata Padalarang yang sebenarnya, hanya akal-akalan saya saja.
Padalarang sekilas mirip dengan Kartasura yang ramai dengan aktivitas pasar dan padatnya lalu lintas antarprovinsi. Bahkan saat ini semakin mirip lagi karena sama-sama memiliki kedekatan jarak dengan pintu tol, sehingga aktivitas perjalanan kendaraan darat semakin signifikan.
Kawasan Solo Raya cukup unik karena pada beberapa wilayah terdapat gunung (Boyolali dan Karanganyar) sehingga udara cukup dingin, namun di sebagian besar wilayahnya terbiasa dengan suhu cenderung terik dan panas. Dan saat pertama kali pindah ke Bandung, yang paling saya ingat adalah perbedaan suhu antara Solo dan Bandung yang cukup jauh.
Saat saya menginjakkan kaki di stasiun Padalarang pada bulan Januari 2016, suasana sedang gerimis dan berkabut sehingga menimbulkan sensasi dingin menggigit sampai ke tulang. Saat saya masuk ke gedung tempat saya bekerja pun, ternyata suasana dinginnya tidak berubah, baik di dalam maupun di luar ruangan sama-sama dingin. Culture shock pertama saya terhadap bandung: dingin. Warga Solo, terutama yang terbiasa dengan panas, sebaiknya bersiap membawa jaket untuk menghangatkan diri jika pindah ke Bandung.
Hal selanjutnya adalah tipikal warna kulit dan raut wajah yang berbeda antara warga Solo Raya dengan warga Bandung Raya. Jika di Solo Raya saya terbiasa bertemu dengan sesama suku Jawa yang cenderung memiliki raut wajah tegas dan kulit berwarna sawo matang, di sini sebagian besar penduduk bersuku Sunda dengan raut wajah lebih lembut dan warna kulit kuning langsat. Dengan raut wajah dan warna kulit seperti itu, warga Bandung Raya terlihat lebih effortless dalam berpenampilan karena dari awal genetiknya sudah mendukung. Tak hanya raut wajah dan warna kulit, mata yang bulat, rambut hitam, dan hidung mancung sepertinya juga merupakan warisan Dayang Sumbi kepada warga Bandung. Anugerah yang membuat warga Bandung dapat dimasukkan ke dalam golongan masyarakat good looking.
Solo Raya dekat dengan keraton dan memiliki tutur kata yang halus, mungkin paling halus di antara semua golongan warga suku Jawa. Akan tetapi, di Bandung, tingkat kehalusan warga Solo mesti bersaing lagi dengan halusnya bahasa Sunda aksen Bandung. Tutur kata warga Bandung yang mendayu-dayu, sopan, dan kelewat ramah di kuping tentu saja makin menambah pesona daerah ini. Bandung memang mendapat julukan sebagai kota dengan penutur bahasa Sunda paling halus, yang entah bagaimana bisa terjadi.
Untuk persoalan makanan dan harga, inilah yang paling kontras dan membuat saya sebagai warga Solo Raya mengalami culture shock lainnya. Apabila di belakang kampus UNS Solo nasi ayam geprek dan es teh manis dapat dibayar dengan harga Rp6,5 ribu hingga Rp7 ribu saja, hal itu tidak akan terjadi di Bandung Raya. Untuk satu porsi makanan sejenis tanpa es teh manis, setidaknya perlu Rp14 ribu di sini. Bedanya, di Bandung minuman teh tawar biasanya disediakan gratis di setiap warung makan. Bagi warga Solo Raya yang terbiasa dengan rasa manis, awalnya meminum teh tawar akan memunculkan sensasi tidak komplit. Namun seiring berjalannya waktu, percayalah bahwa teh tawar tidak seburuk itu dan es teh manis justru menjadi aneh. Sejalan dengan harga makanan, harga kebutuhan pokok yang lain juga tak kalah menanjak dibanding dengan Solo Raya. Sayang sekali tidak diimbangi dengan UMR Bandung Raya yang cenderung murah untuk harga kebutuhan dasar setinggi itu.
Mengenai modernitas dan tata kota di Bandung, secara fungsi cukup mirip dengan yang ada di Solo. Di Bandung juga terdapat mal, bank, angkutan kota, taman-taman yang indah, kedai kopi kekinian, dan sebagainya. Perbedaannya adalah di Bandung lebih banyak pilihan dan lebih komplit. Warga Solo tidak akan kesulitan beradaptasi dengan tata-kota Bandung, hanya akan merasa lebih dimudahkan dengan berbagai fasilitas ekstra yang ada di kotanya indah.
BACA JUGA Culture Shock yang Dialami Pemuda Jogja Saat Kuliah di Jogja atau tulisan Oky Ruslan Wijaya lainnya.