Saya mengenal Ambon sebagai kota tempat pahlawan nasional Pattimura dihukum. Bagi saya yang masih duduk di bangku SD kala itu, Pattimura adalah sosok pahlawan yang saya anggap dekat dengan keseharian lantaran wajahnya sering saya jumpai di uang kertas pecahan seribu rupiah. Iya, uang kertas seribu rupiah lebih sering saya bawa ketimbang uang pecahan lima ribu. Hehehe.
Beberapa waktu lalu, akhirnya saya mengunjungi dan berkesempatan menginap beberapa hari di Kota Manise. Selama beberapa hari tinggal di sana, saya menemukan beberapa hal unik sehingga butuh adaptasi lebih lanjut. Kira-kira kalau saya rangkum, beginilah culture shock yang saya rasakan sebagai orang Surabaya di Kota Ambon.
Daftar Isi
Bertemu macet di dekat pelabuhan
Daerah sekitar Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya dikenal sepi dengan ukuran jalan yang lebar dan banyak truk peti kemas lewat. Di sekitar pelabuhan pun nggak ada pusat keramaian. Namun saat datang ke sekitaran Pelabuhan Yos Sudarso, saya cukup terkejut karena melihat kemacetan kendaraan di sana. Beberapa jalan sampai sengaja ditutup dan dialihkan oleh petugas setempat saat ada kapal yang sedang bersandar.
Saya mencoba memahami karena daerah pelabuhan ini juga kawasan pusat perbelanjaan. Ada pasar dan pusat perbelanjaan cukup besar dan ramai di sekitar pelabuhan. Salah satunya Pasar Mardika dan pusat perbelanjaan Ambon Plaza. Saya pikir, kemacetan hanya ada di sekitaran pelabuhan, tapi rupanya berlanjut sampai mendekati jembatan Merah Putih. Apalagi di jam-jam padat seperti pulang kerja, kemacetan adalah hal biasa bagi masyarakat sini.
Hal ini akhirnya mematahkan stereotipe mengenai sepinya kehidupan di luar Pulau Jawa. Saya sendiri cukup kaget melihat kemacetan ini, begitu pula dengan keluarga di rumah yang saya kabari tentang kondisi Kota Ambon yang macet. Menurut keterangan driver ojek online yang saya naiki, kemacetan terjadi terutama saat jam-jam pulang kerja atau saat ada kapal yang bersandar di pelabuhan. Ditambah lagi masih ruwetnya tatanan kota dan banyaknya truk yang lewat saat jam sibuk.
Banyak sayembara musik di Ambon
Mulai dari lomba menyanyi, lomba bikin jingle, sampai lomba cipta musik pop sering saya temui di banner yang terpasang di pinggir jalan. Paling seringnya sih ditemui di depan gerbang kantor pemerintahan. Ambon memang punya slogan sebagai City of Music yang sudah diakui oleh UNESCO, dan ternyata itu nggak sekadar slogan fafifu gitu, Gaes.
Saat saya bertanya ke seorang teman yang asli Ambon, dia bilang kota ini dikenal sebagai kota musik salah satunya berkat musisi Glenn Fredly. Selain itu, musik memang lekat dengan masyarakat sini. Banyak acara adat dan budaya yang menyajikan musik sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat Ambon.
Orang Ambon makan pisang goreng pakai sambal
Dunia gorengan di Surabaya punya sambal pendamping yang disebut sambal petis. Namun, hanya beberapa jenis gorengan yang cocok dicocolkan ke sambal petis, misalnya tahu isi, ote-ote, atau tempe menjes. Untuk gedang goreng alias pisang goreng, biasanya orang Surabaya nggak mencocolkannya ke sambal, apalagi sambal petis.
Namun saat saya datang ke sebuah kedai di Ambon, saya terkejut melihat pisang goreng disajikan dengan sambal. Sambalnya beneran sambal yang banyak biji cabainya, Gaes, bukan saos sambal biasa.
Ketika mencicipi pisang goreng sambal untuk pertama kali, saya merasa agak aneh mengingat ini adalah sekte baru di dunia per-goreng-an. Saya nggak terbiasa dengan perilaku mencocol pisang goreng ke sambal, dan nggak terbiasa dengan rasa pisang yang pedas di lidah. Namun setelah beberapa kali mengunyah, rasanya lama-lama enak juga. Wqwqwq. Entah apakah saya bisa menerapkan makan pisang goreng pakai sambal ini ketika nanti balik ke Surabaya.
Akses angkot lebih mudah daripada ojol
Angkot di Kota Ambon adalah transportasi umum yang selalu saya lihat di setiap jalan. Kalau dihitung-hitung, saat saya berada di pinggir jalan di daerah Wayame, dalam 1 menit saja ada 3 angkot yang lewat dan menawarkan saya untuk segera naik.
Angkot di sini memang lebih mudah aksesnya daripada ojek online. Saya perlu menunggu lama untuk sekadar mendapatkan driver ojol di sini. Apalagi saat hendak menuju bandara dari daerah pusat kota saat subuh atau sekitar jam empat pagi ke atas. Wah, meski sudah mencoba berkali-kali, nggak ada satu driver pun yang nyantol. Kondisi ini berbeda tergantung daerah dan jam aktif, ya. Namun, mudahnya akses dan ketersediaan angkot yang banyak membuat saya lebih memilih angkot daripada naik ojek online selama di Ambon.
Nggak ada pisang ambon di Ambon
Saat saya hendak membeli pisang di sebuah minimarket yang juga menjual buah, saya bertanya kepada karyawan di sana. “Kak, ini pisang ambon bukan?” Dengan gercep blio menjawab, “Iya, Kak, ini pisangnya dari Ambon.”
Mendengar jawaban tersebut saya jadi kepikiran, pertanyaan saya kan tujuannya untuk menanyakan jenis pisang, bukan asal muasal si pisang. Duh.
Setelah saya tanya ke teman saya, dia menjelaskan bahwa pisang ambon di Ambon itu memang nggak ada. Bagi masyarakat Ambon, Maluku, dan sekitarnya, pisang ambon itu disebut sebagai pisang meja.
“Jadi, kalau mau beli pisang ambon di pasar, bilangnya pisang meja, bukan pisang ambon, ya. Hehehe,” jelas teman saya.
Full music dalam angkot
Saya sempat kaget dengan suara lagu yang keras saat saya berada di jalan raya. Biasanya di Surabaya, saya mendengar lagu dengan suara keras saat ada acara hajatan dengan sound system yang menggelegar. Sedangkan di Ambon, hampir sering saya mendengar lagu dengan volume kencang dari angkot.
Setiap angkot di Ambon disertai dengan speaker. Selama perjalanan, sang sopir dengan santainya menikmati lagu yang diputar via handphone atau radio player yang sudah tertanam di dekat setir angkot. Volume speaker akan dikecilkan saat ada penumpang yang mau turun. Nggak tanggung-tanggung, saat dini hari pun suara dari speaker angkot ini terdengar hingga ke kamar tempat saya menginap. Wqwqwq.
Walaupun butuh penyesuaian, Kota Ambon dengan segala keindahan alam dan keragaman masyarakatnya wajib dikunjungi. Semoga suatu hari nanti kalian juga punya kesempatan datang ke sini, ya. Hidup Ambon manise!
Penulis: Anisah Meidayanti
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 7 Tempat Wisata di Ambon yang Wajib Dikunjungi Versi Wisatawan.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.