Sesungguhnya, Culture Shock Terbesar bagi Orang dari Papua Adalah Pertanyaan Absurd Orang Kota

Sesungguhnya, Culture Shock Terbesar bagi Orang dari Papua Adalah Pertanyaan Absurd Orang Kota

Sesungguhnya, Culture Shock Terbesar bagi Orang dari Papua Adalah Pertanyaan Absurd Orang Kota (Pixabay.com)

Di akhir 2013, ketika masih berkuliah di salah satu universitas swasta di Yogyakarta, artikel saya berjudul 9 Pertanyaan Menyebalkan bagi Mereka yang Berasal dari Papua terbit di Hipwee. Saat itu, situs itu sedang hits-hitsnya, dan artikel saya menjadi salah satu artikel paling sering dibaca ketika itu (nyombong dikit).

Sesuai judulnya, isi dari artikel itu adalah curhatan saya berdasarkan pengalaman pribadi, serta pengalaman keluarga dan teman-teman yang berasal dari Papua yang sering mendapatkan pertanyaan nyeleneh yang bikin heran bin gemas. Di antaranya adalah, “Papua itu di NTT ya?”, “Kalau ke Papua harus pakai paspor?”, “Jayapura sama Papua jauhan mana?”, dan lain-lain. Sayangnya, kalau saya googling, artikel itu sudah tidak ditemukan lagi. Adanya di Kaskus yang sudah diedit menjadi milik orang lain. Hiks.

Siapa sangka, 10 tahun kemudian, tepatnya 2023 ini, minggu lalu, ketika mengikuti suatu kegiatan di Jakarta, saya mendapatkan pertanyaan yang sejenis. Duh Gusti.

“Di Papua ada bubur ayam?”

Ceritanya saat itu kami menginap di salah satu hotel berbintang 4 di daerah Jakarta Utara. Ada 174 peserta yang mengikuti kegiatan ini, sehingga kami belum mengenal semuanya (sampai kegiatan berakhir juga belum kenal semua, hahaha).

Namanya hotel bintang 4, sudah jelas dong, sarapannya banyak jenisnya. Nah, saat sarapan, saya duduk dengan salah seorang peserta yang berdomisili di Jakarta. Kami pun berkenalan dan ngobrol sekenanya terkait kegiatan itu. Sebut saja nama mbak ini Mince. Mbak Mince ini sedang makan bubur ayam. Setelah makanan saya habis, karena ngiler dengan makanan Mbak Mince, saya pun memutuskan mengambil bubur ayam. Mumpung banyak makanan enak, tidak boleh disia-siakan wkwkwk. Lalu saya kembali duduk dengan Mbak Mince ini.

“Ngambil apa, Mbak?”, tanya Mbak Mince pada saya.

“Bubur ayam juga mbak”, jawab saya singkat sambil tersenyum.

Laluuu pertanyaan mencengangkan itu muncul. “Di Jayapura ada jualan?” Belum menangkap dengan jernih arti pertanyaan ini, dan masih berusaha berpikiran positif, saya balas bertanya, “Jualan apa, Mbak?”, “Bubur ayam”, Mbak Mince menyahut dengan muka polos tanpa dosa. Hatiku ngejleb seketika. Pengen seketika itu nyolot dan misuh-misuh, tapi harus jaim karena baru kenal dan semua peserta ini adalah orang-orang hebat.

Dengan berusaha sabar, saya jawab singkat, “Ada mbak”. Percakapan selesai, lalu kami melanjutkan makan dan kegiatan di hari itu dan hari-hari selanjutnya dengan baik.

Memang tidak semaju Jawa, tapi…

Tapiiiii tunggu dulu… sampai hari ini, ketika kegiatan sudah berakhir dan kami semua sudah kembali ke daerah asal kami masing-masing, pertanyaan itu masih terngiang-ngiang di kepala saya, dan masih menimbulkan keheranan yang justru lebih besar dari 10 tahun lalu. Seprimitif itukah Papua bagi orang ibu kota sampai di tahun 2023 ini ada tidaknya orang berjualan bubur ayam saja harus ditanyakan?

Yaaa, saya tahu kok, Mbak Mince.. Kami di Papua tidak semaju di Pulau Jawa. Contohnya nih, kami tidak punya kereta api, apa lagi MRT seperti di Jakarta. Transportasi paling umum untuk lintas kabupaten/kota di Papua adalah pesawat atau kapal. Ada juga sih yang bisa pakai mobil. Tapi itu cerita lain lagi. Pilihan kedai makanan di sini juga sudah tentu tidak sebanyak di sana. Tapi ya nggak gitu juga kali! Pertanyaan seperti “di Jayapura ada jualan bubur ayam?” bagi saya pribadi bukan hanya sekedar pertanyaan karena rasa ingin tahu. Di balik pertanyaan itu, ada persepsi bahwa kami di Papua masih jauh sekali peradabannya, hingga bahkan belum mengenal hal sesimpel makanan Indonesia pada umumnya.

Padahal, di beberapa kota/kabupaten kami di Papua sudah ada XXI, Pizza Hut, termasuk Starbucks. Bubur ayam? Ya jelas ada, Mbak!!!

Pertanyaan yang absurd

Sesungguhnya, bagi kami yang berasal dari Papua—paling tidak untuk saya pribadi—yang berkunjung ke kota besar di Pulau Jawa, salah satu culture shock terbesar bukanlah gaya hidup atau makanannya. Tapi pertanyaan-pertanyaan yang mengimplikasikan pemahaman bahwa kami belum hidup selayaknya manusia Indonesia pada umumnya. Pertanyaan-pertanyaan yang bikin geram dan bikin bawaannya mau makan orang yang nanya. Ups.

Saran saya, kurang-kurangin lah yang beginian. Masih ada banyak bahan yang bisa digali ketimbang membandingkan atau menganggap orang yang bukan berasal dari daerah besar itu terbelakang. Oke, Ges-gesku?

Penulis: Debora Plautilda Maturbongs
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 6 Stereotipe Papua yang Benar-benar Keliru

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version