Meski sama-sama berbahasa Jawa, banyak istilah yang berbeda
Culture shock kedua yang saya rasakan sebagai orang Jogja yang merantau ke Kediri adalah bahasa. Saat pertama kali tiba, saya sering ngang ngong dengan bahasa yang digunakan sehari-hari. Meskipun sama-sama menggunakan bahasa Jawa, ada banyak istilah yang berbeda, lho. Fatalnya, banyak persamaan kata tapi ternyata memiliki makna yang berbeda.
Di Jogja, “mari” sering digunakan untuk menyebut sembuhnya seseorang dari penyakit. Sedangkan di Kediri, “mari” sering digunakan untuk kata ganti selesai atau habis melakukan sesuatu. Padahal orang Jogja menggunakan “rampung” untuk itu.
Saya pernah salah paham gara-gara hal ini. Teman saya bertanya, “Mari ngopo we?” Saya spontan mengernyitkan dahi. Batin saya, siapa yang sembuh dari penyakit? Usut punya usut, ternyata teman saya bertanya, “Habis ngapain kamu?” Oalah.
Ada lagi kata yang bikin saya bingung, yakni “niliki”. Di Jogja, kata tersebut memiliki arti menjenguk orang sakit atau biasanya untuk kegiatan mengecek sesuatu. Sementara di Kediri, jangan pernah menggunakan “niliki” untuk kata ganti menjenguk orang sakit. Bisa fatal akibatnya, Gaes, sumpah. Sebab, “niliki” di Kediri artinya mencicipi makanan. Jauh banget, ya?
Teman saya pernah kebingungan gara-gara saya mengajaknya untuk niliki teman kami yang sedang sakit. Mungkin dalam batin teman saya, cah iki temannya sakit masa malah mau dicicipi. Wqwqwq. Orang-orang Kediri sendiri menggunakan kata “nyambangi” untuk menjenguk orang sakit.
Kata lainnya yang bikin bingung orang Jogja kayak saya di Kediri adalah “nggawe”. Di Kediri, “nggawe” artinya menggunakan. Sementara di Jogja artinya membuat. Kan jauh banget bedanya, coy.
Saya pernah seperti kethek ketulup ketika ditanya seorang teman mau pakai baju apa. Soalnya di Kediri kalimatnya jadi begini, “Awakmu arep nggawe klambi opo?” Saya jawab dengan kaget. “Hah? Bikin baju lama, lho!”
Sebenarnya masih banyak culture shock saya soal bahasa, tapi nanti kebanyakan. Cukup tiga kata di atas aja sebagai contohnya.
Orang Kediri hobi memutar lagu dengan sound besar dan volume keras alias battle sound
Culture shock terakhir yang saya rasakan sebagai orang Jogja di Kediri adalah hobi orang Kediri memutar lagu dengan sound besar dan volume keras. Biasanya, sound ini digunakan dalam karnaval atau acara battle sound, semacam acara mengadu sound yang dilakukan di lapangan.
Setahu saya, hobi ini mulai marak di Kediri dan sekitarnya tahun 2018-2019. Awalnya, saya cukup heran dengan kegiatan ini. Kok bisa ya orang-orang dengan sukarela berkumpul di lapangan mendengarkan sound dengan suara yang memekakkan telinga.
Kalau kalian nggak percaya, coba aja cari di YouTube, Gaes. Ketik aja battle sound Kediri. Kalian mungkin akan terheran-heran kayak saya.
Lantaran jiwa kepo saya cukup tinggi, saya pernah mengajak teman untuk pergi melihat seperti apa sih battle sound Kediri ini. Dan benar saja, ketika sampai di lokasi, jantung saya langsung berdebar karena suara bass dari sound yang keras. Ternyata para sound hunter—julukan untuk pencari battle sound—banyak menyukai sound yang horeg. Kalau sound-nya belum horeg, nggak mantep kata mereka.
Begitulah culture shock yang saya rasakan sebagai orang Jogja yang merantau ke Kediri. Semoga orang Jogja yang mau merantau ke sini bisa mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya ya biar nggak mengalami gegar budaya kayak saya ini.
Penulis: Achmad Syafi’i
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Hal-hal yang Saya Rindukan dari Jogja dan Nggak Bisa Saya Jumpai Saat Merantau ke Kediri.