Bekasi dan Depok melebur menjadi satu provinsi di DKI Jakarta.
Saya terkejut pagi itu. Sambil ngopi, saya membaca berita tentang Kota Bekasi yang akan melebur dengan DKI Jakarta. Tidak hanya Kota Bekasi, tapi Kota Depok juga. Sebagai bocah Bekasi wacana ini menjadi daya tarik tersendiri bagi saya. Wah, wah, namanya balikan, dong~
Hai teman-teman, tahukah kalau Bekasi dan Jakarta dahulunya bersatu padu? Tidak. Tidak. Jangan salah sangka dulu. Bekasi dan Jakarta berpisah bukan karena sebuah kalimat kamu terlalu baik buat aku~
Dari blog pribadi Pak Ali Anwar (sejarawan Bekasi), sebelum 1950, Bekasi—dulu namanya Kabupaten Jatinegara—Tangerang, Depok, dan Bogor, masuk dalam wilayah Jakarta. Namun pada tanggal 17 Januari 1950, tokoh masyarakat dan warga Bekasi dan Cikarang melakukan resolusi di alun-alun Bekasi.
For your information, pada tahun 1949 Jakarta merupakan ibu kota federal dari Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS merupakan republik otonomi Belanda. Dengan alasan strategi militer dan politis untuk memperkecil wilayah Belanda di Jakarta yang dikhawatirkan mengkhianati pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949—Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia pada tanggal tersebut—para tokoh masyarakat bersama masyarakat Bekasi dan Cikarang melakukan resolusi di alun-alun Bekasi pada 17 Januari 1950.
Dalam resolusi tersebut, Kabupaten Jatinegara menuntut bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan memisahkan diri dari RIS. Yakni Distrik Jakarta dan Negara Pasundan. Kabupaten Jatinegara pun menjadi Kabupaten Bekasi pada 15 Agustus 1950 dan dimasukkan ke dalam Provinsi Jawa Barat. Kemudian pada tanggal 10 Maret 1997 sebagian wilayah Bekasi di bagian barat memisahkan diri menjadi Kota Bekasi.
Seperti apa yang dilansir oleh tirto.id (22/08/2019), anggota DPD DKI Jakarta, Dailami Firdaus, mengatakan bahwa sebenarnya usulan tersebut bukan hal baru, yang bahkan sudah lama disiapkan melalui Inpres Nomer 13 Tahun 1976 yaitu pengembangan wilayah Jabodetabek. Beliau juga mengatakan bahwa mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso pernah menggaungkan konsep megapolitan, antara lain terintegrasinya moda transportasi massal yang menghubungkan Jakarta dan kota penyangga lainnya. Ya konsepnya Jabodetabek ini.
Pada tahun 1994 Bupati Bekasi kala itu, Akhmad Zurfaih, pernah mengatakan kalau ingin menggabungkan kabupaten Bekasi ke Jakarta walaupun sampai akhir periode jabatannya, belum membuahkan hasil. Jadi sebetulnya PDKT Bekasi dengan Jakarta sudah lama banget. Hanya saja CLBK ini belum juga berujung jadian.Hmm, PDKT teroooss—kapan jadiannya, nih?
Kalau saya lihat-lihat. Bekasi dan Jakarta ini cukup lumayan cocok. Ada semacam kesamaan. Kalau dilihat, ya, cukup serasi. Soal budaya, Bekasi dan Jakarta sama-sama berbudaya Betawi. Agak berbeda gitu dengan Sunda yang merupakan budaya Jawa Barat. Apalagi, kebudayaan Betawi Bekasi belum masuk dalam budaya Jawa Barat. Plat nomor kendaraan kita sama-sama B. Cocoklah~
Kemudian, membicarakan Bekasi sama halnya dengan mebicarakan Jakarta. Tidak lepas dari persoalan yang sama: Banjir, lalu lintas, polusi, kali yang tercemar, cuaca yang panas, dan lainnya. Dari keamanan, kesatauan polisi, sama-sama Polda Metro Jaya. Kode telepon sama-sama 021. Soal sampah? You know me so well, lah~
Kalau cocokologinya kurang. Ya, silakan ditambahi, Bosque.
Saya rasa Pak Rahmat Effendi udah ngebet banget. Pak Anies Baswedan nampaknya juga nggak keberatan. Kalau sudah putusan jodoh dari pemerintah pusat. Mau gimana lagi? Masak nggak dijadian juga.
Seketika saya membayangkan enaknya jadi warga Jakarta, dengan transportasi dan pelayanan publik yang cukup mumpuni untuk mendukung gerak ekonomi warganya. Beraktivitas di Jakarta rasanya lebih mudah. Mau pergi kemana saja, ya gampang, bisa lewat pintu kemana saja milik Doraemon naik transportasi umum.
Mau naik Busway, bisa! Naik angkot, bayarnya sudah sistem Jak-Lingko. KRL, MRT, dan LRT: sudah mulai terintegrasi. Cukup punya satu kartu saja —kartu bank—pembayaran sudah bisa untuk transportasi tersebut.
Eh jangan sampai ketinggalan. Masih ada Bajaj dan Kancil—sebenernya bukan Kancil, sih. Tapi Bajaj Qute— siap mengantar meskipun barang belanjaan kita banyak. Kulakan barang buat dijual lagi kita bisa mengandalkan transportasi ini. hehe
Bayangkan seandainya semua tranportasi unggulan Jakarta itu beroperasi di Kota Bekasi ini. Kalau saya akan lebih memilih naik Busway. Naik dari Halte Proyek, turun di Halte Stasiun Bekasi. Kemudian untuk menuju tempat kerja di Jakarta, langsung sambung dengan KRL.
Namun, katanya, pennggabungan kedua kota ini tidak seperti fusion-nya Goten dan Trunk yang menjadi Gotrunks. Namanya bukan Kota Bekasi lagi. Bukan juga Bekasita, Jakatasi, atau Bejaksi. Tapi menjadi Jakarta Tenggara. Menarik sih nama ini. Secara geografis Bekasi memang berada di bagian tenggara Jakarta.
Tapi sebetulnya saya tidak mengamini nama ini sepenuhnya. Saya berharap nama Bekasi tetap Bekasi. Sebab nama Bekasi bukan sembarang nama. Menurut Poerbatjaraka, seorang ahli bahasa sansekerta dan Jawa Kuno. Asal mula kata Bekasi, secara filosofis, berasal dari kata Chandrabhaga.
Biarkan saja nama Bekasi tetap Bekasi. Saya kira tidak perlulah mengubah-ubah nama untuk sekadar menjadi keren. Untuk sekadar terlihat beken di Jakarta. Seperti nama Jono dipanggi Jhon. Seperti nama Kuncoro dipanggil Kunch.
Saya harap jangan hanya Bekasi Kotamadya saja yang menjadi bagian Jakarta. Tetapi menyeluruh hingga sampai Kabupaten. Tapi sayangnya ada satu yang mengganjal di hati Pak Gub Jawa Barat kesayangan kita ini. Menurut Kang Emil, fusion antara Goten dan Trunk Bekasi dan Jakarta adalah sesuatu yang nyaris sulit terlaksana. Alih-alih menyetujui, Kang Emil malah menawarkan solusi dengan pemekaran.
Lantas, Kota Bekasi mau dimekarkan sampai mana? Pemekaran gimana? Lah, Kota Bekasi kondisinya kaya gitu-gitu aja, Kok. Seberapa sukses kota-kota yang di Indonesia tercinta ini yang sudah mekar? Seberapa cepat untuk menjamin kesejahteraan para warganya? Bisa saja sukses, kesejahteraan terjamin, dan pembangunan cepat. Tapi ada syaratnya: Jujur dan amanah.
Ayolah, Kang Emil. Peka sedikit. Menurut saya, ini adalah semacam kode dari Bang Pepen untuk dana pembangunan yang lebih dari biasanya. Saya, yakin. Kang Emil yang biasa baca kode-kode dari Bu Atalia, pasti sangat peka dengan hal semacam ini. Kode dikit. Gertak dikit. Gasss~
Tapi setelah saya baca pernyataan selain ‘penolakan’ dari Kang Emil, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Bahtiar memastikan “tidak ada pemekaran dan tidak ada penggabungan daerah sampai batas waktu yang tidak ditentukan.” Dengan demikian, hampir dapat dipastikan Pak Rahmat Effendi, atau warga tidak ada yang terealisasi. Hmmmm, mamam tuh~
Ya udahlah, Bang Pepen yang terhormat, nggak usah ngebet lagi buat CLBK sama Jakarta. Belum ada lampu hijau. Mendingan waktunya dipakai untuk berpikir agar fasilitas sosial dan fasilitas umum Kota Bekasi menjadi lebih baik lagi. Kita harus move on. Lalu, fokus memperjuangkan dan meneruskan cita-cita para pahlawan untuk nasib Bekasi menjadi semakin berkembang. Maaf hanya sekadar mengingatkan. (*)
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) yang dibikin untuk mewadahi sobat julid dan (((insan kreatif))) untuk menulis tentang apa pun. Jadi, kalau kamu punya ide yang mengendap di kepala, cerita unik yang ingin disampaikan kepada publik, nyinyiran yang menuntut untuk dighibahkan bersama khalayak, segera kirim naskah tulisanmu pakai cara ini.